Masalah GKI Yasmin dan Presiden Baru
SATUHARAPAN.COM – Terkait masalah GKI Yasmin yang hingga kini masih disegel, organisasi sayap Partai Gerindra, yakni Kristen Indonesia Raya (KIRA), beberapa waktu lalu menyatakan bahwa jika Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden maka masalah ini akan dibereskan. Artinya, GKI Yasmin akan mendapatkan haknya kembali untuk beribadah di gedung gereja yang mereka miliki secara sah itu. Pertanyaannya, mengapa harus menunggu Prabowo menjadi presiden? Apakah kalau Prabowo gagal menjadi presiden lantas masalah GKI Yasmin tak akan pernah selesai?
Kita patut mengkritisi pemikiran ini. Sebab sesungguhnya ini masalah hukum yang tak terkait langsung dengan sosok calon presiden, baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo. Dengan kata lain, solusinya sebenarnya sangat mudah, yakni: laksanakan putusan hukum Mahkamah Agung (MA) secara konsisten dan konsekuen.
Itulah yang dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa, 17 November 2011. Menurut Harifin, Wali Kota Bogor harus melaksanakan putusan MA terkait kisruh GKI Yasmin tanpa syarat. Jika tidak, kerukunan umat beragama di Indonesia akan disorot dunia internasional. Ia menilai langkah Wali Kota Diani Budiarto yang menawarkan relokasi tempat baru tidak tepat. “Relokasi harus dengan persetujuan umat GKI Yasmin,” tegasnya.
Seperti diketahui, Wali Kota Bogor Diani Budiarto (yang pada 7 April 2014 sudah resmi diganti oleh Bima Arya) selama ini bersikeras menolak mematuhi putusan MA No. 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 yang menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemkot Bogor berkenaan dengan Keabsahan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin, Bogor. Putusan MA tersebut menyatakan bahwa perizinan GKI Yasmin adalah sah. Namun, Wali Kota Diani Budiarto menolak untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Bahkan, Wali Kota mencabut secara permanen IMB GKI yang terletak di Perumahan Taman Yasmin itu melalui SK Wali Kota Bogor Nomor 645.45-137 tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011.
Sikap keras Wali Kota Bogor yang melarang jemaat GKI Yasmin beribadah sejak 2008 itu membuat pihak GKI mengajukan surat kepada MA pertanggal 26 Maret 2011 menanyakan pandangan MA tentang sikap Diani Budiarto selaku Wali Kota Bogor. Menjawab surat permohonan fatwa tersebut, melalui surat bernomor 45/Td.TUN/VI/2011 per tanggal 1 Juni 2011 perihal Permohonan Fatwa, MA menyampaikan bahwa pengujian terhadap Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-OTKP perihal pembekuan izin tertanggal 14 Februari 2008 telah berpuncak pada Putusan MA Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 10 Desember 2010. Putusan tersebut adalah merupakan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan dapat dilaksanakan. Bagian kedua yang penting dari jawaban MA adalah, demi terwujudnya asas keadilan dan kepastian hukum, maka kepada para pihak yang bersengketa wajib melaksanakan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kebijakan Wali Kota Diani Budiarto juga tidak sejalan dengan perintah Ombudsman RI yang meminta agar surat keputusan pencabutan IMB itu ditarik kembali. Karena rekomendasi tersebut tidak dijalankan, akhirnya Ombudsman pun melaporkan kasus ini kepada Presiden SBY dan DPR. Tetapi, DPR dan pemerintah juga tak bisa memberikan solusi konkret, yang sesuai dengan putusan MA. Dalam dialog dengan wartawan di Istana Negara, Senin 13 Februari 2012, SBY hanya menjawab secara normatif bahwa tiap-tiap pemeluk agama harus dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah. Yang patut disayangkan, saat itu SBY sempat menyinggung opsi lain di luar putusan MA untuk mengatasi masalah GKI Yasmin, yakni relokasi. Usul inilah yang sejak awal hingga kini ditolak secara tegas oleh pihak GKI Yasmin.
