Loading...
SAINS
Penulis: Putu Ayu Bertyna Lova 22:57 WIB | Kamis, 08 Agustus 2013

Teknologi Penangkapan Gas Berbahaya Masih Menimbulkan Kontroversi

contoh mesin CCS (dok: Deutsche Welle)

JERMAN, SATUHARAPAN.COM - Carbon Capture and Storage (CCS) teknologi telah digunakan oleh pabrik-pabrik untuk menangkap gas berbahaya di pabrik dan menyimpannya di tanah. Ini merupakan langkah yang lebih baik untuk mewujudkan lingkungan yang ramah.

Gas-gas berbahaya ini sebagian besar terdiri atas karbondioksida (CO2). Gas-gas ini merupakan hasil pembakaran pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Tapi teknologi ini merupakan teknologi yang kontroversial. Menurut EU Commission atau Komisi Uni Eropa, pengembangan teknologi ini berjalan lambat di Eropa. Bahkan di Jerman, warga dan politikus menentang teknologi ini. Sehingga pemabangunan waduk besar yang dapat digunakan sebagai penyimpanan, gagal dilakukan.

Skenario CCS yang lebih realistis.

Uni Eropa dan  the International Energy Agency atau Badan Energi Internasional masih yakin CCS dapat membantu membatasi pemanasan global sampai maksimal dua derajat celcius. Mereka memprediksi bahwa CCS baru akan melengkapi 30 persen pembangkit listrik bahan bakar fosil pada 2035.

Profesor dari Wuppertal Institute for Climate, Environment and Energy, Manfred Fischedick, berpendapat akan lebih bijak jika menunggu hasil penelitian.

“Saat ini, saya tidak bisa membayangkan bahwa teknologi CCS akan banyak digunakan pada tahun 2020 atau 2025. Tidak didunia atau Eropa sekalipun. Maka pendekatan yang lebih realistis wajib dilakukan,” jelas Fischedick.

Sedangkan Direktur Riset DIW Untuk Ekonomi Industri dari German Institute for Economic Research atau Institut Jerman untuk Riset Ekonomi (DIW Berlin), Christian von Hischhausen,  mengatakan, “Lima tahun terakhir ini telah menunjukan kegagalan CCS. Skenario Uni Eropa berasal dari empat atau lima tahun yang lalu, dan didasarkan pada asumsi bahwa penangkapan karbon ada di lingkungan teknis aman dan ekonomis. Keduanya telah terbukti tidak benar.”

Seorang Ahli Iklim di DIW, Claudia Kemfert, mengatakan Uni Eropa harus meninjau dan memperbarui angka-angka dalam menggunakan kebijakan iklim. Mereka harus mempertimbangkan penurunan biaya produksi sumber energi terbarukan. "Energi terbarukan adalah satu-satunya pilihan untuk kelanjutan energi rendah emisi di Eropa," kata Kemfert, seperti dilansir oleh Deutsche Welle.

Editor : Yan Chrisna


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home