Loading...
SAINS
Penulis: Dedy Istanto 17:48 WIB | Senin, 06 Juni 2016

Perdagangan Satwa Dilindungi Terus Terjadi

Jenis primata Owa ungko (Hylobates agilis) yang berhasil diamankan oleh petugas kepolisian reserse khusus Polda Metro Jaya saat operasi tindak kejahatan perdagangan satwa liar yang dilakukan melalui media sosial. (Foto: Dedy Istanto).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perdagangan ilegal satwa langka maupun dilindungi terus terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Meski payung hukum yang ada sudah lengkap, namun tindakan kejahatan tersebut masih saja berulang.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2015, mencatat setidaknya ada 190 kasus terkait kejahatan satwa dan tumbuhan liar yang dilindungi. Yayasan World Wide Fund (WWF) Indonesia pada bulan Februari 2016 mencatat telah terjadi 18 kejahatan pada satwa liar yang dilindungi dan tengah diproses oleh kepolisian.

Kemudian Forum Konservasi Gajah Indonesia juga melakukan pendataan yang mencatat sedikitnya 152 gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati sejak periode tahun 2012 sampai dengan sekarang. Angka tersebut terus melonjak, karena secara perlahan kepunahan sudah terjadi di 13 kantong habitat gajah yang secara masif beralih menjadi kebun dan hutan monokultur.

Perlindungan terhadap keberadaan satwa liar maupun tumbuhan sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang telah menetapkan lebih dari 294 spesies, di antaranya terdiri dari jenis mamalia, burung, reptil, serangga, karang, moluska dan tumbuhan, yang daftarnya terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa.

 Ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan terhadap perlindungan satwa dan tumbuhan dilindungi dapat dikenakan maksimum 5 tahun penjara dan denda uang sebesar Rp 100 juta.

Penangkapan serta perdagangan jual beli satwa sudah jelas termasuk tindak kejahatan yang dilarang UU. Perkembangan teknologi digital menjadi salah satu pemicu berkembangnya perdagangan satwa yang dilakukan secara online. Tingginya permintaan baik di negara sendiri, maupun negara tetangga membuat perburuan, perdagangan serta penyeludupan satwa liar terus terjadi.

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh setiap tanggal 5 Juni, Badan Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengangkat tema “Go Wild for Life-Zero Tolerance for the Illegal Wildlife Trade”.

United Nations Environmental Programme (UNEP) menilai masih diperlukan usaha yang keras di tingkat nasional untuk menanggulangi perdagangan satwa liar, termasuk menetapkan kebijakan yang kuat dan efektif, kampanye dan penyadartahuan, konservasi serta penegakan hukum yang efektif.

Di tingkat internasional UNEP menggarisbawahi harus lebih banyak melibatkan orang untuk diajak memahami bahayanya perdagangan ilegal. Sehingga diharapkan permintaan terhadap satwa dilindungi juga berkurang.

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) melalui program khusus Tropical Forest Conservation Action (TFCA) untuk Sumatra, sudah memulai gerakan penyadartahuan tersebut melalui lembaga mitra Animal Indonesia, TFCA-Sumatera dengan melakukan program pencegahan perdagangan satwa liar ini di Sumatera, khususnya di Taman Nasional Kerinci Seblat.

“Kejahatan terhadap perdagangan satwa liar ini adalah kejahatan serius,” kata Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI M.S Sembiring.

Bahkan UNEP sudah mensejajarkan posisi kejahatan perdagangan satwa liar dengan perdagangan narkotika dan korupsi. Direktur Utama Animal Indonesia Suwarno mengatakan bahwa permintaan terhadap satwa liar tetap tinggi meski masyarakat sudah tahu bahwa kategorinya langka dan dilindungi.

“Semakin dilindungi, justru semakin mahal harganya,” kata Suwarno.

Hewan-hewan yang jadi incaran adalah spesies eksotik seperti orangutan, harimau, badak dan gading gajah. Namun dengan permintaan tinggi tersebut, menurut Suwarno, pengawasannya masih relatif lemah. Selama ini kendali ada di tangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang sudah tersedia di setiap provinsi.

Animal Indonesia pernah menemukan kukang, lutung, trenggiling dan bayi siamang diperjualbelikan bebas di Pasar Minggu Bengkulu dan Pasar 16 Ilir, Palembang.

“Jumlahnya memang kecil, tapi transaksinya berlangsung terus,” kata Suwarno.

Dari penegakan hukum yang kurang, Suwarno menambahkan, masalah masih timbul dari hasil penegakan hukum, di antaranya spesimen satwa liar sitaan. Menurut Suwarno, satwa-satwa yang disita, selama ini hanya dititipkan di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS), lembaga konservasi eksitu, kebun binatang dan beberapa pusat rehabilitasi, di mana PPS jumlahnya hanya ada satu di pulau Sumatera , satu di Pulau Jawa, dan satu di Pulau Sulawesi, serta beberapa rehabilitasi. Sementara itu banyak kebun binatang yang enggan atau dipandang tidak mampu untuk menerima dan memelihara sementara titipan satwa sitaan.

Berdasarkan laporan UNEP pada tahun 2014 menyebutkan bahwa, perdagangan satwa liar biasanya diorganisir oleh mafia atau kelompok kriminal yang beroperasi di lintas negara. Mereka berhasil menarik banyak orang untuk terlibat dengan nilai keuntungan yang tinggi dan berisiko rendah serta penegakan hukum yang lemah.

Suwarno sepakat dengan pernyataan tersebut. Dia mengamati bahwa untuk perdagangan di tingkat nasional, pulau Jawa merupakan tujuan akhir. Sementara untuk tujuan ke luar negeri, jalur yang digunakan melalui pulau Sumatra, dengan memilih jalur Riau menuju Singapura, Malaysia atau Vietnam. Satwa-satwa dilindungi yang berhasil lolos kemudian dibawa ke Tiongkok, Taiwan dan juga Thailand. Selain melalui Sumatera, jalur perdagangan serta penyeludupan juga bisa melalui Kalimantan dan Sulawesi yang langsung dibawa menuju Filipina.

Animal Indonesia memulai program penyadartahuan kepada generasi muda dan anak-anak sekolah dan berkampanye di sosial media. Hasil pemantauan Animal Indonesia sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2016, negara telah dirugikan sebesar Rp 750 juta dari perdagangan satwa dilindungi, di antaranya jenis satwa yang diperjualbelikan seperti burung elang, primata, dan juga lutung melalui media sosial.

“Itu baru satu kelompok saja, padahal ada ratusan kelompok,” kata Suwarno.

Dia menyarankan bahwa perlu ada peningkatan lagi dalam pengawasan serta monitoring perdagangan satwa dilindungi. (PR)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home