Loading...
EKONOMI
Penulis: Sabar Subekti 17:08 WIB | Selasa, 18 November 2014

Pakar: Jangan Lagi Memunggungi Laut

Pakar: Jangan Lagi Memunggungi Laut
Nelayan di Indonesia, kebanyak masih nelayan tradisional dengan kemampuan tangkap yang terbatas, dan umumnya masih menggunakan konsep eksploitasi, belum mengembangkan konsep pengelolaan sumber daya laut. (Foto: satuharapan.com / Sabra Subekti).
Pakar: Jangan Lagi Memunggungi Laut
Pakar Antropologi Kelautan, Dedi Adhuri, Ph.D. dari LIPI. (Foto: dok. Dedi Adhuri)

Baca juga: Nelayan Kita Sebatas Penguasa Pesisir, Nelayan Penguasa Laut Sejati, Tapi...

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia dalam konsep, perencanaan dan tindakan harus menunjukkan komitmen tidak lagi ‘’memunggngi’’ laut. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan kematiriman, laut harus ada di latar depan, dan tidak lagi diabaikan.

Hal pakar antropologi kelautan, Dedi Adhuri Ph.D dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bagian ketiga wawancara dengan satuharapan.com beberapa waktu lalu di Jakarta.  Berikut ini wawancaranya:  

Satuharapan.com : Adakah perbedaan tentang Indonesia menjadi negara maritim atau negara bahari. Bisakah dijelaskan apa letak perbedaannya, dan apa yang paling sesuai untuk Indonesia?

Dedi Adhuri: Ada tiga konsep dalam konteks ini, laut (kelautan), matirim dan bahari. Laut atau kelautan lebih mengacu pada wilayah, sumber daya dan aspek-aspek terkait itu. Sementara itu konsep maritim lebih mengacu pada kemampuan kita untuk berdaulat dan memanfaatkan laut. Dan bahari lebih mengacu pada aspek-aspek kultural dari kemaritiman.

Satuharapan.com: Kosep yang mana yang cocok untuk Indonesia?

Dedi Adhuri : Dengan konsepsi itu, idealnya kita menjadikan ketiga konsep itu kongruen. Klaim kedautan dan hak-hak lain atas wilayah dan sumber daya laut harus dibarengi kemampuan kita untuk menguasai dan mengelola wilayah dan sumber daya itu. Dengan itu kita menjadi negara maritim. 

Tentu saja jika kita memahami kebudayaan sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan, untuk menjadi negara maritim itu,  kita  harus  menguasai budaya bahari, juga agar bisa menguasai wilayah laut itu.  Kita tidak akan bisa menguasai laut (menjadi negara maritim) kalau kita tidak menguasai budaya bahari). Ketiganya harus ada dan bersifat saling melengkapi (complementary), menjadi three in one.

Satuharapan.com : Jika dipilih sebagai negara bahari (atau maritim?), prasyarat apa yang harus dipenuhi? Dan apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mewujudkannya?

Dedi Adhuri: Komitment, penguasaan hardware (teknologi) dan software (budaya; ‘mentalitas,’ pengetahuan dan keterampilan)  kelautan-lah yang menjadi prasyarat kita bisa menguasai dan mengelola laut, dan oleh karenanya menjadikan kita negara maritim. Tanpa itu semua, klaim negara maritim tak ada manfaatnya. Contoh pada hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan. Klaim kita atas dua pulau itu dikalahkan, karena tidak ada bukti penguasaan dan pengelolaan kita atas kedua pulau itu.

Satuharapan.com: Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?

Dedi Adhuri: Hal yang harus kita lakukan untuk mewujudkannya adalah, pertama, menguatkan komitmen untuk tidak lagi memunggungi laut, kalau boleh saya menggunakan istilah pak Jokowi. Saya harus menggarisbawahi pentingnya komitment ini, karena selama ini kelemahan utamanya terletak di situ. Paling tidak, sebagian besar persoalan-persoalan yang ditelanjangi oleh Bu Susi (Pujiastuti), Menteri KKP kita yang baru. Dimulai dari perizinan, illegal fishing, data perikanan,  status sumber daya,  sampai keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia.

