Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 16:46 WIB | Minggu, 29 Desember 2013

2013: Dunia Dikoyak Konflik Sektarian

Di Tengah kekerasan dan kebencian karena perbedaan keyakinan, sejumlah kelompok Muslim dan Kristen di Kairo, Mesir justru menunjukkan persaudaraan sebagai umat manusia. Foto memperlihatkan sejumlah Muslim bergandengan tangan melindungi gereja dari serangan kelompok ekstremis. (Foto: dok.)

SATUHARAPAN,COM –  Perjalanan tahun 2013 ini dunia diwarnai kecemasan yang mendalam akibat konflik sektarian yang menyebar di banyak kawasan, khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahkan setelah tahun ini akan berakhir, belum ada tanda-tanda konflik ini akan berakhir. Bahkan dalam pekan belakang  secara luas dibicarakan tentang penganiayaan terhadap umat Kristen di berbagai negara.

Beberapa negara yang terus terluka oleh konflik adalah di Timur Tengah seperti Suriah, Yaman, Afganistan, dan Irak. Di Afrika Utara, revolusi yang menggulingkan pemerintah lama di susul oleh situasi yang terus memprihatinkan seperti di Mesir, Tunisia, Libya, dan Sudan Selatan. Di bagian lain Afrika, Somalia masih diwarnai ketegangan konflik sektarian, dan Afrika Tengah, termasuk Sudan Selatan justru konflik tengah membara dengan panas.

Di Asia Selatan, Pakistan dan Bangladesh masih terus dirundung konflik yang berlatar sektarian. Di Asia Tenggara, Myanmar membuat catatan yang memprihatinkan tentang nasib Muslim Rohingya dan Thailand selatan yang masih bergejolak.

Namun demikian, bagian lain dunia ini bukan berarti sepi dari konflik. Negara-negara Uni Eropa telah diperingatkan tentang meningkatkan kelompok kanan yang cenderung menjadi ekstrem. Bahkan untuk pemilihan parlemen Uni Eropa mendatang sudah ada peringatan yang keras tentang kecenderungan digunakannya isu-isu sensitif demi popularitas.

Di Asia Timur, ketegangan tetap saja menghantui kehidupann masyarakat dengan sengketa wilayah yang melibatkan China, Jepang dan Korea, serta konflik di Semenanjung Korea.

Dari Musim Semi Arab

Di Timur Tengah, konflik sektarian muncul menyusul apa yang disebut musim semi Arab. Gerakan revolusi di beberapa negara yang menumbangkan pemerintah lama yang dinilai korup dan otoritarian telah mengubah wajak politik dan kekuasaan di sana sejak 2011. Hal ini terlihat dengan nyata di Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman. Di Suriah revolusi ini telah berlangsung panjang dan bersimbah darah hingga sekarang.

Tumbangnya rezim lama ternyata tidak disertai pemimpin baru yang mampu mengelola pemerintahan dengan lebih demokratis. Sebaliknya, yang terjadi justru pemerintahan yang lemah dengan diwarnai perebutan kekuasaan dan munculnya kelompok-kelompok sektarian bersenjata.

Mesir mengganti rezim lama dengan pemerintahan Mohammed Morsi yang dipilih secara demokratis tetapi cenderung sektarian harus kembali menggulingkan  pemerintahan dengan banyak pengorbanan. Sayangnya, di tengah upaya menyususn pemerintahan baru dengan perubahan konstitusi, kelompok Ikhwanul Muslimin justru dinyatakan sebagai kelompok teroris. Hal ini menandai bahwa pemerintahan Mesir yang akan datang akan terus berhadapan dengan konflik sektarian yang dikhawatirkan tak pernah sepi dari pertumpahan darah.

Hal serupa terjaf di Tunisia, Libya, dan Yaman. Bahkan di bagian Afrika lain, Sudan Selatan yang baru dua tahun menjadi negara merdeka setelah lepas dari Sudan (dan merupakan negara termuda) tengah terjerumus pada konflik sektarian. Konflik di antara kekuatan politik menggunakan sentimen keyakinan untuk membakar permusuhan. Banyak pihak mengkhawatirkan akan terjadi genosida.

