Loading...
OPINI
Penulis: Sudarto 00:00 WIB | Senin, 28 September 2015

Berbagi Ruang Publik Kehidupan Beragama

SATUHARAPAN.COM - Jika suatu hari kita ditanya apakah itu agama, sebagian besar mungkin akan menjawab agama adalah satu sistem keyakinan yang memiliki konsep tentang Tuhan, memiliki wahyu/kitab suci, memiliki konsep kenabian dan memiliki pengikut di banyak negara. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa definisi agama tersebut merupakan hasil pertarungan politik yang berdampak pada peminggiran (exlussion) terhadap agama-agama kecil oleh “agama-agama” dominan. Pertanyaan berikutnya apakah sebenarnya agama itu?

Selama ini pengertian agama yang dipakai adalah definisi agama dalam logika agama-agama Barat, atau yang sering disebut dengan “Abrahamic Religion”. Pengertian agama seringkali disamapersiskan dengan "ad-din" dalam bahasa Arab atau seringkali disamakan dengan kata "religi/religare" atau religion dalam bahasa Inggris. Lebih umum lagi orang mengartikan agama dengan menyebutkan kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang tersusun dalam kata “A” yang berarti “Tidak” dan kata “Gama” yang berarti kacau. Sehingga agama dimaknai sebagai seperangkat aturan agar manusia hidup dalam keteraturan dan tidak kacau.

Dalam bukunya “The End Meaning of Religion” Wilfred Centwell Smith menyatakan, tidak terlalu tepat mendefinisikan agama dengan pengertian religion juga tidak pas menyamakan arti agama dengan kata “ad-din”. Bahkan mendefinisikan agama dengan memenggal kelompok kata menjadi “A” dan “Gama” akan lebih banyak menimbulkan persoalan gramatikal dari kata agama itu berasal.

Salah seorang penganut agama lokal Engkus Ruswana menyatakan kata “Agama” sendiri merupakan istilah asli Nusantara atau bahasa Kawi. Ia berasal dari kata Ha-Gama yang berarti tatanan atau patokan dari Tuhan Yang Maha Esa (ha = kang Hana = yang Ada/Tuhan YME dan gama = tatanan/patokan). Kata Ha-Gama merupakan istilah untuk menyebutkan perilaku kepercayaan bangsa di Nusantara ketika itu. Sehingga ketika Hindu Budha dan Islam masuk, oleh masyarakat Nusantara disebut Agama. Masyarakat di Pulau Jawa menyebut agama sebagai Ugeman atau yang diugemi atau juga bisa juga berarti pakaian.

Namun demikian mendefinisikan agama bukanlah perkara mudah. Berdasarkan riset atropologis, Emile Dukheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem yang terpadu atau kenyakinan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang di namakan sebagai komunitas sosial (1974:52). Sedangkan definisi agama yang salama ini dipegang oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, pada dasarnya merupakan konstruksi politik untuk mengamakan atau melindungi agama-agama dominan dari kemungkinan munculnya banyak agama di Indonesia.

 

Agamaisasi (Religonisasi)

Meskipun UU No. 1 /1965 tentang PNPS tidak secara eksplisit menyebutkan kata agama yang diakui dan tidak diakui, namun dalam kenyataanya negara telah mengelompokkan umat beragama ke dalam kelompok agama resmi (official religion) seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dan agama yang tidak resmi, yakni agama-agama diluar 6 (enam) agama tersebut. Kata resmi dan tidak dalam prakteknya dipahami sebagai agama diakui dan tidak diakui.

Pengelompokan diakui dan tidak kian ketia Kementerian Agama pada 1961 merumuskan kriteria agama yang harus mempunyai konsep tentang Tuhan, konsep wahyu, memiliki konsep kenabian dan harus punya umat di Mancanegara. Berdasarkan batasan tersebut, sistem keyakinan yang tidak mengikuti konsep tersebut dianggap bukan agama, dengan konsekuensi harus diagamakan atau dianggap tidak atau belum beragama untuk menjadi obyek misi dan atau dakwah .

Berdasarkan rumusan itu pada 1963, kelompok Hindu, Budha dan Konghucu mendaftarkan sebagai agama menurut nalar agama-agama Ibrahimi. Menurut banyak sumber pendefinian tersebut diusulkan oleh Mukti Ali tahun 1952, karena adanya desakan dari agama-agama lokal Nusantara kepada Presiden Soekarno agar kepercayaan lokal disetarakan dengan agama-agama dominan.

