Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 20:40 WIB | Sabtu, 19 September 2015

Pengusaha: Indonesia Tak Punya Kepastian Hukum Buat Investor Ragu

Ketua Dewan Pimpinan Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Antonius Joenoes Supit (ketiga kanan) dalam diskusi Teras Kita dengan tema Melepas Tekanan Berat Ekonomi di Kampus MM UGM Jalan Sahardjo Tebet Jakarta Selatan, hari Sabtu (19/9). (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Salah satu Ketua Dewan Pimpinan Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Antonius Joenoes Supit, menilai saat ini pemerintah Indonesia belum mempunyai kepastian hukum terkait dengan perindustrian, proyek maupun ketenagakerjaan.

Menurutnya, inilah yang membuat investor lokal maupun asing masih ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

“Yang paling ditakuti dari kami (pengusaha) di padat karya adalah tentang kepastian hukum. Apalagi terkait dengan labor issue (masalah buruh). Kenaikan tuntutan buruh itu memang wajar tapi ada negosiasi di pabrik. Selama tiga tahun ini dibiarkan terjadi dan kecenderungan pemerintah takut menghadapi demo. Sehingga apapun diminta (akhirnya) dikasih,” kata Anton dalam diskusi Teras Kita dengan tema Melepas Tekanan Berat Ekonomi di Kampus MM UGM Jalan Sahardjo Tebet Jakarta Selatan, hari Sabtu (19/9).

Menurutnya, dengan demo besar-besaran yang kerap terjadi dengan menggelontorkan banyak permintaan yang selangit dari buruh dan sikap pemerintah yang tidak pasti membuat investor takut. Padahal, Indonesia memiliki saingan lain yaitu Vietnam di mana negara itu telah memberikan kepastian hukum terkait buruh maupun kebijakan yang menguntungkan investor.

Permasalahan kedua yang membuat takut investor adalah free trade agreement yang masih diperdebatkan di Indonesia dan ditambah lagi dengan GSP (Generalised System of Preferences) dengan Uni Eropa yang akan berakhir tahun depan. Dalam hal ini, Anton menilai sikap pemerintah yang belum melakukan tindakan apapun akhirnya menciptakan iklim ketidakpastian bagi pengusaha. Tidak seperti Vietnam, Kamboja dan Filipina yang telah melakukan persetujuan dengan menandatangani FTA dengan Uni Eropa.

Kemudian, masalah yang ketiga adalah pemerintah sering membatalkan proyek. Misalnya, terkait dengan proyek kereta api cepat. Anton bercerita saat dia pergi ke Jepang beberapa waktu yang lalu bahwa pihak Jepang tidak masalah siapa akhirnya yang mendapatkan proyek itu. Namun, Jepang ingin sikap pemerintah Indonesia konsisten terhadap pembangunan proyek tersebut.

“Baru saja kita ke Jepang, nuansanya begini,  dia senang sebagai orang Jepang kalau Shinkansen yang menang tetapi dia bilang tidak peduli kalau China (Tiongkok) menang nggak ada soal. Itu pilihan Indonesia. Yang penting kalau ada niat, bikin. Jangan suruh hitung sekian tahun menghitung bolak-balik akhirnya setelah itu dia (pemerintah RI) bilang nggak jadi,” kata Anton.

Masalah yang keempat adalah pihak internal pemerintah seringkali mempertontonkan masalah. Menurutnya, perbedaan pendapat itu pasti ada namun seharusnya antara menteri dengan pemimpinnya dapat mengatasi dan mencapai kata sepakat sehingga tidak ada pertentangan secara terbuka yang kemudian disorot oleh media.

“Mungkin kalau untuk masyarakat tidak ada dampak langsung. Tapi kalau untuk new comer (investor baru) akan mengatakan kalau negara di manage seperti ini bagaimana dengan kepastian hukum,” kata dia.

Sebagai solusinya, Anton berpendapat pemerintah harus belajar dari filosofi pemerintah Tiongkok yaitu harus memiliki leadership (jiwa kepemimpinan), fokus terhadap apa yang harus dikerjakan dan hindari konflik internal.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home