Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 11:14 WIB | Jumat, 26 April 2024

Tiga Hakim Beda Pendapat, Minta Pemilihan Umum Ulang, dan Berikut Komentar Para Pihak

Hakim Ketua Suhartoyo, tengah, memimpin sidang banding pemilu di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Indonesia, Senin, 22 April 2024. Mahkamah Agung pada hari Senin menolak banding yang diajukan oleh dua calon presiden yang kalah yang menuntut pemungutan suara ulang, dengan tuduhan meluas. penyimpangan dan penipuan pada pemilu bulan Februari. (Foto: AP/Dita Alangkara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Tiga hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan terhadap perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, dengan kompak menilai Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.

Tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda tersebut adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Mereka menyatakan berbeda pendapat dengan lima hakim konstitusi lainnya yang memutuskan menolak seluruh permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

“Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah,” kata Saldi Isra membacakan dissenting opinion-nya di Gedung I MK RI, Jakarta, hari Senin (22/4).

Saldi berpendapat, dalil Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang mengenai politisasi bantuan sosial (Bansos) dan mobilisasi aparat, aparatur negara, atau penyelenggara negara. Hal itu kata dia, didapati setelah mencermati keterangan para pihak, fakta yang terungkap di persidangan, dan alat bukti.

Dia meyakini terdapat masalah netralitas penjabat (Pj.) kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi di enam daerah, yaitu Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Karenanya, wakil ketua MK itu merasa perlu dilakukan PSU pada daerah dimaksud.

Pejabat Tidak Netral

Sedangkan hakim Enny Nurbaningsih berpendapat dalil pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian karena ia yakin telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos di beberapa daerah.

Enny setidaknya menyebut empat daerah yang memiliki indikasi kuat ketidaknetralan Pj. kepala daerah, termasuk di dalamnya perihal ketidaknetralan pejabat dan aparat negara yang belum ditindaklanjuti dengan optimal oleh Bawaslu dan pihak berwenang, yaitu Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut,” kata Enny.

Pelanggaran Bersifat TSM

Hakim Arief Hidayat berpendapat seharusnya Mahkamah memerintahkan KPU RI untuk melaksanakan PSU di daerah pemilihan DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.

 

Menurut Arief, terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), politisasi penyaluran perlindungan sosial (Perlinsos) dan Bansos, serta pengarahan aparat pemerintahan dalam penyelenggaraan Pilpres 2024.

“Sehingga hal ini telah mencederai konstitusionalitas dan prinsip keadilan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” demikian bunyi salah satu bagian dissenting opinion Arief seperti dikutip dari salinan putusan yang diunduh dari laman resmi MK RI.

MK pada Senin memutuskan menyatakan menolak permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk seluruhnya. Dalam konklusinya, Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Suara Hakim Tak Bisa Disatukan

Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud Md, mengatakan bahwa kemunculan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sidang putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 akibat suara hakim konstitusi yang tak bisa disatukan. Hal ini menarik dan menjadi sejarah baru terkait sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Pemilu 2004 hingga 2019 tak pernah ada dissenting opinion dalam sidang sengketa pemilu.

"Soal dissenting opinion, ini menarik, sepanjang sejarah MK, kalau menyangkut pemilu itu tidak pernah ada dissenting opinion. Saya mengikuti MK sejak awal, sampai sekarang tidak ada dissenting opinion dalam pemilu,"  kataMahfud saat konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta, Senin.

Mantan Ketua MK periode 2008-2013 ini mengatakan kode etik hakim mengatur apabila perkara yang menyangkut jabatan orang agar tidak sampai memunculkan dissenting opinion. Hal ini agar para hakim terlihat kompak dan tidak terjadi masalah.

Kalau ada yang tidak setuju, sambungnya, harus dikompakkan terlebih dulu. Namun, pada sengketa Pemilu 2024, suara hakim konstitusi tak bisa disatukan sehingga memunculkan dissenting opinion. "Kalau ada yang tidak setuju, itu dikompakkan dulu. Tapi rupanya ini tidak bisa disatukan, sehingga terpaksa dissenting opinion," katanya.

Mahfud mengaku tak masalah dengan hal itu. Sebab, kemunculan dissenting opinion dalam sidang sengketa pemilu menjadi sejarah di dalam perkembangan hukum. "Menurut saya, hakimnya semua baik. Delapan hakim yang memutus ini insya Allah baik-baik," kata Mahfud.

Tiga Hakim Menulis Sejarah

Anggota tim hukum Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto, mengatakan bahwa tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion sedang menuliskan sejarah peradaban demokrasi di Indonesia. “Hari ini ada tiga Hakim Konstitusi yang membuat dissenting opinion, maka Hakim Konstitusi ini sedang menulis sejarah peradaban demokrasi di Indonesia,” kata Bambang, hari Senin.

Tiga hakim yang dimaksud tersebut adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Ketiganya menyatakan dissenting opinion atas putusan MK dalam perkara PHPU Pilpres 2024.

Alasan, tidak pernah ada dissenting opinion dalam sejarah sengketa Pilpres di Indonesia. “Tidak pernah ada dalam sejarah sengketa Pilpres di Indonesia, ada dissenting opinion, baik itu di tahun 2004, 2009, 2019,” katanya.

Pihaknya menilai, dissenting opinion yang disampaikan mendukung beberapa dalil dalam permohonan yang mereka ajukan, salah satunya dari Hakim Saldi Isra yang menyatakan perlu adanya pemungutan suara ulang di beberapa daerah yang dianggap telah terjadi ketidaknetralan aparat dan politisasi bansos.

Atas keputusan ketiga hakim tersebut, ia memberikan apresiasi. “Salam takzim dari kami. Mahkamah Konstitusi marwahnya dijaga melalui proses dissenting opinion ini,” katanya.

Sementara itu, Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan dissenting opinion dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menyinggung permasalahan diskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home