Agamaisasi itu kian terasa pasca meletusnya G.30 S 1965. Kekuatan Islam yang berkolaborasi dengan tentara berhasil menumpas PKI sampai keakar-akarnya. Termasuk di dalamnya menyisir siapa saja yang dianggap berbau Komunis. Pada tahun 1967, kebetulan Konghucu berasal dari Tiongkok, dan Tiongkon/Peking berhaluan Komunis. Melalui SK Mendagri No 14/1967 pemerintah melarang pertunjukkan kebudayaan China. Disusul kemudian dengan SK Mendagri No. 477/74054/1978 secara eksplisit menyebutkan bahwa agama yang diakui adalah Islam, Protestan yang disebut Kristen, Ketolik, Hindu dan Budha. Dan Konghucu hilang dari daftar agama resmi.

Hilangnya agama Konghucu dari daftar agama resmi negara terus berlangsung hingga Presiden Abdurrahman Wahid melalui Kepres No. 6/2000 mencabut larangan agama Konghucu. Persoalannya adalah kenapa hanya Konghucu? Bagaimana dengan agama lain terutama agama-agama lokal Nusantara yang sekalipun terus disingkirkan ternyata masih bertahan hingga sekarang? Inilah agenda besar pembangunan demokrasi yang harus diselesaikan.

 

Berbagi ruang publik beragama

Jika dengan berbagai pertimbangan kemudian pemerintah memutuskan untuk mencantumkan atau meresmikan semua agama yang ada di Indonesia, setidaknya akan ada 200 an agama resmi di Indonesia. Apalagi jika setiap agama kemudian menutut adanya dirjen agama-agamanya di Kemenag, akan ada 200an agama dirjen di Kemenag. Bisa dibayangkan betapa rumitnya negeri ini yang sibuk mengurus agama-agama. Dan APBN yang saat ini lebih kurang 50 Triluan untuk Kementerian Agama akan tidak mencukupi untuk 200 an dirjen-dirjennya.

Namun jika negara tetap bertahan pada kondisi seperti saat ini, apalagi ada pernyataan yang menyebutkan ada agama-agama yang “diakui” dan difasilitasi, serta agama-agama yang diakui tetapi tidak difasilitasi, tentunya negara akan terus melanggengkan praktek diskriminasi terhadap agama yang “diakui” tetapi tidak difasilitasi. Persoalannya bagaimana negara mengelola kemajemukan agama yang banyak ini? Sebagaimana diketahui masalah agama telah diakui sebagai bagian hak asasi yang tidak bias ditunda (non derogable right).

Pilihan yang paling aman adalah segera menyapih agama-agama dari negara. Hapus saja kolom agama dari KTP dan biarkan agama menjadi tumbuh dewasa dengan bersaing secara adil dan bebas. Dan yang terpenting lagi bubarkan Kementerian Agama, dan APBN yang telah dialokasikan untuk kehidupan beragama dialihkan untuk pendidikan masyarakat tanpa memandang latar belakangnya.

Namun jika pembubaran Kementerian Agama menimbulkan kontroversi yang tidak sehat,  pilihannya biarkanlah Kementerian Agama tetap ada namun harus direstrukturisasi. Kementerian Agama tidak lagi membagi-bagi kursi berdasarkan dirjen keagamaan, melainkan fungsional sesuai dengan bunyi konstitusi pasal 29 ayat 2.

Dirjen di Kementerian agama akan menjadi Dirjen urusan kerukunan antar umat beragama dan kepercayaan, kemudian Dirjen pendidikan agama dan kepercayaan, Dirjen urusan pencatatan perkawinan, sehingga tidak ada dualisme di di KUA dan di Catatan Sipil. Dirjen urusan kunjungan tanah suci, dengan asumsi kunjungan tanah suci bukan monopoli agama tertentu. Dan hal ini jelas biss mendatangkan devisa negara jika dikelola dengan baik. Sebab dalam proses kunjungan tanah suci aktivitas pembiayaan terbesar berada pada transportasi, konsumsi dan penginapan.

Terakhir adalah Dirjen urusan sarana dan prasarana ibadah, yang akan bertugas memastikan semua pemeluk agama dapat menjalankan ibadah dan memiliki rumah ibadah sesusai dengan agama dan kepercayaannya. Sehingga sekali lagi fungsi Kementerian Agama  akan menjadi wasit bagi umat beragama yang ada di Indonesia untuk secara dewasa berbagi ruang publik.

 

Penulis adalah Ketua Divisi Riset ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home