Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 14:47 WIB | Minggu, 29 September 2013

Ester Pudjo: Banyak yang Mengklaim Pengenalannya Akan Allah, Paling Benar

Ester Pudjo Widiasih, utusan Sinode GKJ untuk mengajar di STT Jakarta. (Foto: Bayu Probo)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Fenomena klaim gegabah tentang kebenaran sejati, merasa diri paling mengenal Allah, diungkapkan oleh Ester Pudjo Widiasih dalam khotbahnya hari ini, dalam kebaktian Minggu (29/9) di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jakarta. Kebaktian pagi ini didedikasikan untuk memperingati 79 tahun Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Dosen Liturgika dan Musik Gereja STT Jakarta ini juga mengajak jemaat untuk terus menggali tentang Allah kepada siapa saja. Bahkan kepada mereka yang bukan Kristen. Berikut ini adalah teks lengkap khotbah berjudul Menggapai Sumur Tanpa Dasar tersebut.

Saya ingin bertanya: “Siapakah yang sudah mengenal Allah? Siapakah yang sudah pernah berjumpa dengan Allah? Siapa yang tahu dengan nama apa saja Allah, Sang Ilahi, disebut oleh orang-orang Kristen di muka bumi ini?

Kalau kita lihat buku Kidung Jemaat, selain Tuhan, Allah bahkan disapa dengan sebutan “Batu Karang yang Teguh, Gembala Baik, Imanuel, Sumber Kasih, Yang Trisuci (KJ 5:2), Maharaja, Surya kehidupan, Sumber suka umat Tuhan (KJ 313:5), Raja,”

Dalam PKJ, Allah disapa sebagai “O Sungai Rahmat, Lautan Rahmat Abadi, Dirus Batin, Yang Rahmani dan Rahimi. Sapaan Allah ini saya kira muncul tidak hanya dari dunia ide antah-berantah atau hanya dari ayat-ayat Alkitab saja, atau pun dari pokok-pokok ajaran gereja saja, tetapi juga dari pengalaman perjumpaan manusia dengan Allah. Dengan kata lain, pengalaman personal berjumpa dengan Allah menolong kita mengenal siapa Allah dengan lebih dalam, yang kemudian dituangkan dalam beragam sapaan untuk Allah.

Allah Batu Karang yang Teguh

Lirik lagu “Batu Karang yang Teguh,” misalnya, ditulis oleh Pdt. Augustus Montague Toplady berdasarkan perjumpaan-Nya dengan Allah, yang dipercaya telah menyelamatkan pendeta dari Inggris tersebut dari hujan badai. Ketika pendeta Toplady sedang dalam perjalanan melewati sebuah lembah sempit yang berbatu-batu, ia diterpa oleh hujan badai besar yang mengharuskannya berlindung di sela-sela bebatuan besar. Pdt. Toplady berhasil pulang dengan selamat.

Dalam perlindungan itulah, ia mengenal Allah yang melindungi seperti batu karang yang kokoh atau teguh. Sang Batu Karang itu bukan hanya melindunginya dari bahaya badai alami, tetapi juga dari badai kehidupan yang disebabkan oleh dosa.

Toplady menuliskan “Batu karang yang teguh,  Kau tempatku berteduh. Karena dosaku berat dan kuasanya menyesak, oh, bersihkan diriku oleh darah lambung-Mu.” Oleh karena pengalaman manusia itu beragam, beragam pulalah pengenalan manusia akan Allah, dan beragam pulalah nama atau pemahaman manusia akan Allah. Sehingga, menurut saya, tepatlah ajaran Islam yang mempercayai ada 99 nama Allah. Mengapa tidak seratus? Satu nama sengaja tidak dituliskan untuk memberi tempat bagi nama-nama baru.

Banyak yang Mengklaim Pengenalannya akan Allah Paling Benar 

Sayangnya, begitu banyak orang beragama yang mengaku telah mengenal siapa Allah dan mengklaim pengenalannya itulah yang paling benar. Nama Allah dipertentangkan dengan begitu sengit, sampai-sampai menjadi hukum negara.

