Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 15:35 WIB | Rabu, 04 Januari 2017

Satu Pastor Sudan Dibebaskan dari Hukuman

Ilustrasi. Penduduk Sudan Selatan berdiri di dekat sebuah tenda yang digunakan sebagai gereja di sebuah kamp DI stasiun kereta api, tempat mereka menghabiskan empat tahun terakhir mengungsi di Khartoum, pada 11 Mei 2014. (Foto: huffingtonpost.co.uk)

KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM – Satu pemimpin gereja di Sudan dibebaskan namun tiga lainnya, seorang pastor, seorang pekerja kemanusiaan, dan seorang sarjana masih ditahan dan akan menghadapi hukuman mati dalam tuduhan “melakukan tindakan mata-mata”.

Menurut Christian Today yang mengutip dari World Watch Monitor (WWM), pada hari Selasa (3/1) dari empat orang yang ditahan sejak Desember 2015, satu orang yang dibebaskan bernama Kuwa Shamal. Dia dibebaskan sesuai putusan pengadilan yang berlangsung di Khartoum, Sudan hari Selasa (3/1), dalam persidangan tersebut hakim menyimpulkan tidak ada bukti yang cukup untuk mendakwanya.

Namun, hakim memutuskan ada bukti yang cukup untuk melanjutkan kasus kepada rekan-rekannya yakni pemimpin gereja “Sudan Church of Christ”  Hassan Taour, dan mahasiswa yang baru lulus asal Darfur, Abdulmonem Abdumawla, dan pekerja asal Republik Ceko, Petr Jasek.

Setelah berbulan-bulan WWM menyebut persidangan tersebut sebagai "stagnasi", beberapa dengar pendapat telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir dan sidang berikutnya yang dijadwalkan akan digelar 9 Januari, ketika para pengacara pembela akan memaparkan hal tersebut.

Shamal dan Taour tidak dapat menghadiri sidang pada 19 Desember karena sakit, kata WWM. Selama sidang itu, hakim menolak salah satu saksi yakni anggota National Intelligence and Security Service (NISS) atau Intelijen dan Keamanan Nasional setelah keluhan dari jaksa bahwa kesaksian dari anggota NISS tersebut tidak ada perbedaan dengan kesaksian lainnya dari anggota NISS yang berbeda. 

Dalam sidang yang berlangsung 26 dan 28 Desember para terdakwa memberikan keterangan, dan mendapat pertanyaan oleh hakim.

Tuduhan terhadap tiga orang yang tersisa antara lain melancarkan perang terhadap negara, menghasut kebencian, menyebarkan berita palsu, spionase dan keterlibatan dalam perjanjian pidana.

Para terdakwa secara khusus dituduh dalam dakwaan memproduksi video yang menayangkan perisitiwa genosida mengaku, membunuh warga sipil dan melakukan pembakaran desa.  

Menurut laporan WWM, setelah Taour dan Shamal ditangkap oleh NISS pada 18 Desember tahun lalu, mereka ditahan tanpa diizinkan berkomunikasi selama berbulan-bulan dengan keluarga mereka.

Abdumawla, seorang pekerja di perusahaan eksplorasi tambang di Khartoum, ditangkap sehari setelah penangkapan Jasek pada tanggal 10 Desember.

Pihak kepolisian yang berwenang menyita beberapa benda antara lain komputer, ponsel dan flash drive saat ia berusaha meninggalkan negara tersebut.

Semua terdakwa dipindahkan ke penjara Omdurman pada awal Agustus dan kemudian secara resmi didakwa sebelum disidangkan di Khartoum Court North pada tanggal 21 Agustus.

Pengadilan sejak semula dijadwalkan berlangsung hampir setiap pekan, tapi berulang kali sidang mengalami penundaan tanpa pemberitahuan ketika terdapat saksi, penerjemah atau hakim yang tidak berhasil dihadirkan di persidangan. 

Pengamat diplomatik Barat telah secara berkala duduk di ruang pengadilan, sementara itu warga setempat yang mengikuti persidangan tersebut melihat pengadilan dari luar. 

Menurut WWM yang mengutip pernyataan salah satu pengamat pada sidang bulan lalu mengatakan:

“Tidak ada yang baru dari sidang, Itu hanya pengulangan apa yang telah dikatakan. Mereka tidak memiliki bukti untuk mendukung tuduhan mereka,” kata salah satu pengamat.

Pada bulan Desember, pembicaraan di pengadilan memfokuskan pada tuduhan tentang pertemuan Taour dan Shamal dengan sejumlah pemimpin gereja Sudan lainnya di Etiopia, penangkapan tersebut diduga kuat dilakukan dengan motif politik untuk  merusak citra Sudan dalam skala internasional.

Parlemen Eropa pada awal Oktober mengeluarkan mandat luar biasa “Urgency Resolution” untuk segera melakukan pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap empat orang tersebut.

Sejak tahun 1999, U.S State Department atau Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menyebut Sudan sebagai negara yang memerlukan perhatian khusus dengan alasan kekerasan terhadap kebebasan beragama, termasuk penganiayaan terhadap Kristiani.

Menurut pengukuran organisasi yang menangani penganiyaan terhadap umat Kristiani di dunia, Open Doors, Sudan saat ini menempati peringkat kedelapan dari 50 negara yang disorot melakukan penganiyaan terhadap Kristiani. (christiantoday.com)

 

Baca Juga

Pendeta Diancam Hukuman Mati di Sudan

Sudan Bebaskan 2 Pendeta Gereja Injili dari Ancaman Hukuman Mati

Sudan Ancam Tutup Perbatasan dengan Sudan Selatan

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home