Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 16:53 WIB | Minggu, 24 Februari 2019

"Ta’zir", Ketika Santri Perempuan Berkarya Seni

"Ta’zir", Ketika Santri Perempuan Berkarya Seni
Serial drawing-sketsa karya Indah Fikriyyati pada pameran seni rupa "Ta’zir" di Kandang Menjangan Panggung Krapyak, Jalan KH Ali Maksum No 83, Krapyak Kulon, Panggungharjo, Sewon, Bantul, 22-24 Februari 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
"Ta’zir", Ketika Santri Perempuan Berkarya Seni
Rainbow on My Head – mix medium – various dimensi – Novella Hafidzoh – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Takzir bukan sebuah hal yang membatasi ruang gerak santri perupa berkarya, yo ra? Sebuah kalimat tanya dalam tulisan Arab pegon melengkapi goresan drawing cat air di atas kertas karya Indah Fikriyyati dipajang bersama serial sketsa-drawing lainnya. Karya serial berjudul "Pada Setiap Helai" menjadi salah satu karya yang dipresentasikan di Kandang Menjangan, Panggung Krapyak.

Pameran seni rupa yang mempresentasikan karya lima seniman-perupa perempuan muda yang nyantri di Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak-Yogyakarta itu, mengangkat tajuk “Ta’zir”, dan dibuka oleh Katrin Bandel, pengajar tamu Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (22/2) sore. Kelima seniman-perupa muda tersebut adalah Indah Fikriyyati, Adin Fahma Zulfa, Ittaqi Fawzia, Novella Hafidzoh, dan Lusi Ihsani Fahmi.

Dalam kehidupan pondok pesantren, ta’zir merujuk pada hukuman yang harus diterima santri karena kesalahan, kelalaian, ataupun melanggar aturan yang telah ditetapkan di pondok, yang tentunya tidak memberatkan ataupun membahayakan santri. Hukuman tersebut beragam, dari hal paling ringan semisal dinasihati, membersihkan kamar tidur bersamanya, menambah membaca-menghapal surat-surat al-Quran, hingga yang paling berat adalah dikembalikan kepada orang tuanya. Ta’zir tidak semata-mata untuk memberi efek jera bagi santri, namun juga untuk menanamkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya.

Berkolaborasi dengan Adin Fahma Zulfa, Ittaqi Fawzia membuat karya videografi berjudul Kontemplasi, mengeksplorasi perasaan saat awal-awal memasuki dunia pondok serta rutinitas keseharian yang dilaluinya. Rangkaian peristiwa yang dialami direkam dan menjadi refleksi pendewasaan diri keduanya sekaligus menjadi perjalanan spiritualitas. Bagi keduanya dan bisa jadi bagi seluruh santri, pondok pesantren adalah ruang kontemplasi bersama. Dalam karya Kontemplasi disertakan pula foto-foto dokumentasi keduanya.

Dalam karya instalasi berjudul Ta’allam, Lusi Ihsani Fahmi mencoba menghadirkan suasana keseharian saat belajar di pondok pesantren yang sederhana. Atmosfer belajar terekam dalam properti yang digunakan Lusi: tikar pandan yang sudah sobek-sobek, meja panjang untuk belajar bersama dengan deretan buku-kitab di atasnya.

Menariknya Lusi melengkapi meja tersebut dengan kuas-kuas untuk melukis dan sebuah lukisan kaligrafi menggantikan papan tulis bertuliskan syair dari kitab Ta’limul Muta’allim: Ta’allam, fainnal ‘ilma zainun liahlihi. Wa fadhlun wa ’inwanun li kulli (l)mahaamidi. (Hendaklah kamu belajar. Sesungguhnya ilmu pengetahuan itu menjadi perhiasan orang-orang yang berilmu. Dan menjadi kelebihan serta menjadi tanda-tanda bagi setiap hal yang terpuji).

Terkait dengan tema Ta’zir, Novella Hafidzoh membuat karya instalasi berjudul Rainbow on My Head. Pada sebuah ruang tersebut Novella menjadikannya sebagai wilayah/area bebas ta’zir. Dalam Rainbow on My Head, Novella mencoba mendialogkan ta’zir dalam dua kondisional: kebebasan dan keterbatasan.

Secara lebih komprehensif Indah Fikriyyati mencoba membaca realitas sekaligus refleksi atas perjalanan hidupnya di pondok pesantren dalam karya-karya sketsa-drawing berikut penataannya. Banyak kenakalan dalam karya Indah memotret realitas keseharian di pondok pesantren dan menjadi inspirasi karyanya semisal narasi pasal 12: Barang siapa tidak patuh untuk membuang bekas cucian piring, maka akan dita’zir mencuci piring selama-lamanya sampai bosan, atau pasal 23: Kalau tidak pulang tepat waktu, akan dipulangkan ke rumah calon mertuanya. Kalimat-kalimat lucu-jenaka tersebut melengkapi ilustrasi yang dibuat Indah dengan tinta cina dan cat air di atas kertas.

Bahkan dalam pasal 1 yang sangat krusial, Indah masih bermain-main secara jenaka, ingat tujuan dari rumah: 1. Mondok, 2. Sregep ngaji, 3. Rajin setoran, 4. Ta’dzim kyai, 5. Ra ngapusi, 6. Ora lali balik pondok, 7. Qiyamul lail (nek ra keturon), 8. Ngarya he he he. Meski begitu dalam narasi-narasi yang ditulis dalam Arab pegon, Indah mencoba merefleksi perjalanan hidupnya di pondok pesantren dengan segala suka-duka termasuk saat di-ta’zir akibat kelalaiannya, menjadi sebuah pembelajaran atas tanggung jawab dan pendewasaan diri.

Di tengah kesibukan mengatur waktu antara sekolah-kuliah di waktu pagi hingga sore, dilanjutkan dengan aktivitas mengaji di madrasah hingga malam hari dengan setoran hapalan dan belajar kitab-kitab, pada saat bersamaan harus mampu mengurusi dirinya sendiri pada usia yang relatif muda dan harus jauh dari orang tua, menarik ketika secara ringan Indah menuliskan narasi provokatif pada sebuah sketsanya, memangnya kenapa kalau santriwati bisa pameran? oleh tho? He he he.

Pameran seni rupa "Ta’zir" berlangsung di Kandang Menjangan Panggung Krapyak, Jalan KH Ali Maksum No 83, Krapyak Kulon, Panggungharjo, Sewon, Bantul, 22-24 Februari 2019.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home