Spesies Baru Katak Tanduk dari Hutan Kalimantan
CIBINONG, SATUHARAPAN.COM – Katak tanduk Kalimantan (Megophrys kalimantanensis), merupakan jenis katak yang baru saja dideskripsikan oleh tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kyoto University, Jepang, Aichi University of Education, Jepang, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Negeri Semarang.
“Jenis baru ini dikoleksi dari ekspedisi yang dilakukan di pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, juga di Bario, Sarawak dan pegunungan Crocker di Sabah, Malaysia,” kata peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy di Cibinong pada Jumat (4/9), dilansir situs lipi.go.id.
Penemuan jenis baru ini, dipublikasikan di jurnal Zootaxa vol. 4679.
Morfologi katak tanduk Kalimantan ini sangat mirip dengan katak tanduk pinokio (Megophrys nasuta), yang tersebar luas mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya serta pulau-pulau kecil di sekitarnya.
“Spesimen pertama dari jenis baru ini sebetulnya sudah dikoleksi pada tahun 2008, oleh peneliti senior Pusat Penelitian Biologi LIPI, Irvan Sidik namun dengan nama katak tanduk pinokio,” kata Amir.
Sejumlah kegiatan ekspedisi lapangan di kawasan pegunungan Meratus kemudian dilakukan kembali sampai pada tahun 2019 ini.
“Di ekspedisi kali ini tidak hanya spesimen individu dewasa yang berhasil dikoleksi, tetapi juga koleksi kecebong dan suara yang dihasilkan oleh individu jantan,” kata Amir.
Melalui pendekatan morfologi, molekuler dan akustik, spesimen yang sebelumnya diduga sebagai katak tanduk pinokio ternyata merupakan jenis yang berbeda dan belum memiliki nama ilmiah.
Ciri-ciri
Dibandingkan dengan katak tanduk pinokio, jenis baru ini memiliki tanduk (dermal accessory) pada bagian moncong, dan mata yang lebih pendek , jika dibandingkan dengan katak tanduk pinokio. Juga sepasang lipatan lateral tambahan pada sayap. Pada saat berudu katak ini berwarna coklat tua yang condong ke oranye-coklat, dan berubah menjadi coklat pucat pada saat dewasa.
Secara akustik, suara individu jantan dari jenis baru ini memiliki variasi yang lebih banyak dan lebih panjang jika dibandingkan dengan katak-tanduk pinokio.
“Berdasarkan hasil analisis dari tiga metode pendekatan tersebut kami menyimpulkan bahwa jenis tersebut merupakan jenis baru dan kemudian diberi nama Megophrys kalimantanensis,” kata Amir. Pemberian nama kalimantanensis merupakan toponim dari nama pulau Kalimantan.
Habitat
Penemuan katak tanduk Kalimantan yang terdistribusi di bagian pegunungan utara Borneo (Sarawak dan Sabah), Malaysia serta pegunungan Meratus yang masuk wilayah Indonesia sangat mengejutkan, dan di luar dugaan mengingat kedua lokasi ini terpisah cukup jauh, sekitar 950 kilometer.
Meski cukup jauh, kedua populasi tersebut memiliki variasi genetik yang sangat rendah dan menunjukan sebagai jenis yang sama.
“Batas negara antara Malaysia dan Indonesia tidak berlaku untuk jenis baru ini.
Hamparan lahan gambut, dan hutan dataran rendah antara bagian utara dan selatan di pulau Kalimantan ini sepertinya menjadi pembatas, sehingga jenis baru ini hanya dapat ditemukan di kawasan pegunungan baik di utara maupun selatan pulau,” kata Amir.
Ancaman
Penemuan katak tanduk kalimantan ini, bukanlah yang terakhir mengingat masih luasnya kawasan Kalimantan yang belum tereksplorasi. Begitu juga dengan kawasan lainnya di Sumatera, Sulawesi, Papua serta daerah lainnya di Indonesia. “Hilangnya hutan di Kalimantan menjadi ancaman yang cukup serius bagi jenis ini kawasan berhutan sebagai habitat utamanya,” kata Amir.
Gaveu et al. (2014) melaporkan, sekitar 168,493 km2 atau lebih dari 30 persen hutan di pulau Kalimantan telah hilang, selama kurun waktu 1973 sampai 2010.
“Hilangnya kawasan hutan menjadi ancaman serius untuk jenis-jenis yang mungkin belum dideskripsikan. Bisa saja begitu terdeskripsikan saat itu juga diketahui sebagai jenis yang terancam punah, atau mungkin populasi tersebut adalah populasi terakhir, mengingat sudah tidak ada hutan lagi yang cukup bagus,” kata Amir.
Selain kerusakan habitat, penggunaan komersial sebagai hewan peliharaan juga menjadi ancaman serius. “Kepunahan spesies ini memenuhi syarat rentan dan dimungkinkan untuk masuk dalam kategori status Daftar Merah IUCN sebagai bentuk upaya konservasi lebih lanjut,” kata Amir.
Editor : DA
BKSDA Titipkan 80 Buaya di Penangkaran Cianjur
CIANJUR, SATUHARAPAN.COM - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah I Bogor, mengakui 80 ek...