Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 09:41 WIB | Selasa, 27 Mei 2014

Pakar Hukum Pidana Menjadi Saksi Ahli dalam Kasus Akil Mochtar

Pakar Hukum Pidana Menjadi Saksi Ahli dalam Kasus Akil Mochtar
Mudzakir menjadi saksi ahli dalam persidangan Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor. (Foto-foto: Ignatius Dwiana)
Pakar Hukum Pidana Menjadi Saksi Ahli dalam Kasus Akil Mochtar

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar Hukum Pidana Mudzakir menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tersangka Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor Kuningan Jakarta pada Senin (26/5).

Mudzakir mengemukakan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbatas dalam hal tindak pidana asal, yakni tindak pidana korupsi, seperti diatur Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Dasarnya Undang-Undang pasal 2. Di situ ada rangkaian perbuatan pidana, di situ dicantumkan tindak pidana korupsi maka KPK punya kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu.

Dia berpendapat proses hukum tindak pidana pencucian uang hanya dapat berjalan jika kasus tindak pidana asal, yaitu korupsi, sudah diselesaikan.

“Prosedurnya tetap harus mengutamakan tindak pidana asal. Penyidikan bisa dilakukan dengan catatan pemutusannya harus tindak pidana asal dulu baru tindak pidana pencucian uang.”

Proses hukum dalam menangani tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, korupsi, tidak dapat disamakan atau pun digabungkan menjadi satu. “Karena tidak ada kewenangan untuk menggabungkan itu. Dibalik tindak pidana pencucian uang baru tindak pidana asal juga tidak boleh. Tetap harus tindak pidana asal diutamakan.”

Mudzakir juga menyebutkan hakim dalam memutuskan di persidangan tetap harus mengutamakan tindak pidana asal dulu dan tidak boleh memutus tindak pidana pencucian uang dulu. “Prinsipnya begitu. Karena tindak pidana pencucian uang adalah lanjutan tindak pidana asal.”

Wewenang KPK selama ini terbatas dalam penyidikan, belum sampai kepada penuntutan.  Karena itu Mudzakir mengharapkan jangan ada interpretasi yang melampaui atau mengurangi teks undang-undang. Hal ini untuk mencegah jangan sampai bertentangan secara prinsip dalam hukum. “Kewenangan itu dasarnya undang-undang maka teks kekuatan undang-undang menjadi bukti.”

Terkait kewenangan itu penuntutan dan penyidikan oleh KPK, jaksa penuntut umum bertanya,”Sebuah perkara tindak pidana korupsi disidik KPK dan itu sudah lengkap. Ditemukan tindak pidana pencucian uang. Hal itu sudah ditangani KPK dan tidak didistribusikan ke Kejaksaan. KPK sejak awal melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang dari awal. Hal itu penanganannya akan lebih efektif, cepat, dan bermanfaat mana?”

Mudzakir menilai hal itu tidak terkait sama sekali dengan asas manfaat. “Urusannya kepada legalitas, menurut hukum punya wewenang atau tidak? Dalam konteks ini supaya kita ini melaksanakan hukum dan konstruksi. Jangan sampai nanti tiba-tiba masyarakat menggugat hal itu melanggar konstitusi dan jangan sampai terjadi keputusan-keputusan itu menjadi batal semuanya karena proses yang tidak sah. Jangan sampai nanti ada lembaga lain berbuat hal yang sama dikritik habis tetapi kalau KPK tidak. Jangan sampai seperti itu. Kita berlaku obyektif saja.”

“Lembaga yang bersangkutan tidak boleh menginterpretasi dengan memperluas wewenangnya lewat interpretasi. Saya usulkan kalau KPK berkehendak supaya diberikan Perpu. Bisa tiga atau enam pasal sudah selesai. Jadi legalitasnya bisa ada, dasar hukumnya jelas. Yang diproses juga merasa legowo.” kata  Mudzakir.

“Kalau tidak ada dasar hukumnya jangan sampai nanti seumur hidup dia hidup di Republik Indonesia merasa terzalimi. Karena tidak ada dasar hukum untuk melakukan itu.”

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home