Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 21:32 WIB | Kamis, 23 Mei 2013

Pemimpin Kristen Timteng Bahas Perubahan Sosial Politik

Michel Jalkh. (Foto: oikoumene.org)

BEIRUT, SATUHARAPAN.COM -  Perubahan social politik yang cepat di  Timur Tengah para pemimpin Kristen bersepakat untuk proaktif memperkuat keterlibatan pembangunan di kawasan tersebut bersama pemimpin dari agama lain.

Sekitar 150 perwakilan gereja dari Timur Tengah dan sekitarnya sekarang  tengah bertemu di Beirut, Lebanon. Mereka memfokuskan diskusi pada dinamika perubahan kekuasaan, ketidak-adilan sosial, meningkatnya ancaman ekstremisme dan dampaknya terhadap hubungan Kristen-Muslim.

Konferensi tersebut diselenggarakan oleh Dewan Gereja-gerja Dunia (World Council of Churches / WCC) dan Middle East Council of Churches (MECC / Dewan gereja-gereja Timur Tengah). Konferensi ini berlangsung di biara Notre-Dame du Mont (21-25/5).

"Gereja-gereja di Timur Tengah menyadari bahwa jaminan kebebasan dan keterlibatan proaktif serta keberadaan Kristen di dunia Arab bukanlah warisan yang diberikan oleh kekuatan politik. Hal ini diperoleh dengan menjadi berani dalam mengungkap struktur dan mekanisme sistem politik yang menindas dan dengan kesabaran gigih mengubah mentalitas," kata pernyataan dari kertas kerja konferensi.

"Terisolasi dalam dunia Arab dan kekuatan sektarian tidak menjamin kehidupan yang berkembang dan vitalitas kesaksian Kristen di Timur Tengah," demikian lanjutan pernyataan tersebut. "Gereja tidak terlena dalam dalam kemunafikan, juga tidak berkolusi dengan otoritas politik yang rusak karena  mementinfgkan diri sendiri."

Pdt Dr Michel Jalkh, Sekretaris Jenderal MECC, menyoroti pentingnya solidaritas gereja. Dia mengutip Paus Tawadros II dari Gereja Koptik Mesir yang mengatakan bahwa "Kita berkumpul dengan ekumenisme dalam  penderitaan dan rasa sakit. Ini ekumenisme yang memanggil kita untuk memenuhi tanggung jawab dan membawa kita menuju sebuah persekutuan yang lebih dalam, yang diungkapkan dengan baik sekali dalam kesatuan iman yang ditunjukkan oleh gereja-gereja kita."

Contoh solidaritas tersebut, Jalkh mengatakan, telah terlihat, terutama ketika beberapa pemimpin gereja berpartisipasi dalam penobatan Patriark Youhanna Yazigi di Suriah dan bergabung bersama untuk mengutuk penculikan yang terjadi baru-baru ini atas dua uskup Ortodoks Suriah dari Aleppo.
Jalkh menambahkan bahwa kehadiran Kristen bukan hal yang baru atau dibuat, namun memiliki akar sejarah yang mendalam. "Penderitaan kami," katanya, "berkaitan dengan kita terlibat secara mendalam dengan masyarakat kita. Dan adalah fakta bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita untuk mencintai negara dan sesama warga negara, baik Kristen maupun non-Kristen."

Pendeta Katharine Jefferts Schori,  pemimpin dari Gereja Episkopal di Amerika Serikat, mendorong gereja-gereja global untuk bekerja sama bagi perdamaian di wilayah tersebut. "Tugas kita adalah berdoa dan bekerja untuk perdamaian, dan melakukan advokasi untuk keadilan bagi semua manusia, terutama yang secara harfiah terjebak dalam baku tembak. Kami berkumpul di bawah salib, sehingga kita bisa memimpin orang lain ke arah perdamaian," katanya.

Dalam konferensi tersebut, para peserta mendesak umat Kristen di Timur Tengah untuk tidak tunduk pada kenyataan masalah yang dihadapai masyarakat mereka. Adalah fakta bahwa sampai saat ini belum dihasilkan perubahan yang dapat memenuhi aspirasi mayoritas orang.

Mereka mengatakan bahwa orang Kristen memobilisasi upaya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Hal ini bisa dialkukan antara lain oleh generasi muda yang tidak mau mundur atau berimigrasi, tetapi terlibat dalam inisiatif untuk perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Hany Fawzy, peserta muda Mesir dari Gereja Ortodoks Koptik, mempertanyakan konsep "kehadiran Kristen." "Ini bukan hanya kehadiran kami. Kami harus berjuang sebagai orang Kristen di Timur Tengah, tapi kita harus memastikan bahwa kita adalah katalisator perubahan dalam masyarakat kita," katanya.

"Tiga tahun setelah revolusi di negara saya, saya melihat potensi besar di kalangan pemuda dan gereja, dengan keyakinan bahwa kita harus mempertahankan nilai-nilai keadilan, martabat dan kedamaian, terlepas dari asosiasi keagamaan kita. Gereja harus berpartisipasi dalam proses revolusi tanpa membuat kompromi," kata Fawzy.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home