Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 11:54 WIB | Jumat, 06 Januari 2017

Tren Cuaca dan Iklim 2017, Kondisi Normal

Pasca banjir bandang melanda Garut pada 20 September 2016. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan kondisi cuaca dan iklim pada tahun 2017 netral atau normal dibandingkan pada 2015 dan 2016. Namun, potensi ancaman kondisi cuaca lokal dan meningkatnya titik panas (hotspot) patut diwaspadai karena bisa memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Walau ada kemungkinan tren cuaca pada tahun 2017 normal, Kepala BMKG Dr Andi Eka Sakya MEng mengatakan, faktor perubahan iklim dan keberagaman tingkat kerentanan masing-masing wilayah berbeda satu sama lain.

"Ada beberapa wilayah yang hujannya ekuatorial, yakni memiliki dua kali musim kemarau. Misalnya, pada Februari sampai Maret di wilayah Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, mengalami kemarau, lalu masuk lagi hujan di bulan April-Mei, kemudian, pada Juni kembali lagi ke musim kemarau," Andi Eka Sakya menjelaskan dalam acara “Kilas Balik Kejadian Cuaca, Iklim, dan Gempabumi 2016 `Indonesia Rentan Bencana’”, di Jakarta, Kamis (5/1).

Di Indonesia, delapan provinsi merupakan daerah rawan karhutla, antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Papua.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus S Swarinoto mengungkapkan, jika melihat kondisi hujan normal pada 2017, potensi karhutla akan lebih tinggi dibanding 2016 dan lebih rendah dibandingkan 2015. Hal itu terjadi karena di sejumlah wilayah ada yang mengalami dua kali musim kemarau.

Kilas Balik Kejadian Cuaca, Iklim, dan Gempa Bumi 2016

Berbicara di depan puluhan media massa cetak, elektronik, dan online, Kepala BMKG mengingatkan pada tahun 2016 banyak rangkaian kejadian dan peristiwa yang menjadi pusat perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Banyak kejadian bencana hidrometeorologi melanda, seperti banjir bandang di Garut 20 September 2016, banjir di Bandung 24 Oktober 2016, banjir di Gorontalo 25 Oktober 2016. Juga beberapa kejadian cuaca ekstrem di wilayah Indonesia seperti tanah longsor, hujan lebat disertai angin kencang, dan gelombang tinggi (ekstrem) yang terjadi pada minggu I bulan Juni 2016 yang memicu storm tide di Pantai Barat Sumatera, Selatan Jawa, hingga Lombok. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), wilayah Pulau Jawa, terutama Provinsi Jawa Barat, memiliki tingkat frekuesi tertinggi kejadian bencana hidrometeorologi.

Andi Eka menambahkan curah hujan tertinggi di sepanjang tahun 2016 terjadi di Subulussalam, Aceh (31 Januari 2106) dengan curah hujan 428 mm/hari. Sedangkan untuk presentase wilayah dengan peningkatan HH di 2016 terhadap normal HH 1981-2010, Pulau Jawa mengalami kenaikan jumlah HH di bawah 50 mm/hari (92.6 persen dari jumlah stasiun di Jawa); kenaikan jumlah HH kriteria lebat >50 mm/hari terjadi di P Jawa (66.7 persen) sementara kenaikan jumlah HH sangat lebat (>100 mm/hari ) tertinggi di Kalimantan (59.1 persen).

Andi Eka Sakya menambahkan, kondisi variabilitas dan perubahan iklim pada tahun 2016 terlihat adanya peningkatan curah hujan di beberapa wilayah yang menjadikan curah hujan tahunan 2016 dibandingkan tahun 2015 lebih basah di seluruh wilayah Indonesia. Namun, kondisi itu tidak sebasah tahun 1998, karena pada tahun 2016 La Nina dalam kategori lemah.

Pada tahun 2016, Indonesia memasuki masa Kemarau Basah. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya beberapa faktor global, seperti tidak kuatnya Monsun Australia (Angin Timuran); kondisi SST di perairan Indonesia yang lebih hangat; Indian Ocean Dipole (IOD) Mode Negatif (nilai Indeks DMI = -1,09). Curah hujan tahunan tertinggi 2016 terjadi di Nabire, Papua (6.808,2mm), dan curah hujan tahunan terendah terjadi di Palu, Sulteng (651.6mm).

Menurut Andi Eka, harus diupayakan penanganan masalah perubahan iklim supaya nilai ambang gak rumah kaca (GRK) tidak terus meningkat melebihi 2 derajat celsius, yang setara dengan nilai kosentrasi GRK 450 ppm.

Hal itu perlu menjadi perhatian karena hasil pemantauan di stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Koto Tabang menunjukkan bulan November 2016 mencapai tingkat konsentrasi 404 ppm. Diperkirakan pada tahun 2030 mencapai 433.66 ppm, laju kenaikan kosentarasi 2.05 ppm/ tahun.

Posisi Indonesia yang dilalui tiga lempeng dunia dan terdapat beberapa sesar aktif menjadikan wilayah Indonesia sangat rentan terhadap kejadian gempa bumi dan tsunami. Gempa bumi yang terjadi di wilayah Indonesia selama tahun 2016 sebanyak 5.578 kali dalam variasi magnitudo dan kedalaman. Gempa bumi dengan kekuatan M = 5,0 terjadi sebanyak 181 kali, gempa bumi merusak 12 kali, dan terjadi 1 kali gempa bumi yang berpotensi tsunami.

Andi Eka pun menjelaskan BMKG mencatat aktivitas gempa bumi yang bersumber di lokasi yang bukan zona gempa pada umumnya. Aktivitas gempa bumi ini dikenal sebagai gempa bumi latar belakang (Background Earthquake), seperti gempa bumi Tarakan (Kalimantan Utara) M=4,2 pada 8 Januari 2016 dan gempa bumi Kendawangan (Kalimantan Barat) M=5,0 pada 24 Juni 2016.

BMKG juga melakukan observasi terhadap kondisi `Ice Sheet` Puncak Jaya Wijaya, November 2016, untuk mengukur kecepatan penurunan tebal es akibat pemanasan atmosfer. Pada Mei 2016, tebal es berkurang 4.26 m dalam 6 bulan. Hal itu disebabkan karena pengaruh El Nino kuat 2015/2016. Sementara pada 23 November 2016 menunjukkan tambahan pengurangan tebal es 1.43 m sejak Mei 2016 sehingga total tebal es tersisa 20.54 m.

Andi Eka mengimbau masyarakat untuk terus mengantisipasi kerentanan bencana sebagai langkah mitigasi untuk mengurangi risiko bencana yang nantinya dapat menekan korban jiwa dan kerugian lebih besar di hari-hari mendatang seiring dengan upaya pembangunan yang sedang dilakukan.

"Gambaran peristiwa yang terjadi tahun 2016 diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat kerentanan Indonesia terkait dengan dampak cuaca, iklim dan kegempaan, " katanya. (bmkg.go.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home