Tidak Ada Bukti Indonesia Positif Virus Corona
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penelitian Harvard soal kemungkinan sistem kesehatan Indonesia tidak bisa mendeteksi virus corona, dibantah oleh ahli dari Eijkman Institute. Menurutnya, Indonesia sudah memiliki alat deteksi berupa PCR dan sequencing.
Laporan terbaru menyebutkan, angka kematian akibat virus corona jenis baru (2019-nCov) di China, hingga Senin (10/02) telah melampaui 900 orang. Sementara jumlah pasien terinfeksi 2019-nCov secara global telah melebihi 40.000 kasus.
Angka kematian ini disebut telah melebihi korban meninggal akibat virus SARS yang juga mewabah pada tahun 2003. Kala itu, SARS menewaskan 774 orang di seluruh dunia.
Hingga berita ini diturunkan, Indonesia masih bebas dari virus corona. Namun Badan Kesehatan Dunia (WHO) meminta Pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan pengawasan dan deteksi virus corona.
WHO mengatakan, Indonesia perlu meningkatkan persiapan menghadapi virus corona karena negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand telah mendeteksi virus tersebut di wilayah masing-masing. Dengan jumlah penduduk 270 juta orang, Indonesia belum melaporkan satu kasus pun terkait virus corona.
Mengikuti Rekomendasi WHO
Sebelumnya, media Australia The Sydney Morning Herald pada Jumat (7/2), menyebutkan Indonesia belum mempunyai alat tes khusus yang diperlukan untuk mendeteksi kasus positif virus corona dengan cepat.
Indonesia, disebut menggunakan ala tes pan-coronavirus yang bisa mengidentifikasi semua jenis virus dari keluarga corona, termasuk flu biasa, SARS, dan MERS. Alat itu, disebut memerlukan waktu hingga lima hari untuk memastikan apakah seseorang benar-benar positif mengidap virus corona jenis baru atau tidak.
Namun, kepada DW Indonesia, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute, Amin Soebandrio, mengatakan Indonesia memiliki dua alat pendeteksi virus corona.
“Segera setelah Sydney Morning Herald mempublikasikan itu, hari itu juga sebetulnya kita sudah punya sistem yang direkomendasikan oleh WHO yang one step saja dengan primer yang spefisik untuk virus corona wuhan,” kata Amin, dilansir dw.com, pada Senin (10/2).
Dua alat pendeteksi virus corona yang dimiliki Indonesia, yaitu Polymerase Chain Reaction atau PCR dan sequencing. PCR berfungsi untuk melihat apakah keluarga dari virus corona terdapat dalam tubuh pasien, sementara sequencing untuk menentukan jenis virus corona, apakah misalnya SARS, MERS atau virus corona jenis baru dari Wuhan.
Penelitian Harvard Khawatirkan Virus Corona Tidak Terdeteksi di Indonesia
Indonesia, yang masih bebas dari virus corona juga membuat sejumlah ahli khawatir. Misalnya saja hasil penelitian ahli epidemiologi, Marc Lipsitch, dari Harvard TH Chan School of Public Health menyebutkan, Indonesia melaporkan nol kasus terkait virus corona, namun bisa saja sebenarnya sudah ada beberapa kasus yang tidak terdeteksi.
Lipsitch mengatakan, sistem kesehatan di Indonesia dan Thailand mungkin tidak dapat mendeteksi virus corona asal Wuhan. Ia menyebut hal itu dapat menciptakan masalah lebih besar.
Seperti dilansir dari Kompas, Kepala Badan Litbang Kesehatan (Balitbankes) Kementerian Kesehatan, dr Siswanto mengatakan penelitian yang dilakukan oleh Harvard hanya berdasarkan kalkulasi matematis dan belum bisa dipastikan kebenarannya.
''Kalau diprediksi harusnya ada enam kasus, ternyata sampai hari ini tidak ada, ya harusnya justru kita harus bersyukur. Kita sudah teliti dengan benar. Itu (penelitian ahli Harvard), hanya prediksi saja,'' kata Siswanto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/2).
Senada dengan Siswanto, Amin sepakat penelitian itu sifatnya prediksi dan dibuat berdasarkan permodelan dari dua faktor, yakni lalu lintas manusia dari Wuhan ke Indonesia dan kedekatan geografis China dengan Indonesia.
“Pada saat tulisan itu disiapkan kira-kira dua minggu lalu dan prediksi itu tentu saat ini sudah berubah lagi karena faktor yang dia pakai itu dinamis,” kata Amin.
Penelitian Lipsitch tersebut dilakukan sebelum ada intervensi negara-negara untuk mencegah penyebaran virus corona, sehingga Amin menegaskan bahwa penelitian tersebut seharusnya sudah tidak relevan.
“Waktu itu penerbangan (dari dan ke China) tinggi. tapi sekarang sudah ditutup sudah distop tentu ceritanya akan beda lagi,” katanya.
Amin mengatakan, sampai saat ini tidak melihat ada kelompok-kelompok pasien yang mengalami gejala penyakit serupa dan secara bersamaan. Balitbangkes yang mengeluarkan hasil pemeriksaan terhadap orang yang dicurigai terinfeksi penyakit corona juga tidak menemukan bukti tersebut.
''Jadi kita tidak bisa memaksakan diri untuk menyatakan positif, tidak ada buktinya juga kalau kita mau bilang sudah positif. Kita tidak bisa membuktikan,'' katanya.
238 WNI Tidak Lalui Pemeriksaan Tenggorokan
Sebelumnya, 238 WNI yang dipulangkan dari Wuhan dan tengah menjalani masa observasi di Natuna sejak 2 Februari 2020 disebut tidak menjalani tes swab atau usap tenggorokan. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran apakah Indonesia benar-benar teliti dalam mendeteksi virus corona.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Wiendra Waworuntu, menyebutkan pemeriksaan swab membutuhkan biaya besar. Sementara Amin juga membenarkan bahwa semua uji molekuler relatif mahal, tetapi itu bukan alasan mengapa WNI yang diobservasi tidak dilakukan pemeriksaan swab. Menurutnya, pemeriksaan swab dilakukan kepada mereka yang menunjukkan gejala penyakit.
“Pedoman WHO begitu, pedoman WHO adalah mereka yang keluar dari negara tertular dan tidak sakit maka yang harus dilakukan adalah observasi,” katanya.
Amin menambahkan bila tidak ada gejala, seperti timbul penyakit demam, batuk dan sebagainya, maka tidak ada alasan untuk diperiksa. WNI yang dipulangkan dari Wuhan dinyatakan dalam keadaan sehat dan hanya menunggu masa observasi sampai 14 hari. (dw.com)
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...