Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 07:25 WIB | Kamis, 30 Oktober 2014

Potret Buruh Indonesia dalam Kisah Tiga Titik

(dari kiri) Mariam Supraba, Bobby Probowo, Lola Amaria, dan moderator Sofie saat pemutaran Kisah Tiga Titik di Goethe Institut, Mentang, Jakarta pada Selasa (28/10). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN – Potret realitas buruh Indonesia tergambar dalam film Kisah Tiga Titik yang telah rilis beberapa waktu lalu, tepatnya pada hari buruh 1 Mei 2013.

Produser sekaligus pemeran utama, Lola Amaria dalam pemutaran ulang film tersebut di Goethe Institut, Menteng, Jakarta pada Selasa (28/10) mengaku sengaja mengangkat isu feminisme, utamanya pada diskriminasi buruh, untuk menyindir para pengusaha dan pemerintah agar buruh lebih ‘dimanusiakan’.

“Tenaga kerja juga butuh diperhatikan dari sisi humanis. Toleransi cuti melahirkan, ruang menyusui, masa menstruasi, dan segala macamnya harus dipikirkan” kata Lola.

Ide pembuatan flm yang berorientasi pada kehidupan buruh muncul dari pengamatan Lola terhadap lingkungan sekitar.

“Ide ini muncul dari demo-demo yang sering dilihat masyarakat dan tidak pernah selesai sampai sekarang,” kata dia.

Sampai film ini dibuat, Lola mengatakan permasalahan buruh ini belum juga selesai.

Beberapa data dan berita menyebutkan kementerian tenaga kerja, pemilik perusahaan, dan buruh sampai saat ini tidak kunjung dapat menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang cukup krusial ini.

Meski berisi sindiran terhadap pemerintah, pembiayaan film ini dibantu oleh Kementerian tenaga Kerja dan Transmigrasi. Lola mengatakan, Muhaimin sebagai menteri saat itu tidak mempermasalahkan kritik sosial yang diangkat.

Benang Merah

Bobby Probowo, sutradara Kisah Tiga Titik mengaku film ini adalah film pertamanya. Butuh waktu kurang lebih 21 hari untuk menyelesaikan debut pertamanya tersebut. Dalam film ini, dikatakan Bobby, terdapat beberapa macam karakter buruh.

“Ada yang suka main togel, buruh idealis, tukang gosip, dan sebagainya. Setiap tokoh mewakili karakter buruh. Banyak macam manusia di kalangan buruh,”kata dia.

Ide pengangkatan tiga titik merupakan benang merah dari cermin buruh, pengusaha, dan pemerintah.

Mariam Supraba, pemeran Titik tomboy dalam film tersebut mengatakan sebetulnya film ini betul-betul merupakan potret Indonesia sehari-hari.

“Ini adalah gambaran Indonesia dalam bentuk yang lebih kecil dan kita lebih fokus untuk bicara soal buruh. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti akan bersinggungan dengan orang-orang, dengan karakter-karakter dalam film tersebut. Ini betul-betul keseharian kita. Hanya dipersempit lagi soal buruh,” katanya.

Ikhtisar

Film ini mengisahkan tentang tiga orang pekerja perempuan yang mempunyai satu kesamaan nama, yaitu Titik. Mereka adalah Titik Sulastri, janda beranak dua yang bekerja sebagai buruh kontrakan berupah rendah di sebuah pabrik garmen. Titik Dewanti Sari, perawan tua pemegang posisi bergengsi di sebuah perusahaan raksasa yang penuh skandal. Titik Kartika atau Titik Tomboy, anak preman yang bekerja sebagai buruh pabrik rumahan yang tidak takut mati demi keadilan. Tak hanya berbagi nama, ketiga Titik sama-sama terjebak dalam sebuah situasi yang membuat hidup mereka menjadi berubah 180 derajat. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home