Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta 06:29 WIB | Selasa, 28 Mei 2013

Uang Masih Faktor Dominan Dalam Berpolitik di Indonesia.

J. Kristiadi, Pengamat politik CSIS (foto: www.pdk.or.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Uang menjadi faktor determinan dalam politik Indonesia, terutama apabila berkaitan dengan upaya  mencapai ke akar rumput.

Hal ini dikatakan Dr. J. Kristiadi dalam dialog Pilar Negara, bertema Mengatasi Apatisme Publik Terhadap Partai Politik. Acara ini diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) di Gedung Nusantara IV, Senin (27/5).

“Sistem budaya yang paling susah untuk diubah saat ini adalah uang. Saya yakin bahwa uang merupakan faktor paling determenistik,” ujar Kristiadi,

Peneliti CSIS ini menambahkan, Indonesia harus membuat aturan tentang partai politik, terutama yang menyangkut pendanaan dan keuangan. Partai harus menyatakan berani diaudit oleh masyarakat. Sebab,  mereka mempertanggungjawabkan amanat rakyat yang telah memilih mereka.

“Kalau bisa slogan dari calon-calon yang mau ikut pemilihan kepala daerah saat ini harus diubah. Jangan sekadar ‘pilihlah saya,’ tetapi harus menjadi berslogan ‘pilihlah saya, karena saya siap dikritik, dan karena saya akan bekerja keras untuk perubahan. Apabila saya melakukan banyak kesalahan, maka saya siap dikritik,” ujar Kristiadi.

Kristiadi menambahkan kalau berpolitik mengandalkan pada uang, transparansi keuangan harus terimplementasi. Oleh karena itu, harus ada undang-undang tentang pengelolaan keuangan partai politik.

Kristiadi beranggapan bahwa partai politik pada era reformasi masih terlalu dini untuk berpolitik. Mereka belum punya visi dan misi yang jelas bagi bangsa ini.

“Partai sekarang ini malah belum punya pandangan tentang paradigma bangsa. Contohnya, mereka sama sekali tidak paham tentang otonomi daerah. Partai-partai yang ada, apalagi yang baru, tidak punya kader yang tahan godaan pada abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan.-Red.),”  kata dia.

Pandangan yang sempit tentang berpolitik itulah yang membuat apa yang terlihat partai seperti tidak punya paradigma bangsa. Contohnya, ada beberapa kader partai atau bakal calon anggota legislatif yang belum paham apa yang dimaksud otonomi daerah, dan juga tidak paham tentang undang-undang partai politik.”

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home