Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 16:57 WIB | Kamis, 25 Desember 2014

Di Tiongkok Setiap Tahun Adalah Tahun Babi

Babi merupakan bagian penting dari tradisi Tiongkok (Foto: The Economist)

BEIJING, SATUHARAPAN.COM - Tahun 2015 yang menjelang adalah tahun kuda kayu menurut penanggalan Tionghoa. Tetapi bagi pemerintah negara Tirai Bambu, tidak ada tahun yang bukan tahun babi. Semua tahun adalah tahun babi.

Ini mengacu pada peranan babi dalam perekonomian Tiongkok yang semakin hari semakin penting. Setiap tahun, pemerintah Tiongkok harus berjuang mengendalikan harga daging babi sebab kenaikannya selalu memicu kenaikan harga-harga komoditas lainnya. Akibatnya, laju inflasi nasional bisa terkerek.

The Economist terbaru melaporkan, setiap tahun penduduk Tiongkok mengkonsumsi 500 juta ekor babi, setengah dari jumlah produksi babi di seluruh dunia per tahun. Konsumsi daging babi Tiongkok naik tujuh kali lipat sejak tahun 1970, ketika pemerintah  meliberalisasi pasar produk-produk pertanian.

Tahun 1980-an, 95 persen babi yang ada berasal dari  peternakan kecil milik rumah tangga dengan jumlah peliharaan  masing-masing tak lebih dari lima ekor. Saat ini, hanya 20 persen saja rumah tangga menyumbang babi di pasaran Tiongkok. Selebihnya, menurut Institute of Social Studies di Den Haag, datang dari peternakan-peternakan besar, sebagian diantaranya dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan multinasional, dengan jumlah peliharaan bisa mencapai 100 ribu ekor babi per peternakan per tahun.

Pada gilirannya, konsumsi babi yang terus meningkat mendatangkan kekhawatiran bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT). Daging babi berperan penting dalam tradisi Tiongkok. Ia merupakan lambang kemakmuran dan makan enak. Menjamin ketersediaannya merupakan pertaruhan besar bagi PKT.

Lagipula PKT memiliki pengalaman buruk mengenai hal ini. Tahun 2007 sebagai misal, pasok daging babi sempat tersendat di negara itu ketika tidak kurang dari 48 juta ekor babi mati karena diserang penyakit kuping biru. Harga babi saat itu pun meroket tak terkira. "Indeks konsumen babi" naik sampai 10 kali lipat.

Langkanya daging babi memicu orang berebut mendatangi pasar dan pusat perbelanjaan. Diberitakan, sampai ada yang cedera di eskalator supermarket karena ingin mendapatkan daging babi murah di Guangzhou. Impor daging babi pada masa itu meningkat dua kali lipat.

Untuk mengantisipasi masalah-masalah semacam ini, PKT kemudian membuat cadangan persediaan babi, kebijakan yang baru pertama kali ada di dunia. Sebagian dari stoknya adalah daging babi yang dibekukan, namun sebagian lainnya babi hidup. Tujuannya adalah menjamin harga babi tetap terjangkau dan tersedia di pasar. Manakala harga babi merangkak naik, pemerintah melepas cadangannya. Sedangkan bila harga babi terlalu murah, pemerintah membeli babi dari peternak.

Pemerintah Tiongkok gencar mendorong peningkatan produksi babi. Berbagai insentif diberikan, mulai dari bantuan pinjaman berbunga murah hingga insentif pajak dan berbagai bentuk subsidi lainnya. Menurut Chatham House, sebuah lembaga tangki pemikir berbasis di London, pemerintah Tiongkok mensubsidi produksi babi sebesar US$ 22 miliar pada 2012, atau US$ 47 per ekor babi.

Babi: Kutuk Sekaligus Berkat

Selama berabad-abad, babi adalah hewan kurban dan santapan dalam hampir semua upacara dan pesta di Tiongkok. Di sisi lain, babi juga menjadi hewan peliharaan yang berfungsi sebagai tabungan. Manakala sebuah keluarga menghadapi kesulitan ekonomi, menjual babi adalah solusi pamungkas.

Sementara itu, daging babi semakin penting karena ia juga jadi andalan orang Tiongkok dalam memenuhi kebutuhan daging. Bagi sebagian besar penduduk Tiongkok, babi adalah hewan terbaik karena hampir semua bagian tubuhnya dapat dimakan, termasuk otaknya.

