Loading...
EKONOMI
Penulis: Sabar Subekti 15:42 WIB | Rabu, 12 November 2014

Nelayan Kita Sebatas Penguasa Pesisir

Pakar Antropologi Kelautan LIPI, Dedi Adhuri, Ph.D. (Foto: dok Dedi Adhuri)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penguasaan nelayan kita masih terbatas pada wilayah pesisir dan belum mampu menjadi nelayan off shore, sehingga kekayaan laut justru banyak dikuasi pihak lain. Demikian dikatakan pakar antropologi kelautan, Dedi Adhuri Ph.D. dalam percakapan dengan satuharapan.com, hari Selasa (11/11).

Pemerintahan Joko Widodo berencana mengubah wajah kemaritiman Indonesia. Wilayah negeri ini yang sebagian besar berupa perairan justru menampilkan wajah yang paradoks, di mana sumber daya berlimpah, namun kaum nelayan merupakan lapisan masyarakat paling miskin.

Bagaimana sebaiknya arah pembangunan kelautan Indonesia, berikut wawancara satuharapan.com dengan Dedi Adhuri, Ph.D, lulusan Australian National University yang sekarang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Satuharapan.com : Wilayah Indonesia dengan sekitar 70 persen laut, menjadikan laut sebenarnya kekayaan terbesar, jadi apa masalah utamanya sehingga kita belum mampu menjadikan laut sebagai ‘’anugerah’’ yang menyejahterakan bagi bangsa Indonesia?

Dedi Adhuri: Ada beberapa hal yang menyebabkan kita belum mampu menjadikan laut sebagai anugrah yang menyejahterakan, terkait karakter khas wilayah dan sumberdaya laut, penguasaan teknologi dan pengelolaan.  

Karakteristik wilayah dan sumber daya laut itu khas. Berbeda dengan wilayah dan sumber daya terrestrial,  ‘pemilikan’ wilayah laut tidak otomatis memungkinkan kita bisa menguasai dan memanfaatkan wilayah dan sumber daya yang ada di dalamnya. Kita tidak bisa memagari laut seperti memagari kebun. Sumber daya yang ada di laut, ikan misalnya, bisa lalu lalang masuk dan keluar wilayah kita. Demikian juga, kita tidak bisa secara penuh mengontrol orang lalu lalang masuk ke wilayah kita, termasuk orang-orang luar dengan armada besar yang menguras hasil laut kita. 

Hal terakhir ini terkait dengan hal yang kedua yakni penguasaan teknologi. Kemampuan kita memanfaatkan dan menjaga wilayah dan sumber daya laut terkait dengan penguasaan teknologi.  Khusus mengenai sumber daya perikanan, kita baru mampu menguasai teknologi sederhana yang hanya mampu digunakan untuk perairan pesisir.  Karena kemampuan yang terbatas itu, kita hanya mampu memanfaatkan sumber daya ikan di perairan pesisir. Ironisnya, karena mayoritas kegiatan penangkapan ikan terjadi di pesisir, maka sumber daya pesisir mengalami gejala ‘’lebih tangkap’’ (over fishing). 

Dalam konteks ini, usaha penangkapan yang terus dilakukan di pesisir bukan meningkatkan kesejahteraan, tetapi malah semakin memperburuk kualitas sumber daya dan lingkungan dan semakin menjerumuskan nelayan ke dalam jebakan kemiskinan.

Ketiga, tentang pengelolaan, selama ini meskipun jargon tentang pengelolaan sudah lama dipakai, kerja sistematis pemerintah untuk menciptakan praktik pengelolaan wilayah dan sumber daya laut sangat terbatas. Kita tahu, departemen kelautan dan perikanan baru terbentuk zaman Gus Dur (Abdurrahman Wahid) jadi presiden, padahal selat Malaka dan Pantai Utara Jawa sudah terjangkit gejala tangkap lebih sejak tahun 1970-1980an. Orientasi kerja Kementrian Kelautan dan Perikanan pun masih sangat berorientasi ke eksploitasi. Karena kemampuan teknologi tangkap hanya di peraran pesisir, maka peningkatan eksploitasi yang berkutat  di perairan pesisir yang sudah tangkap lebih.

Satuharapan.com: Bagaimana dengan upaya kementerian tersebut?

Dedi Adhuri: Usaha-usaha mendorong nelayan ke tengah laut atau konversi ke budi daya tidak signifikan. Sedikit usaha juga bisa dikatakan sebagai gagal. Program 1.000 kapal (besar)  misalnya, selain target pembagian kapal tidak tercapai, kapal yang dibagikan juga banyak yang tidak bisa dioperasikan, baik karena perlengkapan yang kurang, ketiadaan biaya operasional, maupun pengetahuan/keterampilan nelayan yang kurang atas karakteristik sumber daya di tengah laut.

Demikian juga dengan konversi ke budi daya. Konflik yang berkepanjangan dan produksi yang sangat rendah dari tambak inti rakyat Dipasena yang telah mengkonversikan 16.2500 Hektare hutan mangrove ke tambak di Lampung, adalah contoh kegagalan ini.

