Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 14:53 WIB | Kamis, 02 April 2015

Refleksi Jumat Agung dan Paskah: Yesus Sang Anak Perdamaian

Lukisan tentang penyaliban Yesus Kristus: “Crucifixion (Corpus Hypercubus)” karya Salvador Dali (1954). (Sumber: wikipedia.org)

SATUHARAPAN.COM – Awal April 2015 ini umat Kristen di dunia merayakan Hari Raya Jumat Agung dan Paskah. Jumat Agung adalah perayaan peristiwa kematian Yesus. Paskah merayakan kebangkitan-Nya setelah tiga hari kematian-Nya. Dalam tradisi Kristen, Jumat Agung dan Paskah dirayakan secara besar-besaran khususnya ketika mempertimbangkan arti atau maknanya yang sangat menentukan bagi keberimanan umat Kristen. Secara prinsipil dan umumnya dipahami bahwa kematian Yesus bermakna pengorbanan bagi penebusan dosa manusia. Oleh penebusan itu, manusia dapat terbebas dari penghukuman kekal. Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa kemenangan atas kuasa kematian sehingga ada kenyataan dan harapan pada kehidupan abadi setelah kematian. Manusia yang percaya kepada Yesus dan mengikuti teladan-Nya akan beroleh hidup kekal-abadi itu.

Dari tahun-ke tahun perayaan Jumat Agung dan Paskah diselenggarakan dengan dasar pemikiran tentang penebusan dan harapan keselamatan atau hidup abadi. Namun demikian, secara khusus perayaan-perayaan itu dipahami dan dimaknai dalam konteks pergumulan atau persoalan yang dihadapi di setiap masa. Pada masa kini atau di tahun 2015 ini hal yang menjadi pergumulan utama adalah banyaknya konflik dengan kekerasan yang terjadi di berbagai tempat termasuk di Indonesia. Karena itu, soal perdamaian atau rekonsiliasi dan perdamaian menjadi penting untuk diberi perhatian. Dengan begitu, Yesus yang berkorban untuk pendamaian patut menjadi perenungan atau refleksi dalam merayakan Jumat Agung dan Paskah kali ini.

Sang Anak Perdamaian

Umat Kristen umumnya percaya dan memahami bahwa penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib adalah cara dan bentuk pengorbanan Yesus untuk menebus dosa manusia. Pengorbanan itu adalah bagian dari rencana Allah, Sang Bapa, untuk menyelamatkan manusia berdosa yang terancam oleh penghukuman. Pengorbanan itu bukanlah rencana atau kehendak Yesus. Yesus sendiri sempat memperlihatkan penolakan terhadap cara dan bentuk penderitaan dan kematian di salib. Dalam doa-Nya di taman Getsemani ia berkata “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Lukas 22:42). Namun pada akhirnya Ia rela menderita dan mati dijadikan korban.

Pengorbanan dan kematian Yesus sebagai penebusan ini menjadi jembatan penghubung antara manusia dan Allah, Sang Ilahi. Relasi antara Allah dan manusia yang sebelumnya rusak dan dibatasi oleh jurang dosa telah dipulihkan dan diperdamaikan oleh pengorbanan Yesus itu. Ia yang diakui sebagai Anak oleh Allah sendiri tetapi lalu dijadikan korban untuk perdamaian antara Allah dan manusia. Yesus menjadi alat bagi perdamaian, seorang agent of peace. Dalam istilah lain, Ia dijadikan korban sebagai “Anak Perdamaian”.

Dalam tradisi masyarakat di banyak tempat, usaha untuk berdamai antara dua pihak yang berseteru biasanya disertai dengan pemberian materi yang berupa benda mati atau benda hidup. Benda hidup dapat berupa hewan dan bahkan manusia khususnya anak kecil. Cerita di dalam Alkitab Perjanjian Lama, tentang Ishak yang akan dikorbankan oleh Abraham tetapi yang kemudian digantikan dengan domba menunjukkan tradisi pengorbanan manusia atau anak dan hewan sebagai korban penebusan, keselamatan atau perdamaian. Cerita serupa juga menjadi adat istiadat di beberapa suku di Papua yang mempersembahkan seorang anak bagi perdamaian antara mereka yang bermusuhan atau terlibat dalam perang antar suku (Lihat Don and Carol Richardson, Anak Perdamaian). Anak yang akan dikorbankan itu pada akhirnya bersedia dan rela menerima untuk dikorbankan bagi perdamaian, seperti kerelaan Yesus.

Untuk kesediaan berkorban itu, ada reward atau pahala yang didapat. Ishak diberkati dan dihormati sebagai leluhur bangsa-bangsa di dunia. Anak yang dipersembahkan oleh kepala satu suku ke kepala suku yang lain menjadi anak yang disayang, dihormati, diingat dan dijadikan simbol perdamaian. Yesus dibebaskan dan dimenangkan dari kuasa maut. Ia bangkit dari kematian, PASKAH. Dengan itu, ada penebusan dosa dan keselamatan bagi manusia dan dunia. Ada Syalom, damai sejahtera di bumi, di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.

 Menjadi Agent of Peace

Kehidupan masyarakat atau dunia saat ini diwarnai oleh banyak konflik, kerusuhan dan peperangan. Itu terjadi baik di dalam diri seseorang, dalam hubungannya dengan orang lain, antara anggota di dalam keluarga, antara kelompok di masyarakat dan antara satu dengan lain negara. Dalam kondisi konflik seperti ini, tentu setiap orang yang berpikir sehat akan setuju bahwa ia membutuhkan dan menginginkan perdamaian dan kedamaian diri dan hidup. Setiap orang membutuhkan rasa aman, nyaman dan hati gembira untuk menjalani dan menikmati hidup. Suasana hidup demikian mendukung bagi hidup yang bermakna melalui karya-karya yang bermanfaat bagi manusia dan dunia.

Untuk itu, tentu ada harga yang harus dibayar. Perlu dan harus ada kesediaan untuk berkorban atau bahkan menjadi korban sebagaimana sikap Yesus; rela berkorban untuk perdamaian dan keselamatan dunia. Yang dapat dan perlu dikorbankan oleh siapa pun dalam berbagai kondisi permusuhan, konflik, kerusakan relasi dengan orang lain dan ketiadaan damai-sejahtera adalah “kedirian”-nya. Egoisme, pementingan dan kepentingan diri sendiri, pengutamaan status dan hak, harkat dan martabat serta kebanggaan dan keangkuhan adalah kedirian itu. Ini lalu digantikan oleh kerelaan untuk berkorban dan bahkan menjadi korban, kesabaran, kepasrahan serta melihat dan mengutamakan kepentingan orang lain, yang sebenarnya efeknya adalah juga sebagai kepentingan diri sendiri.

Dengan begitu, kita menjadi agen-agen rekonsiliasi, agen pendamaian dan perdamaian, agent of peace. Kita bukan menjadi orang yang gemar konflik, gemar rusuh, gemar berperang atau sebagai alat-alat kejahatan, agent of evil. Akan tetapi, seperti Yesus, kita menjadi anak-anak perdamaian dengan pahala kemenangan, kedamaian dan keselamatan abadi.

Selamat merayakan Jumat Agung dan Paskah 2015.

Stanley R. Rambitan, Teolog-Dosen Pascasarjana UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home