Loading...
FLORA & FAUNA
Penulis: Sotyati 18:45 WIB | Selasa, 10 Mei 2016

Ganyong, Sumber Pati yang Terancam Punah

Ganyong (Canna discolor, Lindl.). (Foto: himatipan.ftip.unpad.ac.id)

SATUHARAPAN.COM –  Ganyong, yang memiliki nama ilmiah Canna discolor Lindl., atau dikenal juga dengan nama sinonim Canna edulis, Kerr., termasuk dalam umbi-umbian yang memiliki kandungan pati tinggi. Namun, ganyong kalah populer dibandingkan ubi kayu atau singkong, dan ubi jalar.

Umbi-umbian merupakan bahan berkarbohidrat tinggi, tetapi di Indonesia belum semua umbi-umbian dimanfaatkan dan dikembangkan. Ganyong, suweg, dan gembili, termasuk di antara umbi-umbian yang belum banyak dimanfaatkan dan dikembangkan. Bahkan kelestariannya terancam karena tidak banyak lagi orang yang menanamnya, apalagi mengkonsumsinya.

Ganyong, seperti ditulis Entjo Sukarsa, dikutip dari situs Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang, bbpp-lembang.info, 24 Agustus 2010, adalah tanaman ubi-ubian yang  dapat dimakan dan kebanyakan digunakan sebagai makanan cadangan.

Ganyong adalah tumbuhan tahunan, tegak, tumbuhan herba yang kuat, dengan tinggi mencapai 3,5 meter. Umbinya bercabang horizontal, mencapai panjang 60 cm, diameter 10 cm, dengan segmen berdaging membentuk balon, ditutupi daun tipis, dan akar tebal yang berserat.

Daunnya teratur secara spiral, dengan kuncup besar yang terbuka. Tulang daunnya nyata, bagian bawah agak keunguan.

Bunganya berwarna merah kekuningan. Buahnya berbentuk kapsul yang solid seperti telur. Bijinya banyak, berbentuk bulat, diameter 0,5 cm, licin dan keras, warna kehitaman sampai sangat cokelat tua.

Ganyong tumbuh baik sampai ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, di daerah dengan distribusi curah hujan 1.000-1.200 mm per tahun. Ganyong dapat tumbuh subur di berbagai macam tanah, termasuk tanah marginal bagi kebanyakan tanaman umbi. Tanah yang disukai adalah lempung berpasir dan kaya humus.

Wikipedia menyebutkan tumbuhan yang masih berkerabat dengan kana hias ini berasal dari Amerika Selatan. Bangsa Spanyol memberikan perhatian pertama kali pada tumbuhan yang memiliki nama lokal achira ini pada 1549, ketika melihat warga di Lembah Chuquimayo, di Provinsi Jaén, Peru, menanamnya bersama ubi jalar (Ipomoea batatas), singkong (Manihot esculenta), dan racacha (Arracacia xanthorrhiza), untuk makanan pokok.

Tumbuhan ini kemudian dikenal dengan banyak nama, sesuai daerah penyebarannya. Selain achira, nama dari daerah asalnya, dalam bahasa Inggris tumbuhan ini dinamakan arrow root dan indian shot. Nama lainnya adalah ganyong (Jawa, Sunda), buah tasbeh (Jawa), ubi pikul (Sumatera), daun tasbeh, ganyong, pisang sebiak (Malaysia).

Manfaat Ganyong

Di era modern ini, ganyong tidak banyak dibudidayakan untuk makanan pokok. Namun, pada dekade 60, seperti dikutip dari Wikipedia, ganyong atau achira masih dibudidayakan sebagai tanaman makanan pokok di Provinsi Paruro di wilayah hulu Sungai Apurimac di dekat Cusco, Peru. Di daerah berketinggian 2.600 meter itu, ganyong dibudidayakan dan menjadi santapan penting selama berlangsungnya Festival Corpus Christi pada bulan Mei atau Juni. Umbi dibungkus dengan daun ganyong dan dipanggang di atas batu.

Selain dipanggang atau dibakar, ganyong dikonsumsi dengan cara direbus atau dikukus.

Ganyong merupakan salah satu bahan pangan nonberas yang bergizi tinggi terutama kandungan kalsium, fosfor, dan karbohidrat. Data Direktorat Gizi Depkes RI 1981, seperti dikutip dari penelitian Nessya Damayanti, di ftpunisri.blogspot.co.id, menyebutkan kandungan gizi ganyong tiap 100 gram secara lengkap terdiri atas kalori 95,00 kal; protein 1,00 g; lemak 0,11 g; karbohidrat 22,60 g; kalsium 21,00 g; fosfor  70,00 g; zat besi  1,90 mg; vitamin B1 0,10 mg; vitamin C 10,00 mg; air 75,00 g; bagian yang dapat dimakan 65,00 persen.

Selain dikonsumsi umbinya, seperti ditulis Entjo Sukarsa, tanaman muda dimakan sebagai sayuran hijau. Daunnya digunakan sebagai pembungkus atau alas makan. Daun dan umbinya bisa digunakan sebagai pakan sapi.

Di Vietnam, ganyong diolah menjadi tepung pati, yang kemudian dijadikan bahan baku pengganti kacang hijau dalam pembuatan mi bening (soun) berkualitas tinggi. Di Kamboja, bubur umbi yang dididihkan digunakan sebagai obat penyakit kulit tropis.

Di Hong Kong, umbi yang telah hancur dididihkan digunakan untuk mengobati hepatitis akut. Di Filipina, umbi yang telah dihancurkan, direndam dan dihancurkan, dilembutkan di dalam air, digunakan untuk menghilangkan mimisan.

Di Jawa, biji ganyong dihancurkan dan digunakan sebagai luluran untuk menghilangkan sakit kepala. Sari umbi hasil ekstraksi digunakan untuk mengobati diare.

Sampai saat ini, seperti ditulis Entjo Sukarsa, tanaman ganyong belum diusahakan secara serius dan intensif, padahal memberikan harapan untuk menunjang program diversifikasi pangan dan gizi, memanfaatkan lahan kosong dan meningkatkan ketahanan pangan.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home