Loading...
OPINI
Penulis: Mulyanah 00:00 WIB | Senin, 02 Desember 2013

Refleksi Hari AIDS Sedunia

SATUHARAPAN.COM - Meskipun kampanye HIV/AIDS lumayan luas dan massif, hasilnya belum terlihat efektif betul. Melalui iklan di media massa dan bentuk sosialisasi yang lainnya, sepertinya belum cukup mampu meningkatkan kewaspadaan masyarakat akan bahaya HIV/AIDS. Jika pun seseorang telah mengerti sedikit seluk beluk HIV/AIDS dan cara-cara penularannya, tak ada jaminan dia mengubah sikap dan perilaku yang rawan terpapar virus mematikan ini.

Hal ini terutama, seperti yang diungkap aktivis HIV/AIDS Baby Jim Aditya, akibat masih kuatnya mitos mengenai penyakit tersebut. Ketika aktivis yang juga artis ini menemui seorang kakek yang berperilaku rawan terpapar HIV/AIDS dan ditanya apakah dia tak takut terkena HIV, si kakek berucap bahwa dia rajin sembayang tahajud dan karena itu tak perlu merasa takut.

Beberapa mitos penting itu antara lain, AIDS merupakan penyakit hasil hubungan sejenis, seperti akronim plesetan AIDS yang pernah terkenal, “akibat intim dengan sesama”. Mitos lainnya, AIDS berasal dari orang asing terutama Barat karena dihubungkan dengan perilaku seks mereka yang bebas. Kenyataannya, statistik secara global menunjukkan proporsi prevalensi kasus HIV/AIDS di negara-negara maju (Eropa Barat, Jepang, AS) hanyalah 5 persen dan 95 persennya justru dari negara-negara berkembang.

Mitos lainnya, kebanyakan orang Indonesia percaya ibadah mampu melambari badan seratus persen dari tertular HIV/AIDS, bahkan mereka yang sebenarnya berasal dari kelompok rawan.

Dalam masalah ini, kuat anggapan bahwa HIV/AIDS merupakan hukuman Tuhan atau cobaan, sehingga hanya orang-orang tertentu yang diinginkan Tuhanlah yang bakal terkena. Celakanya, sinetron-sinetron relijius di televisi kita menguatkan anggapan ini.

Meskipun kurang berhubungan secara rasional, dalam sinetron tersebut sering digambarkan orang yang jahat secara tiba-tiba terkena penyakit misterius hingga meninggal secara mengenaskan. Pesan yang tertangkap memang bagus bahwa siapapun tidak boleh berperilaku jahat. Namun siapapun paham, penyakit tidak “menghitung” kebaikan atau kejahatan orang terlebih dulu. Artinya bersikap baik tidak cukup dan harus diperkuat dengan perilaku yang baik pula.

Berkurangnya kewaspadaan juga lahir dari keyakinan sebagian besar orang bahwa HIV/AIDS berada “jauh di sana”, seperti di Papua, Bali atau kota-kota besar dengan gaya hidup yang relatif bebas. Karena keyakinan ini, terbentuk pandangan kebanyakan masyakat merasa berada di luar jangkauan virus tersebut.

Padahal, dari waktu ke waktu prevalensi HIV/AIDS semakin meningkat dan seperti di luar kendali. Secara nasional, menurut catatan Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan, sampai Juni 2013 terdapat 43.667 penderita AIDS dan 108.600 pengidap HIV. Tujuh tahun lalu (2006) kasus HIV/AIDS ”hanya” berjumlah 10.859 kasus. Dalam kurun waktu yang sama, terjadi peningkatan hingga 15 kali lipat.

Mengurai Mitos

Sekarang diperlukan upaya untuk mengurai mitos seputar HIV/AIDS dan tak sekedar kampanye yang memuat unsur pengetahuan rasional mengenai penyakit ini. Salah satu potensi yang kita miliki adalah munculnya banyak dai atau juru dakwah, terutama yang difasilitasi oleh stasiun televisi.

Masyarakat luas pun mengenal baik para pendakwah tersebut. Petuah-petuah mereka dicermati betul dan dijadikan pedoman hidup oleh sebagian masyarakat. Kita menunggu bahwa mereka akan lebih kooperatif pula dalam mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS.

Di samping juru dakwah papan atas (diukur dari seringnya tampil di televisi), masih ada ribuan pendakwah lain di seluruh Indonesia. Pelibatan mereka dalam program kampanye anti-HIV/AIDS berpotensi memperkuat bangsa ini dari ancaman HIV/AIDS.

Selama ini mereka mungkin telah melakukannya dalam khotbah-khotbah. Namun tema HIV/AIDS masih bisa dibilang “pelengkap” belaka. Penyampaian soal ini juga biasanya bukan untuk melawan penetrasi penyakit ini, tapi lebih banyak mengkritik metode pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan pemerintah atau LSM. Misalnya soal kampanye penggunaan kondom yang dianggap memicu seks bebas.

Dakwah HIV/AIDS ini memang tak perlu mengadopsi bulat-bulat metodologi pemerintah dan LSM. Dakwah bisa diarahkan pada upaya memperkuat pengetahuan mengenai virus ini, sembari tetap mewanti-wanti bahwa tindakan paling aman adalah dengan tidak melakukan perilaku rawan HIV/AIDS, seperti seks sebelum dan di luar nikah atau penggunaan narkoba.

KH. Masdar F. Mas’udi dari NU pernah membuat terminologi yang sangat penting. Masdar membedakan antara safe dan unsafe sex (seks aman dan tidak aman), protected dan unprotected sex (seks terjamin dan tidak terjamin). Misalnya ada hubungan seks yang halal dan aman, seperti hubungan seks dalam perkawinan. Halal karena dalam kerangka perkawinan; aman karena kedua pasangan tidak terinfeksi HIV. Ada juga hubungan seks yang halal, tapi tidak aman. Halal karena dilakukan dalam kerangka perkawinan; tidak aman karena salah satunya berisiko tinggi kalau tidak pakai pengaman.

Pendakwah juga dapat mengemukakan HIV/AIDS tidak mengenal keimanan seseorang kalau keimanan tersebut tak disertai perilaku yang sehat. Kewaspadaan tak cukup dengan ibadah segiat-giatnya, namun mesti diikuti pengetahuan memadai soal HIV/AIDS dan menjauhkan diri dari perilaku rawan tertular.

Penulis adalah Ibu rumah tangga, aktif mengikuti isu sosial dan perempuan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home