Satuharapan.com: Bicara hasil laut, terutama untuk pangan, maka kita melihat  ‘’sea food’’ adalah makanan pada ‘’ranking’’ atas, bergengsi dengan harga mahal. Kontrasnya, mereka yang mengasilkan bahan pangan ini adalah lapisan masyarakat paling miskin. Di mana letak masalahnya? Bagaimana solusinya?

Dedi Adhuri: Sebenarnya tidak semua sea food mahal, jika kita masuk ke pasar-pasar tradisional dan warung tegal, kita akan menjumpai sea food yang lebih murah dari protein hewani lain.  Jika kita masuk restoran dan melihat sea food untuk ekspor-lah baru kita akan jumpai sea food yang mahal harganya. Tapi kedua realitas ini memang menunjukkan pentingnya nelayan sebagai produsen protein hewani untuk food security di Tanah Air dan nilai ekonomi produk nelayan yang cukup tinggi.

Memang betul, irosnisnya, kehidupan ekonomi nelayan masih didominasi kemiskinan. Masalah utama yang terkait hal ini adalah penguasaan sektor perikanan yang timpang. Meskipun yang paling berkeringat dan beresiko adalah nelayan, tetapi sebenarnya sektor perikanan kita dikuasai pedagang ikan atau pemilik-pemilik kapal. 

Penguasaan para pedagang  atas modal di satu pihak, keterbatasan nelayan akan hal ini dipihak lain, menyebabkan para pedagang terlibat sebagai pemasok kebutuhan produksi nelayan. Tentu saja pasokan itu bukan dalam bentuk pemberian bantuan secara gratis, tetapi pinjaman yang harus ditebus dengan keterikatan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya ke pedagang itu.

Dengan itu, artinya secara tidak langsung pedagang menguasai sistem produksi maupun pemasaran ikan. Akibat dari ini adalah  bargaining position nelayan lemah dan oleh karenanya pedagang lebih leluasa untuk mengambil keuntungan jauh lebih besar daripada nelayan itu sendiri.

Satuharapan.com: Bagaimana dengan distribusi keuntungan?

Dedi Adhuri: Terkait  dengan pemilik kapal yang seringkali juga bertindak sebagai pedagang ikan, kita bisa mengecek ketimpangan distribusi keuntungan dan risiko antara mereka dengan nelayan melalui sistem bagi hasil tangkapan.

Bisa dipastikan bahwa sistem pembiayaan penangkapan ikan dan bagi hasilnya tidak imbang. Risiko lebih banyak ditanggung oleh nelayan, tetapi keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pemilik kapal. Lagi, karena nelayan memang tidak memilik banyak sumber daya, nelayan juga tidak bisa berkutik dengan sistem ini.

Satuharapan.com: Adakah solusi yang bisa ditawarkan?

Dedhi Adhuri: Solusi dari masalah ini adalah support dari pemerintah atau pihak-pihak lain,  baik untuk keperluan produksi maupun pemasaran. Dalam konteks produksi, mengingat kondisi perairan pesisir yang telah lebih tangkap, bantuan harus diberikan kepada nelayan tidak hanya sekadar untuk bisa menangkap ikan, tetapi untuk menjangkau wilayah yang sumber dayanya masih dalam kondisi baik.

Support ini tidak juga hanya terbatas pada pengadaan teknologi kapal dan alat tangkap, dan kebutuhan operasional, tetapi juga keterampilan dan pengetahuan tentang perikanan off shore (tengah laut atau laut lepas). Kita tahu selama ini keterampilan dan pengetahuan nelayan lebih terfokus pada hal-hal yang terkait dengan perikanan pesisir. Dibutuhkan perangkat keahlian dan pengetahuan baru tentang perikanan off shore yang berbeda dengan perikanan pesisir. 

Support yang lain bisa juga berupa penumbuhan kesempatan pekerjaan alternatif, baik masih dalam bidang perikanan seperti usaha-usaha pengolahan pasca panen, budi daya atau sektor lain. Sama seperti halnya bantuan untuk perikanan tengah laut, bantuan ini juga harus satu paket, bukan bantuan-bantuan yang segmental. 

Dengan bantuan input produksi, nelayan tentu diharapkan terlepas dari genggaman penjual ikan. Ini tentu positif, tetapi juga mengandung hal negatif yang harus diantisipasi. Karena lebih banyak mengalokasikan waktu untuk kegiatan di laut, pengetahuan nelayan tentang pasar dan dunia darat sangat terbatas.  

Selama ini nelayan bergantung pada penjual ikan, relasi yang ‘renggang’ dengan pedagang ikan akibat kemandirian mereka dalam produksi ikan, mendatangkan risiko pemasaran. Oleh karenanya nelayan harus dibantu untuk memasarkan ikan secara baik dengan harga lebih tinggi. Misalnya, jika selama ini informasi tentang pasar dikuasai hanya oleh pedagang ikan, maka harus dibentuk sistem yang memungkinkan nelayan bisa mendapatkan informasi pasar. Dengan ini bargaining position mereka juga akan meningkat. Demikian dalam hubungannya dengan pemilik ikan, jika nelayan bisa mendapatkan bantuan langsung, maka seharusnya sistem bagi hasil juga bisa dikoreksi, sehingga lebih fair.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home