Loading...
OPINI
Penulis: Ati Hildebrandt Rambe 00:00 WIB | Kamis, 24 September 2015

Beberapa Catatan Berkaitan dengan Pengungsi di Jerman

“Sebab….ketika aku menjadi orang asing, engkau memberi Aku tumpangan.” (Mat. 25: 35)

SATUHARAPAN.COM – Willkommen, Welcome, ahlan wa-sahlan! Musim panas untuk dunia media di Jerman dikenal dengan istilah “Sommerloch” (lubang musim panas) yang menunjukkan kevakuman berita yang menarik akibat liburan musim panas yang panjang. Tetapi tidak terjadi pada musim panas kali ini. Berita tentang tragedi pencari suaka khususnya dari Suriah menyentak “keheningan” media di musim panas. Euforia luar biasa masyarakat sipil dalam penyambutan pengungsi, bukan hanya menjadi berita sukacita dan berpengharapan melainkan menjadikan warta berita (News) bernuansa lain, tidak hanya sebagai penebar sekumpulan kisah tragis dan sensasi.

Ribuan bahkan jutaan –anak muda dan setengah baya- bekerja siang dan malam tanpa lelah sebagai relawan di pos-pos penerimaan pengungsi dan tempat tinggal sementara. Di sejumlah kota, warga berkumpul di sepanjang rel kereta api yang akan dilalui oleh kereta para pengungsi, untuk mengangkat spanduk dan menyuarakan “Welcome! Ahlan wa-sahlan!”. Sepertinya kendala bahasa dan budaya yang berbeda bukan halangan bagi warga sipil untuk menyapa, membuat para pengungsi „melupakan“ sejenak perjalanan odise yang panjang. 

Sejumlah insiatif warga sipil yang sangat kreatif lahir:  Mulai dari aksi bermain bersama, pesta rakyat untuk pengungsi, salon gratis, dll. Ke-36 klub sepak bola ternama di Jerman melakukan kampaye “Refugees-Welcome” dengan cara-cara yang unik, misalnya klub Borrusia Dortmund mengundang 220 pengungsi untuk menyaksikan permainan mereka dalam Liga-Eropa, aksi ini diikuti oleh klub Schalke. 

Selama kurang lebih 20 tahun tinggal di Jerman, belum pernah saya menyaksikan aksi solidaritas dan kemanusiaan yang akbar dan euforia warga sipil seperti ini.  Tiba-tiba negara ini menjadi `gudang‘ para relawan kemanusiaan. Salah satu teman di FB bertanya: “Apa yang sedang terjadi di negara ini?” (was ist los in diesem Land?). Padahal akhir tahun lalu sampai awal tahun ini, demonstasi anti-pendatang (migran) di Jerman hampir menutup semua tema-tema aktual lainnya  di semua media. Demonstrasi ini dilakukan setiap hari kamis oleh organisasi yang menamakan diri sebagai “Patriot Eropa melawan ancaman Islamisasi negara2 Eropa” (PEGIDA: Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes), utamanya di wilayah timur Jerman, seperti kota Dresden. Ditambah lagi dengan beberapa kejadian tragis belakangan ini, pembakaran dengan sengaja rumah-rumah tempat tinggal para pengungsi. 

Kekuatan pergerakan warga sipil untuk menerima para pengungsi membuat Kanselir Merkel tidak dapat mengambil keputusan lainnya, kecuali mengijinkan para pengungsi yang masuk melalui Hungaria untuk diregistrasi di Jerman. Keputusan ini sebenarnya “melanggar” hukum migran di Eropa yang disebut dengan Regulasi Dublin, yang mengatur bahwa untuk mendapatkan status legal sebagai pengungsi seseorang yang mencari suaka harus mendaftarkan diri di negara Eropa pertama ia masuk.

Mulai kemarin (14 September 2015), pagar kawat duri yang tinggi diperbatasan Serbia dan Hungaria yang baru saja dibangun untuk membentengi Eropa dari gelombang pengungsi dan beberapa hari digunakan sebagai celah masuk para pengungsi ke Austria dan Jerman, kini telah ditutup, namun gerakan dan tekanan warga sipil atas keputusan politik ini semakin nyaring. Salah satu suara nyaring  diserukan oleh seorang  pemusik ternama di Jerman, Konstantin Wecker: “buka jalan legal ke Eropa! Bayar biaya hidup para pengungsi dari keuntungan milyaran industri persenjataan! Dan yang paling penting adalah hentikan ekspor persenjataan!” Suara ini senada dengan tuntutan gereja-gereja di Jerman kepada pemerintahan Merkel. 