Sikap Wali Kota Diani Budiarto yang selama ini berani membangkang terhadap putusan MA dan rekomendasi Ombudsman sebenarnya dapat dinilai sebagai pelecehan terhadap hukum sekaligus lembaga pengadilan tertinggi di negara ini. Menyikapi hal itu seharusnya pejabat-pejabat negara di atasnya bertindak tegas. Dimulai dari Gubernur Jawa Barat yang harus menegur keras Wali Kota Bogor, dan kalau tak diindahkan juga maka Menteri Dalam Negeri selayaknya turun-tangan. Jika menteri pun masih dipandang sebelah mata, maka pihak terakhir yang harus menjaga kewibawaan hukum adalah SBY.
Namun dalam konteks ini SBY tak bertindak sebagai presiden, melainkan kepala negara. Sebab, Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat) dan karenanya tak boleh ada daerah atau provinsi yang seakan-akan berada di luar jangkauan hukum yang sudah diputuskan oleh MA selaku lembaga pengadilan tertinggi. Kalau sebuah keputusan hukum di wilayah manapun di negara ini tak dapat dieksekusi, bukankah sama saja Indonesia bukan negara hukum?
Pada 16 Desember 2011, di kediamannya sendiri di Cikeas, Jawa Barat, SBY berjanji di hadapan para pemimpin Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang menemuinya bahwa ia siap turun tangan langsung jika para bawahannya di kabinet tak mampu mengatasi masalah GKI Yasmin. Tapi, apa yang terjadi? Tak lama setelah itu, melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, SBY mengatakan bahwa dirinya tak mungkin mengintervensi kasus GKI Yasmin karena terhalang oleh UU Otonomi Daerah.
Mengapa mudah sekali berdalih seperti itu? Tidakkah ada rasa malu di dalam diri SBY, karena Indonesia telah menjadi sorotan dunia gara-gara kasus GKI Yasmin? Tidakkah ada niat baik untuk menyelesaikan masalah ini demi Pancasila, UUD 45, dan demi menjaga kewibawaan hukum? Tidakkah SBY sadar bahwa ia bukan hanya presiden, tapi juga kepala negara? Bukankah dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, SBY berwenang “menertibkan” Wali Kota Diani Budiarto? Boleh jadi lantaran itulah maka pada 9 Februari 2012, Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana berkata: “Kami minta ketegasan Presiden secepatnya mengingat masalah ini krusial, tidak boleh dianggap sepele.”
Pada 7 April lalu, Diani Budiarto sebagai Wali Kota Bogor resmi diganti oleh Bima Arya. Tapi terkait masalah GKI Yasmin, faktanya ia belum berbuat apa-apa hingga kini. Menurut Bima, ketika ditemui perwakilan GKI Yasmin usai dirinya dilantik, ia masih harus mempelajari kasus tersebut. Pertanyaannya, butuh waktu berapa lamakah untuk memahami kasus ini? Sebenarnya punyakah ia good will dan political will untuk itu?
Kembali pada pernyataan pihak KIRA, jelaslah bahwa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin bukanlah sosok Prabowo sebagai presiden baru. Melainkan, kesediaan seorang wali kota untuk taat kepada hukum dan tunduk kepada putusan MA. Sebab, urusan rumah ibadah secara hukum menjadi tanggung jawab kepala daerah. Maka dalam rangka mengeksekusi putusan MA itu, Wali Kota Bima Arya bisa bekerja sama dengan Kapolres Bogor untuk mengamankannya.
Akan halnya KIRA sebagai organisasi sayap Gerindra, mestinya dari sekarang giat melakukan pendekatan demi mendorong Wali Kota Bima Arya melakukan hal itu. Sebab, bukankah PAN ada di barisan koalisi yang mendukung Prabowo sebagai capres?
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
RI Evakuasi 40 WNI dari Lebanon via Darat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mengevakuasi 40 Warga ...