Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 09 Agustus 2014

Bila Topan K’ras Melanda Hidupmu

Yesus berjalan di atas air (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Ketika membaca kisah ”Yesus Berjalan di Atas Air”, mata hati saya terpancang pada kalimat ini: ”Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang” (Mat. 14:22).

Frasa ”sesudah itu” yang dipakai penulis menegaskan bahwa peristiwa Yesus berjalan di atas air terjadi setelah peristiwa pemberian makan 5.000 orang laki-laki. Mukjizat yang luar biasa; dan harganya juga luar biasa.

Bayangkan Jika mereka semua penganut keluarga berencana, satu istri dan dua anak, maka ada 20.000 mulut. Jika konsumsi per orangnya Rp 25.000,-; maka biaya yang harus dikeluarkan untuk konsumsi adalah Rp 500 juta—Rp 0,5 Miliar!

Tetapi, kisah mukjizat itu seakan musnah ketika mereka mengalami cobaan hidup yang membuat mereka bisa mati kapan saja. Peristiwa genting itu membuat mereka tak lagi mengenali Yesus. Bahkan mereka menganggap  Tuhan itu hantu.

Mengapa mereka menganggap Yesus sebagai hantu? Apakah mereka tidak mengenali Yesus lagi? Bukankah mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Yesus selama ini? Mengapa mereka tidak mengenali-Nya?

Tak mudah menjawabnya. Namun, kita bisa menduga, persoalan hidup yang berat dapat membuat orang tidak mengenali Allah lagi. Mengapa? Sebab mereka begitu berkonsentrasi pada persoalan hidup itu sendiri, sehingga lupa bahwa Allahlah sumber hidup! Sekaligus, mereka lupa tindakan Allah dalam hidup mereka di masa lampau.

Tak heran, jika Johnson Oatman, Jr membuat syair, yang direkam oleh Yamuger dalam KJ 439:1:

Bila Topan k’ras melanda hidupmu,

bila putus asa dan letih lesu,

berkat Tuhan satu-satu hitunglah,

kau niscaya kagum oleh kasih-Nya.

Persoalannya, sering memang di sini. Ketika badai melanda hidup, kita melupakan apa yang pernah diberikan Tuhan sebelum badai menerpa. Karena terlalu konsentrasi pada badai—tentu agar tidak tersapu badai—kita menjadi nggak ingat bahwa Allah pernah berkarya dalam hidup kita. Sehingga penyair dalam refreinnya menyatakan:

Berkat Tuhan, mari hitunglah, kau kan kagum oleh kasih-Nya.

Berkat Tuhan mari hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya.

Penyair mengajak pembacanya untuk menghitung berkat Tuhan agar mereka tidak tenggelam dalam badai itu. Niscaya berarti kepastian—tidak bisa tidak—bahwa mereka pada akhirnya akan kagum dengan kenyataan bahwa Tuhan pernah menolong pada masa sebelum badai menerpa. Jika Allah begitu setia menolong mereka di masa lampau, masak Dia akan membiarkan umat-Nya hancur karena badai?

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home