Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 12:31 WIB | Jumat, 05 April 2013

Aris van de Loosdrecht dan Kasihnya di Toraja

Anotonie Aris van de Loosdrecht bersama orang-orang Toraja.

RANTEPAO, SATUHARAPAN.COM - Gereja di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang sekarang tidak lepas dari hasil kerja seorang pendeta yang diutus oleh lembaga missi GZB (Gereformeerde Zendingsbond) di Belanda, seabad lampau. Itu sebabnya peringatan 100 tahun Injil Masuk Toraja yang sedang diperingati di sana tidak bisa tanpa menyebut Antonie Aris van de Loosdrecht.

Aris van de Loosdrecht dilahirkan di Veenendaal, Belanda 21 Maret 1885. Dia menyelesaikan kuliah di Fakultas Teologi Universitas Heidelberg. Dalam suatu kuliah umum di Rotterdam yang membahas tentang misi baru di Toraja, Aris bertemu Alida Petronella Sizoo. Pertemuan singkat itu membawa mereka menikah pada 7 Agustus 1913.

Pasangan baru ini mengisi bulan madunya dengan perjalanan ke Toraja, karena Aris menjadi utusan GZB. Perjalanan mereka dimulai pada 5 September 1913 dengan menumpang kereta api dari Rotterdam menuju Genoa, Italia, kemudian berlanjut dengan perjalanan laut menumpang kapal S.S. Vondel hingga turun di Tanjung Priok pada 4 Oktober 1913.

Di Jawa, Aris tinggal di Sukabumi. Dia mendapat pembekalan dari misionaris senior sebelum berangkat menuju Surabaya pada penghujung Oktober 1913 dan kemudian ke Makassar dengan menumpang kapal S.S. van Goens.

Dari kota Makassar pada 28 Oktober tahun yang sama pasangan muda ini menaiki kapal S.S. Reynst menuju Palopo dan kemudian tinggal di Tentena, Poso hingga awal April 1914. Dalam perjalanan dengan kapal kecil Reynst, Aris berkenalan dengan beberapa orang Toraja di antaranya pria bernama Pong Maramba, seorang parenge’ (kepala adat) dari Rantepao yang kemudian menjadi sahabatnya.

Pekerjaan di Toraja

Pada November 1913 Aris sempat berkunjung ke Toraja. Namun pekerjaannya di tanah ini dimulai pada penghujung April 1914. Kendala bahasa menjadikan pekerjaan Aris tidak mudah, dan dia memulai dengan memberikan pendidikan pada anak-anak.

Kebiasaan orang Toraja yang suka berkumpul dan mendengarkan cerita digunakan sebagai pendekatan pada anak-anak untuk memberi pendidikan dan juga memperkenalkan Injil. Istrinya, Alida membantu dengan mengajarkan ketrampilan pada perempuan setempat.

Bersama Dr. Andriani, seorang yang ahli bahasa yang mendalami bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah, Aris menulis buku bacaan sederhana dalam Bahasa Toraja untuk membantu pendidikan di sana.

Pasangan Aris dan Alida menjalankan tugas penginjilan sekaligus juga menjalankan peran dalam membantu masyarakat, seperti masalah perkawinan, dan membantu perawatan orang sakit. Yang terakhir ditopang oleh pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam kursus singkat di rumah sakit di Rotterdam.

Aris memulai pekerjaan di Rantepao dan mengembangkan pendidikan yang kemudian hari juga disokong oleh guru-guru dari Ambon, Sangir dan Manado, karena kekurangan tenaga pengajar di sana.

Tragedi Pembunuhan

Hanya sekitar tiga tahun Aris bekerja di Toraja. Dia menghembuskan nafas terakhir di Desa Bori, karena mata tombak yang menembus dada dan jantungnya pada 26 Juli 1917. Tombak itu justru ditancapkan oleh Pong Maramba, pria yang menjadi sahabat dan dikenal pertama dalam pelayaran menuju Palopo.

Ada sejumlah versi yang menyebutkan motif pembunuhan pada Aris. Salah satunya menyebutkan tentang keinginan Pong Maramba memiliki Alida. Versi lain menyebutkan motifnya berkaitan dengan larangan pemerintah Belanda tentang hari perjudian. Di Toraja sejumlah acara adat sering diramaikan dengan perjudian (kartu, sabung ayam dan adu kerbau). Pembunuhan itu kemungkinan untuk mendorong pemberontakan kepada pemerintah Belanda.

Sepeninggal Aris, Alida dan tiga anaknya meninggalkan Rantepao pada awal 1918. Mereka menuju Solo, dan dia bekerja pada sebuah rumah sakit misi. Di kota ini, Alida kehilangan seorang putera karena wabah diare.

Sepuluh tahun di Solo, Alida kemudian meninggalkan Jawab dan bersama dua putrinya tinggal di Oegstgeest di dekat Leiden, Belanda. Dia terus aktif bekerja dalam kegiatan gereja hingga akhir hidupnya. Sejumlah sumber menyebutkan, rumahnya di Leide sering menjadi tempat pertemuan para pelajar Indonesia yang belajar di sana, antara lain Ferdinand Tampubolon, Amir Sharifuddin dan Mohamad Hatta. (Disarikan dari berbagi sumber)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home