Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 08:50 WIB | Selasa, 13 Desember 2016

Pengamat: Media Sosial Juga Dapat Menimbulkan Trauma

Ilustrasi: Stop ujaran kebencian melalui media sosial. (Sumber: The Bible Factor)

LONDON, SATUHARAPAN.COM - Pakar dan pengamat media sosial Dirgayuza Setiawan mengatakan adanya tren terkini penggunaan media sosial di negara-negara yang menganut demokrasi bahwa media sosial meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi, tetapi juga dapat membuat masyarakat trauma akan demokrasi.

Dirgayuza mengemukakan hal itu pada workshop bertema "Social Media and Democracy" dalam pertemuan tahunan Forum Tata Kelola Internet (IGF) PBB, yang diadakan di Guadalajara, Meksiko.

Dirgayuza Setiawan di London, Senin (13/12) mengatakan, dalam workshop juga tampil sebagai panelis yaitu analis kebijakan internet Hamza Ben Mehrez dari IG MENA, Mariam Barata dan Tereza Horejsova dari DiploFoundation, serta hadir perwakilan dari belasan negara sahabat.

Praktisi teknologi informasi itu memaparkan tren terkini penggunaan media sosial di negara-negara yang menganut demokrasi. Di antaranya, bagaimana media sosial dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, namun sekaligus juga dapat membuat masyarakat trauma akan demokrasi.

Saat ini, semakin banyak anggota masyarakat yang menyatakan opininya secara terbuka di media sosial yang mengalami serangan terorganisir dari pihak yang tidak sependapat dengan opini tersebut. "Pengalaman itu bisa membuat banyak orang trauma dan menahan diri dari menyatakan pendapat," ujar Dirgayuza.

Negara lain bisa belajar banyak dari Indonesia soal penggunaan media sosial dalam berdemokrasi. Indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia dalam jumlah pemilih di pemilihan langsung. Indonesia juga punya lebih dari 500 parlemen dan ribuan anggota dewan. Lebih dari setengah populasi Indonesia sudah terhubung ke Internet.

"Media sosial sudah menjadi pilihan utama mayoritas anggota dewan di Indonesia dalam menyerap dan menyebarkan informasi," ujarnya.

Menurut Dirgayuza, karena jaringan internet tidak mengenal batas teritorial negara dan tidak dimiliki oleh negara tertentu, tata kelola internet perlu dilakukan secara lintas pihak yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

Dalam pertemuan tahunan Forum Tata Kelola Internet (IGF) PBB itu lebih dari 3.000 praktisi teknologi informasi dari ratusan negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berkumpul di Guadalajara, Meksiko.

Delegasi Indonesia pada IGF 2016, terdiri atas delapan orang, yaitu Mariam Barata dan Rizki Ameliah dari Kemkominfo, Sindy Nur Fitri dari Kemlu, Asep Komarudin dari LBH Pers, Donny BU dari ICT Watch, Moedjiono dan Shita Laksmi sebagai MAG member, serta Dirgayuza Setiawan sebagai Internet Society fellow. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home