Loading...
OPINI
Penulis: Wiwin Sri Rahyani 06:22 WIB | Senin, 24 Maret 2014

Secercah Harapan Bagi PRT

SATUHARAPAN.COM - Berita penyekapan dan penyiksaan terhadap belasan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang dilakukan oleh istri seorang Jenderal di Bogor cukup menggemparkan masyarakat. Apakah ini terjadi karena kurangnya regulasi yang melindungi PRT atau kurangnya pengawasan dari Pemerintah untuk melindungi PRT? Dalam tulisan ini, Penulis akan mengkaji pentingnya regulasi yang khusus mengatur perlindungan PRT dan harapan apa yang ingin diperoleh dengan adanya regulasi tersebut.

Seiring dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat, PRT tidak lagi dipandang sebagai sosok pelayan atau pembantu, melainkan pekerja. Itulah mengapa Penulis memberikan istilah atau singkatan PRT=Pekerja Rumah Tangga bukan Pembantu Rumah Tangga. Tentunya, sebagai pekerja, PRT mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari warga negara, PRT memiliki hak untuk dilindungi dalam menjalankan pekerjaannya.

Pekerjaan sebagai PRT mempunyai karakteristik tersendiri, baik jenis pekerjaan, waktu kerja, hubungan kerja dengan pemberi kerja, maupun wilayah kerjanya yang berada dalam ruang privat (rumah tangga). Dalam masyarakat tertentu, hubungan PRT dengan pemberi kerja lebih bersifat kekeluargaan. PRT biasanya masih memiliki hubungan keluarga dengan pemberi kerja, dan upah yang diterima tidak selalu dalam bentuk uang, melainkan dapat dalam bentuk lain seperti biaya sekolah. Ini pula yang menyebabkan PRT belum masuk dalam lingkup pengaturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) karena PRT mempunyai karakteristik tersendiri.

 

Regulasi Saat Ini

Dalam UU Ketenagakerjaan selama ini belum ada aturan yang secara khusus dan eksplisit mengatur mengenai PRT, termasuk definisi PRT sebagai bagian dari pekerja. Pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai masalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pekerja di sektor formal yang bekerja dalam suatu hubungan kerja berdasarkan adanya perjanjian kerja. Sebagian besar PRT bekerja tanpa adanya perjanjian kerja, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja.

Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak secara eksplisit menyebutkan istilah PRT sebagai pekerja, sehingga dalam implementasinya, PRT dianggap bukan sebagai pekerja yang masuk dalam wilayah perlindungan hukum perburuhan.

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diberikan batasan pengertian tentang perdagangan orang yaitu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Juga diperkuat dengan adanya sanksi pidana dan sanksi denda bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, tapi tetap UU ini tidak mengatur secara khusus mengenai PRT.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT), diberikan batasan pengertian bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Lingkup keluarga dalam UU KDRT meliputi:

a.  suami, isteri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c.  orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga  tersebut.

PRT sebagai orang yang bekerja membantu rumah tangga, sebetulnya sudah masuk dalam lingkup UU KDRT. Terlebih lagi dalam UU KDRT ini diatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku KDRT tetapi tetap sampai saat ini masyarakat luas dan aparat hukum masih memandang KDRT yang menimpa orang-orang yang berada di dalamnya, termasuk PRT sebagai permasalahan domestik yang tidak perlu diintervensi oleh orang luar.

 

Perlunya Regulasi Khusus

PRT merupakan fenomena sosial yang memiliki permasalahan kompleks dan tersembunyi. Faktanya PRT ditempatkan pada posisi dimana pekerjaannya memang belum memiliki norma hukum. Permasalahan yang dialami PRT sering belum mendapatkan pengawasan dari instansi yang berwenang dan cenderung rentan eksploitasi karena tanpa ikatan perjanjian kerja, tanpa aturan jam kerja, tanpa ketentuan upah minimum, dan tanpa hari libur.

Oleh karena itu mengingat secara yuridis formal belum ada peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai PRT, maka diperlukan UU yang mengatur bukan hanya perlindungan bagi PRT juga perlindungan bagi pemberi kerja (majikan) dan penyedia jasa PRT (penyalur). Saat ini DPR RI sedang memproses pembentukan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan sedang dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Materi pokok yang perlu diatur antara lain mengenai waktu kerja, lingkup kerja, batas usia PRT, mekanisme perekrutan dan penempatan PRT, serta hak dan kewajiban PRT, pemberi kerja, dan penyedia jasa PRT.

Selain itu juga perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja baik lisan maupun tertulis.Hal ini perlu untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi PRT dan pemberi kerja. Kemudian untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja PRT perlu diatur ketentuan mengenai pelatihan bagi PRT. Untuk menjamin adanya penegakan hukum maka perlu diatur pula mengenai ketentuan pembinaan, pengawasan, dan penerapan sanksi bagi PRT, pemberi kerja, dan penyedia jasa PRT yang melanggar hak dan kewajiban masing-masing.

Perlu juga diperhatikan, karena pada kenyataannya banyak PRT yang bekerja masih dalam lingkup hubungan keluarga, atau juga hubungan kultural seperti hubungan yang timbul karena tradisi yaitu ngenger dan abdi dalem, apakah perlu diatur juga secara khusus dalam RUU.

RUU PPRT diharapkan dapat memberikan pengakuan secara hukum atas PRT, menciptakan rasa aman dan tenteram bagi PRT dalam melaksanakan pekerjaannya, meningkatkan harkat dan martabat PRT, meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT, mewujudkan hubungan kerja yang harmonis dengan pemberi kerja (majikan), dan harapan yang lebih dapat meningkatkan kesejahteraan PRT. Dengan adanya kejelasan mengenai hak dan kewajiban diharapkan juga akan memberikan perlindungan kepada pemberi kerja dan penyedia jasa PRT.

RUU PPRT prosesnya memang masih membutuhkan waktu karena harus melewati beberapa tahap dalam proses pembentukan UU yaitu menyelesaikan harmonisasi di Baleg dan penetapan di rapat paripurna DPR sebagai RUU dari DPR, proses pembahasan, pengesahan, dan pengundangan, akan tetapi di akhir periode DPR RI 2009-2014 yang tinggal beberapa bulan ini dan terlebih tahun ini merupakan tahun pemilu atau politik, diharapkan ada keseriusan DPR dan Pemerintah untuk dapat menyelesaikan RUU tersebut dan akan memberikan secercah harapan bagi PRT.

 

Penulis adalah Perancang Undang-Undang di Sekretariat Jenderal DPR RI. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home