Itu bukanlah hal-hal baru. Di kalangan birokrasi, akademisi dan pengusaha, termasuk teman-teman LSM, masalah itu sudah menjadi rahasia umum. Tetapi tidak ada komitmen yang cukup kuat dari semua pihak untuk menyelesaikan masalah itu secara komprehenshif. Sebagian karena segmentasi di antara pemangku kepentingan, ego sektoral, konflik  kepentingan, dan hubungan ewuh-pakewuh di antara mereka. Sebagian lagi karena realitas perikanan tropis  (multi gear, multi spesies) dengan wilayah yang maha luas dan didominasi nelayan sekala kecil memang sulit dikelola. Kita harus membulatkan komitmen, tidak mudah, tapi di situlah kuncinya.

Satuhartapan.com:  Dalam software, apa yang harus dikembangkan?

Dedi Adhuri: Ini bagian kedua, yaitu melakukan diagnosis dengan mengevaluasi  socio-ecological system dari dunia kelautan kita. Dengan ini kita bisa mengidentifikasi peluang dan tantangan ke depan, baik dari segi bio-ecologi-nya, maupun social economi dan kelembagaan pengelolaan.  

Ketiga  menelisik apa yang kita punya dan tidak punya terkait software dan hardware untuk mengoptimalkan potensi dan mengatasi tantangan-tantangan yang telah kita identifikasi itu.   Keempat, merumuskan langkah-langkah strategis mengoptimalkan apa yang kita miliki, mempelajari dan mengusahakan pengadaan hal yang kita belum punya. Dan terakhir bekerja untuk mengoptimalkan apa yang telah kita miliki itu untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah dan sumber daya laut untuk kesejahteraan umat dan keberlangsungan sumber daya dan lingkungannya.

Satuharapan.com: Bagaimana kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat?

Dedi Adhuri: Tujuan akhir dari kerja kita di dunia maritim adalah mewujudkan kesejahteraan umat dan sustainability sumber daya alam beserta lingkungannya. Saya harus kembali ke masalah perspektif.  Selama ini orientasi kita ke laut berfokus pada eksploitasi yang didorong  oleh keinginan memaksimalkan keuntungan ekonomi. Kita tidak pernah belajar bahwa  runtuhnya  perikanan di Selat Malaka dan Pantai Utara Jawa itu diawali dengan adopsi pukat harimau pada tahun 1960-70-an. Pada awalnya Bagan Siapi-api tumbuh menjadi sentra perikanan, tapi hanya berjalan satu dekade, setelah itu runtuh karena ikan terkuras (over-exsploitation) dan konflik antara penggunan trawl dan nelayan kecil yang sangat serius.

Beruntung Soeharto mengeluarkan larangan penggunaan pukat harimau tahun 1980, tetapi itu pun tidak membantu secara signifikan untuk recovery kondisi periakan di dua tempat ini. Masalah yang sama malah menular ke wilayah perairan lain, meskipun penyebabnya bukan  hanya karena trawl yang dalam realitas tidak pernah bisa dibasmi habis.

Kalau kita berlajar dari ini, sebenarnya kita harusnya sudah shift orientasinya  dari  eksploitasi ke  pengelolaan. Jika eksploitasi tujuannya adalah pemanfaatan maksimal, maka pengelolaan adalah keseimbangan antara pemanfaatan, pemeliharaan dan konservasi. Malah, pada kondisi di mana sudah terjadi gejala tangkap lebih (over fishing) dan kerusakan lingkungan, pengelolaan harus pula melingkupi restorasi / recovery.

Perlu digarisbawahi, dengan ini tidak berarti saya mengatakan usaha-usaha pengelolaan tidak pernah dilakukan. Program-program seperti Marine and Coastal Resource Management Project (MCRMP) dan Coral Reef Management Program (CORMAP) adalah program-program yang berbasis perspektif pengelolaan. Namun demikian mereka hanyalah program, bukan perspektif yang mengkerangkai keseluruhan gerak di dunia perikanan.