Misalnya, di Malaysia, negara mengatur bahwa nama Allah hanya boleh digunakan oleh umat Muslim. Umat beragama lain tidak boleh menggunakannya. Bahkan, ada sekelompok orang Kristen di Indonesia juga menentang penggunaan nama Allah yang berasal dari bahasa Arab dan memilih nama Yahweh, yang berasal dari bahasa Ibrani, meskipun orang Yahudi pemilik bahasa Ibrani, tidak berani menyebutkan nama Yahweh.

Jawaban atas pertanyaan siapa Allah sering menyebabkan perdebatan bahkan konflik, karena jawaban itu menentukan kebenaran yang dimiliki oleh kelompok yang bersangkutan. Sayangnya, apabila sekelompok orang merasa memiliki pengetahuan yang benar atau bahkan paling benar tentang Allah dan cara beragama, maka mereka merasa harus membela Allah mereka, sehingga akan membela mati-matian kebenaran tersebut.

Kelompok lain yang dianggap tidak memiliki kebenaran sejati harus ditekan atau kalau perlu dimusnahkan, apabila mereka tidak mau mengakui kebenaran utama tersebut. Inilah yang sering kita saksikan terjadi dalam masyarakat kita, atau bahkan dalam gereja-gereja kita. Sikap yang menganggap kelompoknya memiliki kebenaran yang absolute, sayangnya cenderung tidak mau menghormati pengenalan orang lain akan Allah, apalagi menghargai keberagaman kebenaran.

Kita Tidak Bisa Mengklaim Telah Mengenal Allah Seutuhnya

Berdasarkan Yesaya 55:8-9 dan Roma 11:33-36, seharusnya kita justru menolak pemahaman dan praktik beragama yang mengklaim bahwa seseorang dapat mengerti Allah secara absolute atau utuh. Dan, bahwa Allah dapat ditempatkan dalam kotak-kotak hasil pemikiran manusia yang cenderung sempit.

Bagaimana mungkin Allah yang menciptakan kita dimengerti sepenuhnya oleh manusia, ciptaan-Nya? Bagaimana mungkin Allah yang Mahatakterbatas dapat diungkapkan sepenuhnya dalam bahasa manusiawi yang serba cethek (dangkal)?

Menghadapi bangsa Israel yang tegar tengkuk dan maunya sendiri, tetapi yang terus mengalami kasih Allah yang tak terbatas, Yesaya berjumpa dengan Allah yang berkata: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku,… Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Apa yang dirancang Allah berbeda dengan rancangan manusiawi. Jalan Allah pun berbeda dari jalan manusia.

Rasul Paulus pun mengaku betapa “dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!” Tidak ada seorang pun yang dapat menyelami jalan Allah dan mengetahui pikiran Allah. Mboten wonten! Sebab apa? “Sebab segala sesuatu adalah dari Allah, dan oleh Allah, dan kepada Allah.” Allah adalah Sumber dari segala yang ada di bumi dan di seluruh jagad raya.

Kesimpulan Rasul Paulus ini bukanlah hasil perenungannya pada suatu malam ketika dia bersemedi. Bukan! Rasul Paulus tiba pada pengakuan akan ketidakmampuan manusia menangkap sepenuhnya siapa Allah justru melalui perjumpaannya secara pribadi dengan Allah dalam perjalanannya menuju Damaskus. Perjumpaan ini mengubahnya 180 derajat: dari orang yang membenci Yesus dan para pengikut-Nya, menjadi seorang pekabar Injil Yesus Kristus yang taat. Perjumpaan ini pulalah yang membuatnya terkagum-kagum akan kasih Allah yang tanpa batas dan atas pribadi Allah yang tak terselami oleh pikiran manusia. Bagaimana mungkin seorang pendosa besar yang telah membunuh sesama manusia, dijumpai oleh Allah yang menyatakan kasih dan penyelamatan untuk dirinya?

