Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta 09:09 WIB | Kamis, 04 Juli 2013

Rekonsiliasi FSAB Contoh bagi Kerukunan Bangsa Indonesia

Svetlana Njoto, Setyo Susilo, Agus Widjojo, Lukmah Hakim Saifuddin, Harry Tjan Silalahi, KH. Solahudin Wahid masing-masing menerima satu eksemplar buku Children Of War dari penerbit Kompas. (Foto: Prasasta)

 

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kerukunan yang terjadi di antara anggota Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB) adalah contoh ideal kerukunan dalam bangsa Indonesia yang pernah berlatar belakang konflik antar generasi.

Pendapat tersebut dikemukakan Baskara T. Wardaya dalam dalam peluncuran buku “Children Of War” yang digelar di Gedung Nusantara V Kompleks MPR RI, pada Rabu (3/7).

“Anggota-anggota FSAB ini dapat dicontoh dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.” ujar Baskara. Dia mengatakan bahwa konflik dalam generasi pasa meletusnya peristiwa G-30 S/ PKI bukan keinginan orangtua mereka, tetapi sesungguhnya adalah kesamaan untuk memajukan Indonesia.

“Perbedaan tersebut, atau konflik-konflik yang ada di masa lalu sesungguhnya bukanlah konflik antar orang tua mereka, namun mengarah kepada kesamaan,” tutur Baskara.

“Menurut saya, yang ada adalah adanya kesamaan keinginan untuk membentuk Indonesia dengan versi masing-masing.” Baskara menambahkan bahwa ada Indonesia yang ideal versi komunis (pada saat itu) akan berbeda dengan Indonesia ideal  dalam versi kelompok religius, maupun nasionalis.

Baskara mengatakan bahwa pandangan dunia saat ini melihat Indonesia sebagai negara korup, tetapi pandangan dunia terhadap Indonesia diperkirakan berubah dengan adanya kedamaian, dan perdamaian tercipta dengan dicontohkan seperti FSAB.

“Bagi saya Child Of War merupakan titik pijak bagi untuk memperoleh pandangan dunia yang baru tentang Indonesia.” Ujar Baskara.

Senada dengan Baskara, staf pengajar Universitas Pertahanan Indonesia, Prof.Dr. Salim Said mengatakan bahwa tidak perlu lagi mengkotak-kotakkan dan memendam dendam terlalu lama tentang konflik warisan masa lalu, agar jangan tercipta konflik horizontal.

“Buku ini tidak bicara lagi tentang Bu Svetlana, Pak Ilham, Pak Sarjono sebagi pihak yang pengkhianat, sementara Bu Catherine, Bu Amelia, Pak Agus merupakan pihak yang benar. Tetapi mengelaborasi perbedaan generasi dan ideologi yang terjadi tersebut menjadi panutan bangsa,” tutur Salim.

Oleh karena itu, Salim Said mengatakan bahwa buku yang sedang dibahas itu adalah panutan, walau generasi muda saat ini seolah tidak butuh panutan. “Buku ini adalah simbol nyata dari rekonsiliasi. Anak muda jaman sekarang selayaknya belajar banyak rekonsiliasi karena generasi reformasi ini malah memprihatinkan,” ujar Salim.

Salim menambahkan bahwa generasi muda sekarang mudah terprovokasi untuk demonstrasi di jalan raya, bahkan konflik antar masyarakat di lingkup terkecil tak terhindarkan.

“Mahasiswa malah mudah terpancing konflik, apalagi kalau kita sering melihat di depan gedung DPR MPR ini. Kita lihat kan kalau mereka demonstrasi? Mereka terkadang menyulut kemarahan pihak lain, tidak hanya di tingkat akademisi, tetapi sampai level kampung, RT dan RW terkadang bisa konflik. Mudah-mudahan buku ini bisa meminimalisir,” tambah Salim.

Salim berharap agar siapapun yang telah membaca buku ini lebih memahami dan mencintai Indonesia, sehingga jangan sampai bubar seperti Uni Soviet.

“Janganlah Indonesia terpecah seperti Uni Soviet, karena kalau Indonesia bubar akan habis dan cepat terjadi pertumpahan darah,” ujar Salim.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home