Tentu saja tidak dapat dinafikan bahwa ada suara sinis dari sejumlah warga sipil lainnya yang mengandung ketakutan terhadap konsekuensi-konsekuensi yang akan dilahirkan dari rahim kepelbagaian sosial-budaya dan agama yang akan semakin kompleks.

Lalu apa yang akan terjadi setelah euforia berlalu dan kehidupan bersama para pengungsi menjadi “rutinitas”? Jauh sebelum kedatangan pengungsi Suriah, Lanskap sosial-budaya di Jerman telah beragam yang  disebabkan oleh gerakan immigrasi beberapa dekade belakangan ini, baik berupa arus pencari suaka politik (pengungsi), maupun pergerakan perpindahan penduduk yang diakibatkan oleh berbagai alasan seperti pekerjaan, keluarga, pendidikan, dll. Multikulturalitas dan multirelijiusitas sudah menjadi sebuah kenyataan yang tak dapat dielakkan dan dikoreksi lagi. Keragaman ini dengan segala kompleksitasnya menjadi wajah keseharian kota-kota besar di Jerman.

Sebagai contoh, kota Nürnberg di mana saya tinggal: Menurut data statistik kota tahun 2010, lebih dari 61 % dari jumlah anak yang berusia 3 sampai 6 tahun adalah anak-anak imigran. Multikulturalitas bukan hanya menjadi wajah sosial, melainkan wajah keagamaan. Salah satu signal penting dari kenyataan ini adalah munculnya apa yang disebut dengan “gereja-gereja Migran”. Untuk negara bagian Bavaria saja, terdapat kurang lebih 300 gereja-gereja (atau jemaat) Migran. Dan ini bukan hanya menyentuh kehidupan kekristenan, melainkan kelompok agama lain, seperti Islam. Di kota Nürnberg saja terdapat sejumlah Jamaah/mesjid dari berbagai latar belakang bahasa dan bangsa, diantaranya Jamaah berbahasa Indonesia (PUN: Pengajian Umat Islam Nürnberg). 

Kalau membandingkan dengan arus hebat pengungsi yang datang ke Jerman pasca Perang Dunia II (12 Juta pengungsi) dan runtuhnya Uni Soviet (1992, dengan kurang lebih 3 juta pengungsi) serta gelombang besar pengungsi lainnya seperti dari Vietnam, Afghanistan, Irak, Iran dan negara-negara Afrika, Balkan dan Eropa Timur lainnya, sepertinya Jerman sudah “terlatih” menjadi tuan rumah bagi para pengungsi dan seharusnya kepelbagaian budaya dan agama bukan lagi menjadi ancaman  identitas, melainkan kepelbagaian itu sendiri menjadi identitas Jerman yang baru. Kalau memperhatikan kekuatan reaksi balik warga sipil atas setiap upaya kelompok ekstrim-kanan yang ingin menafikan wajah keragaman di Jerman, saya menjadi optimis bahwa gerakan warga sipil ini merupakan bagian dari proses yang sehat menuju pembentukan identitas Jerman yang multi-wajah.

Peran Profetik Gereja
Isu tentang pengungsi Muslim menjadi Kristen untuk kemudahan mendapat suaka, justru mendapat perhatian media masa asing, utamanya di Indonesia. Padahal hampir tidak satu pun media Jerman yang mempersoalkan atau menjadikan hal ini tema yang perlu dipublikasi. Salah satu alasan dari  ketidaktertarikan media Jerman mungkin karena persoalan perpindahan agama dilihat sebagai wilayah pribadi setiap individu.

Di samping itu, setiap orang tahu bahwa agama seseorang tidak dapat dijadikan alasan pemberian atau penolakan suaka, sehingga menjadi Kristen bukan jaminan apalagi garansi untuk memperoleh suaka atau izin tinggal. Alasan lain adalah dengan mengusung isu seperti ini maka niat tulus seseorang untuk mengalami dan menjalani kemerdekaan beragama direduksi dengan tuduhan penyalahgunaan.