Manusia Tidak dapat Mengenal Allah Secara Penuh

Ketidakmampuan manusia untuk mengenal Allah secara penuh diakui pula oleh seorang Bapa Gereja: Uskup Agustinus dari Hippo yang hidup sekitar abad ke-5. Pada suatu hari, Santo Agustinus sedang berjalan-jalan di pantai sambil berpikir keras untuk merumuskan pemahamannya tentang Trinitas. Kemudian ia melihat seorang anak kecil yang sedang sibuk berlari hilir-mudik memindahkan air laut ke dalam sebuah kubangan kecil di pasir pantai.

Uskup itu pun bertanya, “Nak, apa yang sedang engkau perbuat?” Si anak menjawab, “Tidakkah bapak lihat, saya sedang memindahkan air laut ke dalam kubangan ini?” Sang uskup menjawab, “Nak, bukankah itu suatu hal yang mustahil?” Si anak menjawab, “Oh, tentu saja aku bisa. Aku akan mengosongkan air laut dan memindahkannya ke kubangan ini lebih cepat dari pada bapak uskup mendapatkan jawaban akan misteri Trinitas!” Seiring dengan perkataan itu, si anak pun lenyap dari pandangan. Mengertilah Agustinus, bahwa anak tadi adalah utusan Allah yang mau mengatakan bahwa tidak mungkin baginya untuk memahami Allah sepenuhnya. Allah adalah misteri.

Usaha Mengenal Allah seperti Menggapai Sumur Tanpa Dasar

Bambang Subandrijo, seorang dosen Perjanjian Baru dari STTJ yang adalah utusan GKJ, mengumpamakan upaya pengenalan akan Allah seperti menggapai sumur tanpa dasar.  Ketika seseorang merasa sudah akan sampai di dasar sumur, ternyata masih dalam lagi dasarnya. Ketika ia sudah merasa sampai pada dasar itu, ternyata masih dalam lagi sumurnya, begitu seterusnya. Penggapaian dasar sumur itu tidak akan pernah tercapai.

Namun, janganlah kita kemudian pesimis malah patah hati. Allah yang Mahatakterbatas itu tidak membiarkan ciptaan-Nya clueless atau tanpa tanda. Allah berinisiatif menyatakan diri-Nya melalui berbagai macam jalan dan cara. Ia menyatakan diri-Nya dalam alam, dalam perjumpaan kita dengan orang-orang berhikmat, dalam pembacaan Alkitab, khotbah, dalam ibadah, dan terlebih lagi dalam diri Tuhan Yesus Kristus.

Allah yang Mahatakterbatas pada suatu kali membuat diri-Nya terbatas dalam kedagingan manusia. Menurut Paulus, Yesus dari Nazaret adalah gambar atau ikon Allah, penyataan diri Allah. Melalui Tuhan Yesus Kristus kita melihat kuasa, kehendak, hadirat serta rencana penyelamatan Allah bagi manusia. Namun, karena Yesus Kristus adalah Allah sendiri, kita pun tidak akan dapat mengenal-Nya dengan sempurna. Rasul Paulus mengakui bahwa ia pun belum dapat mengenal Yesus Kristus dengan sempurna (Flp 3:12). Ia berkali-kali menegaskan bahwa “seluruh umat percaya masih berada dalam pengharapan dan terus berjuang dalam masa penantian menuju kesempurnaan.” Baru, setelah kita berjumpa dengan Tuhan Yesus muka dengan muka, kita akan dapat mengenal-Nya dengan lebih baik. Sebelum hal itu terjadi, kita seperti berjumpa melalui cermin saja. Atau, kita hanya berjumpa dengan bayangan Allah. Dan Allah yang sesungguhnya, tentunya lebih besar dan lebih sempurna dari bayangan-Nya yang terlihat di cermin.

Ajakan untuk Terus Mengenal Allah

Jika demikian, bagaimana kita harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari?

