Loading...
RELIGI
Penulis: Endang Saputra 21:42 WIB | Minggu, 19 Juli 2015

SETARA Kutuk Keras Pembubaran Salat Idul Fitri di Tolikara

Ketua Setara Institute Hendardi pertama dari sebelah kanan. (Foto:Dok.satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setara Institute mengutuk keras peristiwa pembubaran salat Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah di Karubaga, Ibu Kota Kabupaten Tolikara, Papua pada hari Jumat (17/7).

"Setara Institute mengutuk keras tindakan pembubaran tersebut., kendati peristiwa itu tetap mesti diselidiki untuk proses hukum lanjutan yang adil oleh pihak berwenang," kata Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan persnya kepada satuharapan.com, hari Minggu (19/7).

Pada sisi lain, kata Hendardi permasalahan tersebut mesti dikecam antisipasi dan kesigapan aparat kepolisian dan pemda setempat yang sangat lamban padahal sudah ada surat pemberitahuan untuk membubarkan sepekan sebelumnya.

"Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan belakangan merupakan isu yang peka di Papua. Peristiwa ini dikhawatirkan dapat menyulut hal lebih buruk di kemudian hari. Semua pihak mesti bekerja sama bahu-membahu menciptakan situasi kondusif dan iklim toleran dalam keberagaman di Tanah Papua," kata dia.

Dengan demikian, lanjut Hendardi peristiwa tersebut mesti dikategori sebagai pelanggaran hak menjalankan ibadah yang adalah bagian prinsip dari kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Ibadah yang adalah bagian prinsip dari kebebasan beragama dan berkeyakinan," katanya.

Menurut Hendardi, insiden Tolikara merupakan pelanggaran hak atas kebebasan beribadah yang merupakan keyakinan yang melekat pada setiap orang. Terkait insiden Tolikara, Hendardi menilai bahwa isu kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah isu yang sensitif.

Romo Magnis: Semua Gereja menolak kekerasan

Sementara itu, Rohaniwan Franz Magnis Suseno atau akrab disapa Romo Magnis menegaskan bahwa semua gereja menolak segala kekerasan, menanggapi insiden di Karubaga, Kabupaten Tolikara.

"Saya belum tahu latar belakang (atas insiden tersebut). Tetapi saya ingin tegaskan bahwa semua gereja-gereja menolak segala kekerasan," kata Romo Magnis .

Menurut Romo Magnis yang juga pakar etika politik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu peristiwa pembakaran mushala di Tolikara harus ditindak secara tegas oleh aparat hukum.

"Kami tidak mengizinkan kekerasan, ini harus ditindak. Dan pada prinsipnya, pelaksanaan ibadah tidak boleh dibatasi,” kata dia.

Romo Magnis juga mengaku merasa janggal atas dengan peristiwa pengrusakan rumah ibadah tersebut yang merupakan kejadian pertama di Papua. Selama ini, lanjut Romo Magnis, tenggang rasa antar umat agama di Papua terjalin dengan baik.

"Ini aneh, baru pertama kali terjadi. Mengapa? Harus ditelusuri," ujarnya. Lebih lanjut, ia pun meminta pemerintah segera bertindak cepat dan memastikan agar insiden tersebut tidak terulang.

Bahkan, tambahnya, pemerintah bisa membentuk tim khusus apabila memang diperlukan. Namun yang terpenting, menurut Romo Magnis, harus melibatkan orang-orang Papua.

"Pemerintah harus melibatkan orang-orang bersangkutan terutama di Papua dan bersama-bersama memastikan apa penyebab peristiwa itu terjadi agar sesuatu seperti itu tidak terulang. Di Papua belum pernah terjadi sebelumnya, Papua jangan seperti di Jawa," kata dia. (Ant)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home