Tidak dapat dinafikan bahwa perjumpaan pengungsi yang beragama non-Kristen (bukan hanya Islam) dengan tradisi, budaya kekristenan dapat membuahkan perubahan cara pandang dan pemahaman iman seseorang. Ditambah lagi dengan peran sangat aktif gereja-gereja di Jerman dalam hal pengungsi. Sebagai bagian dari paguyuban sipil, gereja-gereja dalam persekutuan oikumenis telah lama menjadi motor penggerak dan pelaku, bukan hanya di bidang diakoni dan karitas tetapi aktif melakukan lobi-lobi politik agar pemerintah aktif dan sungguh-sungguh mereduksi bahkan memerangi akar permasalahan munculnya gelombang pengungsian di negara-negara asal pengungsi dan agar pemerintah  melakukan politik migran yang berkemanusiaan. 

Salah satu tradisi gereja yang kuat dalam kaitannya dengan pengungsi adalah apa yang disebut dengan “suaka gereja” (church asylum). Tradisi ini memiliki akar sejarah yang panjang  sampai ke sejarah gereja mula-mula. Sejak tahun 70-an, tradisi ini kembali di praktekkan oleh gereja-gereja main stream di Jerman, bahkan telah menjadi lembaga resmi gereja. Meski tradisi ini tidak diatur dalam undang-undang dan peraturan negara yang resmi, namun gereja melalui jemaat-jemaatnya “dibolehkan”  memberikan perlindungan sementara kepada para pengungsi  (tanpa memperhatikan latarbelakang agamanya) yang mengahadapi kasus-kasus kompleks dan terancam hidupnya jika dikembalikan ke negaranya.

Masa perlindungan ini digunakan untuk mengurus kembali perizinan tinggal dan legalitas diri sebagai pengungsi. Selama masa perlindungan ini, pengungsi tersebut tidak boleh meninggalkan kompleks gereja.  Karena perlindungan seperti ini tidak diatur oleh negara, terkadang gereja harus berhadapan dengan aparat negara dalam membela dan melindungi mereka yang terancam hidupnya.

Salah seorang rekan pendeta mengisahkan pengalaman bagaimana jemaatnya melakukan “suaka gereja” bagi satu keluarga yang berasal dari Irak utara yang sampai pada perolehan izin tinggal di Jerman tetap menjadi keluarga Muslim. Salah satu kekayaan yang menjadi kesaksian jemaat ini bukan hanya koreksi prasangka terhadap Islam melainkan penghayatan iman yang riil. Solidaritas dan cinta kasih yang dinyatakan anggota Jemaat kepada keluarga ini menjadi ruang penghayatan penderitaan Kristus di dalam kisah penderitaan sesama (“Sebab ketika Aku lapar, kamu member Aku makanan, ketika Aku haus kamu memberi Aku minuman, ketika aku orang asing kamu memberi Aku tumpangan.” Mat. 25: 35). Dan anggota jemaat mendapat kesempatan untuk menyatakan totalitas kasih Kristus yang melampaui sekat-sekat yang dibuat oleh manusia. 

Rekan pendeta lainnya yang jemaatnya menerima kurang lebih 30 keluarga dari Suriah bercerita bahwa pengalaman memberi perlindungan kepada pengungsi telah membangkitkan kembali kehidupan berjemaat yang tadinya cenderung rutinitas. Sejumlah anggota jemaat yang dulunya “hanya” menjadi Kristen nominal dan tidak aktif dalam kegiatan gereja, kini dengan sukarela menjadi bagian penting dalam pelayanan menangani para pengungsi. Secara spontan dan sukarela, anggota Jemaat membentuk diri dalam kelompok-kelompok kerja: Ada kelompok yang bertanggung jawab untuk mengantar ke dokter, yang mendampingi dalam urusan birokrasi persuratan, dll, ada yang bertanggung jawab untuk mengajar bahasa, mendampingi anak dalam menyelesaikan PR-sekolah, dll.

Perjumpaan yang tulus dan intensif yang dialami kedua belah pihak –pendatang dan penduduk setempat- seperti dua contoh diatas dapat menjadi dasar yang kuat untuk sebuah bangunan kehidupan bersama di dalam komunitas Jerman yang multikultural dan multirelijius dengan segalam kompleksitas yang dikandungnya. Dan gereja melalui institusi dan warganya telah ikut aktif dalam gerakan arak-arakan menuju sebuah bangunan komunitas yang berpengharapan.

“Betapa berharganya kasih setiaMu, ya Allah! Anak-anak manusia memperoleh perlindungan di bawah sayapMu” (Maz. 36: 8)

 

Penulis adalah pendeta yang bekerja dalam pelayanan gereja-gereja migran di Bavaria, Jerman


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home