Sebelum era revolusi Mao tahun 1949, daging babi merupakan makanan mewah, hanya 3 persen dari kebutuhan kalori penduduk Tiongkok dipenuhi oleh daging babi. Masa-masa sulit itu masih tersimpan dalam kenangan banyak orang, sehingga sampai saat ini, makan daging, terutama daging babi, merupakan simbol kelepasan dari masa sulit yang diajarkan secara turun temurun.

Para kakek yang ingin mentraktir para cucu umumnya akan menempatkan suguhan daging babi sebagai pilihan utama. Rata-rata penduduk Tiongkok dewasa ini memakan 39 kg daging babi per tahun (atau kira-kira sepertiga ekor), lebih banyak daripada rata-rata orang Amerika Serikat (yang sebagian besar memilih daging sapi) dan lima kali lebih banyak dari pada yang dikonsumsi rata-rata penduduk Tiongkok pada tahun 1979.

Masalahnya adalah para babi itu perlu makan. Dan umumnya makanannya adalah olahan dari kedelai dan jagung. Setiap satu kilogram babi memerlukan enam kilogram pakan. Dan karena air dan lahan di Tiongkok cukup langka, kini peternakan babi Tiongkok semakin mengandalkan pakan impor.

Pakar memperkirakan, lebih dari setengah pakan dunia akan menjadi konsumsi babi-babi Tiongkok. Pada tahun 2010 lebih dari 50 persen produksi kedelai dunia mengalir ke negara ini. Tahun 2022, Tiongkok diperkirakan mengimpor jagung berkisar dari 19 juta ton hingga 32 juta ton atau seperlima hingga sepertiga produksi dunia.

'Rakus'nya babi-babi Tiongkok menyebabkan kelangkaan lahan di belahan lain dunia. Di Brasil, lebih dari 25 juta hektar lahan --sebagian diantaranya adalah kawasan hutan Amazon -- dipergunakan untuk menanam kedelai. Seluruh pohon dan spesies di kawasan hutan itu terpaksa dikorbankan demi memberi makan babi-babi Tiongkok.

Hal yang sama terjadi di Argentina. Ribuan hektar hutan berubah menjadi usaha pertanian kedelai. Sejak tahun 1990, ekspor kedelai Argentina yang mencapai 8 juta ton mengalir seluruhnya ke Tiongkok.

Pada gilirannya, ketergantungan Tiongkok pada produk-produk impor ini membuat negara ini semakin terpengaruh oleh pergerakan harga komoditas di pasar global. Dan untuk mengatasi hal ini, Tiongkok secara diam-diam telah membeli lahan di berbagai negara untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian kedelai dan juga peternakan babi.

Institut for Sustainable Development, sebuah lembaga tanki pemikir di Kanada memperkirakan Tiongkok telah membeli lima juta hektar lahan di berbagai negara sedang berkembang untuk tujuan itu. Tahun lalu, Shuanghui, produsen daging babi terbesar di Tiongkok, membeli Smithfield Foods, perusahaan Amerika, sebuah proses akuisisi terhadap lahan yang membentang dari Missouri hingga Texas. Seiring dengan meningkatnya permintaan daging babi di Tiongkok, kerajaan babi negara itu pun diyakini akan berkembang lebih besar lagi.

Pertumbuhan konsumsi daging babi Tiongkok tak hanya memicu perburuan tanah demi meningkatkan produksi, tetapi juga memunculkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap lingkungan. Peternakan babi di Tiongkok berkontribusi terhadap pemanasan global. Emisi gas greenhouse dari pertanian Tiongkok meningkat 35 persen antara 1994-2005. Ekspansi usaha peternakan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap pemanasan global.

Maka, kendati pertumbuhan jumlah babi di Tiongkok merupakan lambang kemakmuran, ia sebenarnya juga adalah acaman. Dewasa ini mulai ada --meskipun sangat kecil jumlahnya -- orang yang mempertanyakan apa manfaat dari memakan daging babi banyak-banyak. Konsumsi daging pun mulai melandai bagi kalangan orang kaya. Makanan organik  dilirik meskipun baru oleh segelintir warga. Vegetarianisme  tumbuh, meskipun gaya hidup demikian masih dianggap eksentrik.

Namun, tetap tak bisa dipungkiri, abinisi sebagian besar orang Tiongkok adalah melahap sebanyak dan sebasar mungkin kue babi. Ketika di belahan bumi yang lain konsumsi daging mulai stabil, di Tiongkok konsumsi daging babi terus melesat tak terbendung.

Maka lupakanlah penanggalan berdasarkan zodiak. Di Tiongkok saat ini, setiap tahun adalah tahun babi.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home