Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 13:23 WIB | Rabu, 16 Oktober 2019

Persaudaraan dan Perang Yang Meluas

Leo Tolstoy (1828 -1910), sastrawan dan pasifis dari Rusia, penulis buku "War and Peace". (Foto: Ist)

SATUHARAPAN.COM – Seratus tahun lalu atau tepatnya tahun 1919 (18 Januari), diselenggarakan Konferensi Perdamaian di Paris, Prancis, dan setahun kemudian berdirilah Liga Bangsa-bangsa (20 Januari 1920) yang didorong oleh kengerian akibat Perang Dunia Pertama. Liga itu yang kemudian menjadi cikal bakal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Di markas PBB di Jenewa, Swiss, seratus tahun yang menandai kerja sama multilateralisme itu diperingati. Dan yang istimewa adalah ditampilkannya enam halaman naskah asli dari novel “Perang dan Damai” karya Leo Tolstoy, seorang sastrawan dan pasifis dari Rusia.

Tolstoy sendiri pernah tinggal di sebuah vila di kota itu yang kemudian juga digunakan oleh PBB. Naskah yang ditampilkan menampilkan percakapan tentang ambisi manusia untuk perang dan juga ambisi untuk hidup bersama dalam harmoni. Kehadiran naskah yang dimiliki oleh Museum Tolstoy di Moskow itu untuk mengingatkan akan tugas PBB dan umat manusia dalam membangun perdamaian di dunia.

Sudah seratus tahun kesepakatan damai itu dibuat, tetapi dunia terus mencatat sejarah dengan berbagai perang, termasuk Perang Dunia Kedua yang mengerikan. Hingga awal abad ke-21 ini, perang dan ancaman perang, bahkan dengan senjata yang mematikan secara massal, seperti peluru kendali dengan hulu ledak nuklir, tidak pernah padam.

Ambisi orang untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis dan damai, tampaknya disaingi dengan sama kuatnya oleh ambisi untuk berperang: dengan merendahkan, membenci, mendominasi, menundukkan, dan membunuh orang lain. Dan kenyataan ini, seperti pesan pameran itu, perang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan permainan catur. Dan tentu saja, membangun persaudaraan tidak seperti melukis pelangi di atas kanvas.

Perang adalah urusan yang menjijikkan dan benar-benar kotor, kata pernyataan PBB dalam pameran itu. Perang selalu membawa tragedi dengan penderitaan manusia.

Yaman adalah salah satu contohnya. PBB menyebutkan negara ini sedang menuju jalan yang lebar untuk menjadi negara termiskin di dunia, karena perang saudara yang berlangsung “baru” empat tahun. Kondisi penduduk di sana sekarang 80 persen bergantung dari bantuan luar, di mana lembaga-lembaga bantuan PBB terus kesulitan memperoleh dananya.

‘Yang menjijikkan dan kotor’ itu terus menjadi pilihan dan membuat sejarah secara tajam di antara bangsa-bangsa di dunia ini.

Medan Pertempuran Makin Luas

Sekarang kita bahkan menyaksikan ‘perang’ bukan hanya sebagai kontak senjata, cara-cara ‘yang menjijikkan dan kotor’ dalam perang, terjadi dan digunakan dalam bisnis, perdagangan, sertai berbagai relasi antara manusia.

Perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, telah membuat manusia memasuki masyarakat dunia (global). Batas negara semakin kabur, dan relasi interpersonal menjadi makin luas. Globalisasi memang memberi dampak pada tumbuhnya persaudaraan umat manusia yang hidup bersama dalam satu planet ini. Namun juga ketidak-pedulian, kepicikan dan kejahatan yang dilakukan manusia juga berpengaruh negatif secara global menggunakan teknologi paling mutakhir.

Paradoks seperti itu, terus ditampilkan dalam kehidupan kita. Di tengah-tengah meningkatnya masalah kegemukan (obesitas karena kelebihan makan), kita menyaksikan ada 820 juta orang kelaparan (menurut data organisasi PBB untuk urusan Pangan dan Pertanian, FAO), dan bersamaan dengan itu, sepertiga produk makanan hanya dibuang di tempat sampah.

Turki bermaksud menciptakan zona damai dan aman di Suriah timur laut untuk menempatkan pengungsi Suriah yang lari karena perang saudara di negeri itu selama delapan tahun. Namun yang dilakukan adalah dengan invasi dan operasi militer yang membuat orang mati dan terusir, sebuah paradoks yang dikecam di seluruh dunia.

Perkembangan teknologi informasi yang dikuasai oleh hanya sejumlah negara kuat, bahkan membuat gap yang makin besar antara negara maju dan terbelakang, dan diperparah oleh perang dagang antara sejumlah negara. Bukannya membuat kesetaraan makin baik.

Proses politik di berbagai negara juga menjadi pemicu konflik, ketika cara-cara ‘yang menjijikkan dan kotor’ digunakan untuk sesuatu yang sebenarnya bertujuan baik. Bahkan banyak negara membelanjakan lebih banyak dananya untuk senjata ketimbang memakmurkan rakyatnya.

Persaingan Kekal?

Kehidupan bersama dalam persaudaraan adalah ambisi manusia yang juga tidak pernah padam. Bahkan di tengah-tengah perang, persaudaraan manusia di antara dua kubu yang bermusuhan juga banyak terjadi.

Persaudaraan ditopang oleh penghormatan pada kemuliaan manusia, penghargaan pada hak asasi yang sama, relasi yang didasarkan cinta kasih dan menghargai keanekaragaman, dan cara-cara dialog dalam mengatasi masalah.

Sebaliknya ambisi perang yang juga (tampaknya) tak terpadamkan selalu ditopang oleh kebencian dan sikap merendahkan pihak lain, ambisi mendominasi dan menolak keanekaragaman, dan menggunakan kekuatan (terutama dengan senjata untuk membunuh) sebagai cara mengatasi masalah.

Ambisi perang ini telah digencarkan melampaui medan pertempuran senjata, serangan telah dilakukan melalui jaringan dan teknologi informasi. Demikian juga ambisi untuk membangun persaudaraan juga terus mengisi jejaring internet. Dan sekarang ambisi membangun persaudaraan dan ambisi berperang tengah bersaing mendapatkan ‘pengikut’ di jaringan maya ini.

Persaingan itu antara yang menyebarkan fakta dengan yang menyebarkan kebohongan, yang menyebarkan kebencian dan yang menyebarkan cinta kasih, yang mengajarkan balas dendam dan yang mengajarkan pertobatan dan pengampunan, yang menghina orang lain dan yang menghormati orang lain, yang melucuti hak asasi orang lain dan yang menegakkan hak orang lain, serta yang memilih kehidupan dan yang memilih kematian.

“Perang dan Damai” karya Tolstoy bukan sebatas karya sastra. Pesannya pada setiap individu dan komunitas adalah apakah akan memilih memiliki ambisi persaudaraan dan cinta kasih atau ambisi permusuhan dan kebencian, persaingan (atau perang) dua kubu yang tampaknya jauh dari ujung.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home