Loading...
INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 05:30 WIB | Kamis, 14 Agustus 2014

Saksi Prabowo-Hatta Dinilai Tidak Perkuat Permohonan

Ketua Bawaslu, Muhamad (tengah), membacakan pembelaan pada sidang lanjutan kode etik di Gedung Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Rabu (13/8). Sidang lanjutan ketiga oleh DKPP ini beragendakan pembelaan dari teradu yaitu KPU dan Bawaslu, terkait 14 aduan yang dilakukan oleh tim pasangan capres-cawapres, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ahli Tata Hukum Negara dan Pengamat Politik Indonesia Refly Harun menilai saksi yang dihadirkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, selaku pemohon, tak memperkuat permohonan selama sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang telah digelar lima kali di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kita harus starting poin dari permohonan. Dan saya kira saksi justru tidak memperkuat permohonan," kata Refly di Jakarta, Rabu (13/8).

Menurut Refly kelemahan keterangan saksi terutama terkait pada klaim Prabowo-Hatta memenangi Pilpres 2014 jika tidak terdapat pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan perolehan suara untuk pasangan Prabowo-Hatta sebesar 67.139.153 suara (50,25 persen), sedangkan pasangan Jokowi-JK sebanyak 66.435.124 suara (49,74 persen).

"Terutama klaim menang dari Prabowo-Hatta, dinyatakan menang dengan 50,25 persen, dari semua saksi yang diperiksa tidak ada satu pun kemudian bersaksi terutama terkait perubahan angka, perubahan rekapitulasi kenapa yang menang malah Jokowi-JK, rata-rata hanya Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dan soal Papua," jelas Refly.

"Itu membuktikan bahwa Prabowo yang mengklaim unggul menurut saya adalah dalil yang tidak didukung alat bukti yang memadai," tegasnya.

Ia menambahkan dalil dari permohonan kubu Prabowo-Hatta terkait kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang dinilai telah merugikan pihak Prabowo-Hatta secara signifikan pun menurut Refly tidak terbukti dengan kuat.

Lebih lanjut Refli menilai kalau pun dugaan kecurangan yang terjadi di Papua memang terbukti maka hal tersebut lebih bersifat hal-hal administratif bukan termasuk kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

"Dalil kedua mengenai kecurangan TSM, saya melihat dari semua hal yang dilakukan mungkin baru Papua yang bisa dinilai dari kecurangan kalau memang terbukti. Sementara yang lain lebih bersifat hal-hal administratif seperti DPT, DPKTb, soal rekomendasi bawaslu, yang merupakan hal-hal yang tidak bisa dimasukan dalam kecurangan, apalagi kecurangan TSM," jelas Refly.

"Mengenai Papua, kalau pun di beberapa tempat ada kecurangan saya meyakini terlokalisir saja di tempat itu, tidak ada kaitan di tempat lain dan tidak ada kaitan ada tuduhan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum sebagai termohon) melakukan kecurangan TSM. Di Papua kita tidak bisa melihat apa, tidak ada perintah atau ada kecurangan TSM," lanjutnya.

Sedangkan soal pembukaan beberapa kotak suara yang dilakukan KPU dan dipermasalahkan oleh kubu Prabowo-Hatta, Refly menilai itu merupakan klaim yang mengada-ngada. Menurutnya aktivitas membuka kotak suara untuk diambil formulir A5, dan C7 oleh KPU sudah berdasarkan izin dari MK dan secara hukum tidak ada larangan sebelum ada penetapan dari MK.

"Pertemuan Hadar Nafis Gumay (Komisioner KPU) dengan Trimedia Panjaitan (petinggi PDIP) yang dipersoalkan pun menurut saya menggelikan dan tidak relevan. Saya pikir terlalu hebat pertemuan beberapa menit langsung bisa disebut kecurangan TSM," kata Refly.

"Jadi menurut saya sampai posisi hari ini, dalil kubu Prabowo-Hatta bahwa KPU melakukan kecurangan TSM merupakan dalil tidak berdasar sehingga seharusnya permohonan mereka ditolak oleh MK," tambahnya. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home