Loading...
EKONOMI
Penulis: Prasasta Widiadi 21:45 WIB | Kamis, 02 Juli 2015

Program Sejuta Rumah Pemerintah Samakan Persepsi dengan Pengembang

Ilustrasi. Lanskap gedung apartemen (rumah susun vertikal) dengan fasilitas kolam renang dan taman bermain di Season City, Jakarta Barat, Senin (8/7). (Foto: Antara/Widodo S. Jusuf)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kesamaan persepsi antara pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) dengan perbankan dan pengembang menjadi elemen penting dalam menyukseskan program sejuta rumah yang menjadi andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Samakan persepsi terkait bantuan pembiayaan perumahan dalam rangka menyukseskan Program Pembangunan Sejuta Rumah,” kata Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kemenpupera Maurin Sitorus dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, hari Kamis (2/7).

Ia mengingatkan Program Sejuta Rumah merupakan tanggung jawab berbagai pihak dan tanpa dukungan pihak perbankan dan pengembang maka program itu tidak dapat tercapai. Untuk itu pihak perbankan yang telah diminta sebagai bank pelaksana Kredit Pemilikan Rumah melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) juga dapat menjalankan tugas dengan baik.

Pemerintah melalui Kemenpupera telah memberikan subsidi dalam bentuk KPR FLPP untuk masyarakat berpenghasilan menengah yang ingin memiliki rumah dengan suku bunga 5 persen dari semula sebesar 7,25 persen.

Selain itu, skim KPR FLPP ini nantinya akan dikombinasikan dengan skim subsidi selisih bunga yang rencananya akan diberlakukan mulai Juli 2015.

Apabila suku bunga komersial sebesar 12 persen, yang akan ditanggung oleh pemerintah adalah sebesar 7 persen setelah dikurangi FLPP sebesar 5 persen. "Skim KPR FLPP dan skim subsidi selisih bunga akan ditetapkan sebagai suatu kebijakan oleh pemerintah untuk 2016,” kata Maurin.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menyebutkan lima hal yang mesti dilakukan pemerintah bila benar-benar ingin mewujudkan program pembangunan satu juta rumah di berbagai daerah.  Yang pertama adalah ketersediaan tanah melalui bank tanah sehingga harga tanah tidak mengikuti mekanisme pasar.

Kedua, lanjut dia, ketersediaan lembaga yang dapat fokus untuk mengurusi rumah rakyat. "Saat ini Perumnas diperkirakan cocok untuk tugas tersebut. Namun, harus keluar dari BUMN untuk menjadi fokus Perumnas yang tidak `profit oriented` (mencari keuntungan)," kata Tranghada.

Kemudian, faktor ketiga adalah ketersediaan pendanaan terkait dengan bantuan FLPP serta pendanaan dari pihak lain seperti BPJS.

Faktor keempat adalah ketersediaan data dan informasi kekurangan perumahan, yaitu daerah mana saja yang porsi kekurangan rumah terbesar sehingga pembangunan menjadi tidak terarah dan hanya berorientasi fisik saja.

Terakhir, faktor kelima adalah pemangkasan biaya terkait dengan proses perizinan, biaya sertifikasi, dan penyambungan PLN.

“Program ini harus dimulai dengan inisiatif dari pemerintah. Jangan bebankan pengembang swasta yang dalam hal ini dapat dilakukan program kemitraan melalui program Hunian Berimbang yang juga harus dipenuhi oleh pengembang. Namun, jangan jadikan alasan oleh pemerintah untuk tidak membangun rumah,” kata dia.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch merasa miris bahwa setiap tahun yang bisa memasok 100.000-150.000 unit rumah adalah seluruhnya pihak swasta, berbeda halnya dengan negara tetangga, Singapura.

"Bila kita melihat Singapura dengan Housing Development Boardnya telah membangun satu jutaan unit flat mulai 1960-an, dan sejak 2000-an Singapura berhasil membuat 85 persen rakyatnya memiliki hunian," kata dia. (Ant).

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home