Catatan Kelam di Suriah

Di Suriah, pertempuran berkepanjangan antara kelompok oposisi melawan pemerintah Bashar Al-Assad. Namun di kelompok oposisi terdapat banyak fasi yang berbeda bahkan saling bertentangan. Sebuah laporan menyebutkan tidak kurang dari 1.000 kelompok di dalam Oposisi Suriah.

Oposisi Suriah bahkan diberitakan saling serang untuk mendapatkan dominasi. Upaya perundingan untuk menyelesaikan konflik yang pernah digagas melalui pertemuan di Doha, dan kemudian di Jenewa yang gagal pada November, serta digagas kembali pada 22 Januari mendatang masih terlihat belum jelas. Hal ini karena oposisi sendiri mempunyai banyak suara yang tidak mudah disatukan.

Perang di Suria menjadi catatan yang mengerikan dalam abad ke-21 ini. Kerusakan yang terjadi di sana sangat masif. Konflik yang berlarut-larut akibat kuatnya konflik sektarian. Sayangnya yang dipilih bukanya dialog, melainkan menggunakan senjata pemusnah masal seperti senjata kimia, dan belakangan juga senjata yang ditentang dunia, barrel bomb yang menggunakan bahan bakar minyak dan amunisi.

Selain itu, perang Suriah diwarnai oleh keterlibatan orang-orang dan kelompok dari luar yang didorong oleh kebencian atas dasar perbedaan sekte dan keyakinan. Mereka datang dari Inggris, Jerman, dan Amerika, dan tentu saja negara tetangganya seperti Turki, Irak, Libanon, Yordania, Palestina, Mesir, dan Afganistan.

Keterlibatan kelompok yang oleh PBB dan Barat dimasukkan dalam daftar teroris, menjadikan banyak pihak di luar khawatir atas setiap bantuan yang dikirimkan. Mereka selalu khawatir bahwa bantuan akan jatuh ke tangan kelompok oposisi yang berafiliasi atau bagian dari kelompok teroris.

Ironi tentang Perdamaian

Situasi dunia ini justru menjadi ironi, karena seruan-seruan perdamaian seperti “teriakan di padang gurun” dan tenggelam oleh suara-suara bom dan desing peluru. Teriakan anak-anak yang menderita, kelaparan dan ketakutan, bahkan seperti tak terdengar. Meskipun hal itu tidak pernah sepi diserukan.

Catatan situasi seperti ini harus menjadi perhatan penting, seperti mengingat apa yang terjadi di Irak dan Afganistan di mana Amerika Serikat dikritik secara tajam di seluruh dunia, bahkan di dalam negeri. Pokok soalnya adalah menggunakan kekuatan senjata untuk membangun perdamaian adalah paradoks dan naif.

Perdamaian dan demokrasi yang memungkinkan pemerintahan berjalan untuk kepentingan seluruh bangsa hanya bisa dibangun dengan dialog, negosiasi dan proses yang damai dengan penghormatan yang penuh atas nilai-nilai dasar yang universal. Kekuatan senjata hanya menghasilkan “ketenangan semu” melalui dominasi atas kelompok lain. Dan pemerintahan yang didasarkan pada penguasaan dan dominasi hanya menunggu waktu untuk menghadapi perlawanan.

Catatan di sekitar negara-negara yang dilanda musim semi Arab telah dengan cepat menunjukkan hal ini. Yang ironis, justru agama-agama yang diharapkan menjadi landasan bagi nilai-nilai perdamaian, justru tengah digunakan untuk senjata paling mematikan. Jika hal ini terus berlanjut dan disuarakan demi kejayaan agama, makan abad ini bukan abad kebangkitan agama dan psiritualitas, justru menjadi abad keterpurukan agama dan spiritualitas.

Namun demikian, harapan haruslah menjadi lilin yang tak boleh padam, biarpun menjadi lilin terakhir. Tahun 2014 diharapkan menjadi tahun untuk dialog untuk menyelesaikan konflik, termasuk dialog bagi Palestina dan Israel untuk solusi dua negara,  dan hal itu  menjadi mungkin dengan agama dijadikan kekuatan pendamaian, bukan sebaliknya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home