  1. Marilah, kita menjadi seseorang dan sebuah gereja yang rendah hati, yang mau terus belajar tentang Allah dari sekeliling kita, dari orang lain, bahkan dari orang-orang yang bukan Kristen. Janganlah kita merasa telah mengenal Allah dengan sempurna, atau mempunyai kebenaran tentang Allah yang absolute, sehingga dengan cepat kita mengotak-ngotakkan orang dengan label yang selamat dan tidak selamat. Pengenalan saya tentang Allah justru diperdalam melalui perjumpaan kita dengan orang-orang yang berasal dari berbagai macam tradisi kekristenan dan dengan orang-orang non-Kristen.
  2. Marilah, kita membuka diri bagi orang lain yang berbeda dari kita. Saya tidak tahu apa visi dan misi GKJ Jakarta, tetapi saya harapkan salah satunya adalah menjadi komunitas yang inklusif, yang membuka tangannya bagi siapa saja. Sering karena gereja merasa mempunyai kebenaran yang sejati, gereja tidak mau menerima orang-orang “yang dianggap berdosa” sebelum mereka “bertobat atau mengikuti aturan gereja.” Betapa banyak orang-orang yang merasa sendiri, karena disingkirkan oleh masyarakat dan agama: para pekerja seksual komersial, saudari/a kita yang berorientasi seksual yang berbeda dari kelaziman masyarakat, yaitu gay, lesbian, transgender, atau yang dikenal dengan nama LGBTIQ (lesbian/gay/bisexual/transgender/intersexed/questioning) , para perempuan yang hamil di luar nikah yang memilih untuk membesarkan anaknya seorang diri, atau orang-orang miskin yang tinggal di kolong jembatan. Saya sangat bangga dengan upaya GKJ Jakarta untuk menolong orang-orang yang dilanda bencana tanpa memandang latar belakang mereka. Tapi, tentunya masih ada lagi golongan masyarakat yang disingkirkan. Mari, kita rangkul mereka dengan kasih.
  3. Marilah, kita selalu menyadari hidup kita ini sebagai perjalanan ziarah.  Kita belum mencapai titik akhir yang sempurna. Namun, hidup kita ini adalah juga hidup yang dirahmati oleh Allah. Oleh karena itu, marilah kita arahkan pandangan kita hanya pada Allah. “Allah memang tak terpahami, namun tetap membuka diri untuk disapa melalui Kristus dalam Roh Kudus. Ia memang tak dapat digenggam oleh akal budi manusia, namun mengizinkan diri disentuh oleh iman. Dan hidup yang terarah pada Allah semacam inilah yang membuat hidup jadi bermakna, patut diperjuangkan serta pantas dibagikan kepada dunia.”
  4. Dalam upaya pengenalan akan Allah dan memberitakan siapa Allah bagi dunia, STT Jakarta didirikan. Upaya pendidikan di STT Jakarta menjadi penting, karena dengan segala kemampuan kami dan dengan pertolongan Allah, kami berusaha mendidik calon pewarta Injil yang berani menyuarakan Kristus Sang Jalan Kehidupan, calon pemimpin jemaat yang berani menegur gereja yang kerap tanpa sadar kehilangan orientasi hidupnya, calon gembala yang menghibur mereka yang telah dengan setia memusatkan hidup pada Allah walau harus menjalani derita dan mendampingi warga gereja dalam menjalani perjalanan memaknai kehidupan yang tak pernah tuntas itu, serta calon hamba Allah yang mau merangkul orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat dan yang bersedia membuka diri pada orang-orang yang berbeda kepercayaan. Oleh karena itu, saya mengajak kita semua untuk peduli pada upaya pendidikan teologi dengan mendukung STT Jakarta dalam doa, pemberian ide-ide atau usulan pengembangan, dukungan financial, dan segala partisipasi yang dapat diberikan oleh kita di tempat ini. Pada kesempatan kali ini, saya mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar GKJ Jakarta yang sudah sering membantu STT Jakarta dengan mengutus dosen untuk mengajar, memberikan sumbangan dana, mengirimkan warganya untuk bersekolah di kampus kami (saya salah satu di antaranya), mengikuti berbagai kegiatan pembinaan di kampus, dan partisipasi lainnya. Kiranya, kerjasama kita akan terus berlangsung demi kemuliaan Allah.

Kiranya Roh Kudus menolong kita.

Bacaan Alkitab: Yesaya 55:8-9, Roma 11:33-36

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home