Satuharapan.com : Dalam kondisi sekarang ini, benarkan kita berdaulat penuh pada wilayah perairan Indonesia? Atau dengan pertanyaan lain, siapakah sebenarnya pemilik lautan Indonesia? Dan siapakah sebenarnya yang sekarang menguasai laut Indonesia?

Dedi Adhuri : Teriakan Bu Susi tentang illegal fishing, persoalan perizinan kapal berbobot 30 Gross Ton ke atas, impor ikan dan garam adalah indikasi yang jelas bahwa kita belum berdaulat secara penuh di lautan. Kita bisa membuat list yang sangat panjang kalau harus menunjukkan indikasi-indikasi lain: tingginya tingkat perampokan di laut (piracy), kecelakaan di laut, trafficiking dalam segela bentuknya, kemiskinan nelayan, tentu masuk ke dalam daftar itu.

Konstitusi kita mengatakan bahwa laut dikuasai Negara sementara undang-undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-undang Perikanan terakhir, mengakui hak masyarakat adat juga. Ada beberapa masyarakat adat yang memiliki klaim kepemilikan dan atau hak kelola atas wilayah pesisir juga. Jadi secara legal formal Negara dan masyarat adat yang menguasai pemilik laut, mungkin sebagian laut untuk masyarakat adat.

Kalau kita mengartikan menguasai sebagai menempati secara fisik, untuk perairan pesisir, ya nelayan yang mendominasi. Merekalah yang setiap saat, jika cuaca memungkinkan, berada di laut untuk menangkap ikan.

Tetapi kalau penguasaan diartikan sebagai pihak yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari laut, ya pemilik modal dan kapal. Nelayan berada di laut di bawah kekuasaan mereka, yang mendapatkan keuntungan jauh lebih banyak juga mereka.

Satuharapan.com : Sebagai pakar antropologi kelautan, bagaimana semestinya arah pembangunan manusia yang ada di pantai dan hidup dari laut?

Dedi Adhuri : Jika tujuan pembangunan adalah kesejahteraan umat, maka arah pembangunan masyarakat  pesisir dan nelayan adalah arah yang bisa mensejahterakan mereka yang hidupnya bergantung pada wilayah pesisir dan sumberdaya  laut. Kesejahteraan  mereka bergantung kepada kemampuan untuk mengakses dan mengambil sumber daya laut secara berkesinambungan. Oleh karena itu, arah pembangunan harus memberikan jaminan akanasesabilitas dan sustainabilitas dari sumber daya pesisir dan lingkungannya.

Satuharapan.com : Apa saran untuk Menteri Perikanan dan Kelautan dan Menko Kemaritiman untuk pembangunan Indonesia lima tahun ke depan?

Dedi Adhuri: Apa yang saya sampaikan setidaknya secara implisit mengandung saran-saran, khususnya untuk Bu Susi, tetapi juga terkait dengan Pak Indroyono (Susilo)sebagai Menko Kemaritiman. 

Yang harus saya garis bawahi adalah switch dari gaya lama kementrian yang lebih menekankan produksi dan eksploitasi ke perspektif pengelolaan sebagai basis dasar kebijakan dan pembangunan kelautan dan perikanan. 

Kedua, saya titip nelayan kecil. Telah terlalu lama mereka terabaikan baik dari segi atensi yang kurang dan kalaupun ada atensi mereka itu lebih melihat nelayan sebagai ‘objek penderita.’ Hal yang cenderung dilihat dari nelayan ini adalah kemiskinan dan ketidakberdayaannya. Padahal, mereka bisa menjadi kunci solusi dari persoalan-persoalan maritim.   Mereka bisa menjadi aktor kunci dalam pembicaraan tentang food security, konservasi, berkontribusi secara signifikan pada masalah transborder issues, seperti masalah pertanahan, trafficking, illegal fishing.

Ini berarti pemberdayaan terhadap mereka jangan lagi dilihat sebagai belas kasih pada yang marjinal. Dengan ini pula seharusnya mereka dilibatkan sebagai stakeholder kunci pada setiap tahap pembangunan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home