Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 00:41 WIB | Sabtu, 01 April 2017

"Hakim Sarmin", Ketika Keadilan dan Kegilaan Sulit Dibedakan

Pementasan Hakim Sarmin oleh Teater Gandrik di Concert hall Taman Budaya Yogyakarta, Kamis (30/3) malam. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Selama hampir dua setengah jam, Teater Gandrik mementaskan lakon Hakim Sarmin di Concert hall Taman Budaya Yogyakarta, 29-30 Maret 2017. Naskah garapan Agus Noor dan disutradarai oleh Djaduk Ferianto mengangkat realitas kehidupan bernegara, ketimpangan jalannya sistem peradilan, persekongkolan hukum dan kekuasaan dalam menguasai sumber-sumber penghidupan dan juga kekuasaan yang dikemas dalam sebuah pertunjukan yang ringan, kontekstual, satire-komedi, untuk mengingatkan wajah hukum-kekuasaan ketika berada dalam genggaman kepentingan pribadi-golongan.

Cerita berkisah pada tiga tokoh sentral dokter Manawi Diparani, Hakim Sarmin, serta pimpinan wilayah Mangkane Laliyan yang berebut pengaruh dalam melanggengkan kekuasaan dan melindungi kepentingannya ditengah karut-marut kondisi kehidupan perpolitikan dan bernegara yang dipenuhi dengan intrik-intrik dan persekongkolan.

Mengambil latar sebuah pusat rehabilitasi jiwa, cerita diawali dengan krisis hakim yang memilih masuk dalam panti rehabilitasi untuk menghindari "pembersihan" oleh penguasa. Para hakim lebih memilih menjadi "gila" agar tidak terkena sanksi hukum serta permainan politik penguasa.

Pusat rehabilitasi yang dipimpin oleh Dokter Manawi Diparani, diperankan oleh Susilo Nugroho, sesungguhnya adalah proyek Manawi Diparani untuk menguasai hakim-hakim yang ada. Dengan demikian, Manawi Diparani berkesempatan mendapatkan dana program rehabilitasi sekaligus dana proyek pengembangan dalam jangka panjang. Dengan menyatakan dalam sebuah sandiwara bahwa hakim-hakim yang mengalami kegilaan perlu mendapatkan rehabilitasi, hakim-dokter menjalin simbiosis saling menguntungkan dan saling melindungi kepentingannya dengan mengatasnamakan "Demi Bangsa dan Negara".

Penguasa wilayah Mangkane Laliyan, diperankan Djaduk Ferianto, mencium adanya persekongkolan antara hakim-dokter di dalam pusat rehabilitasi akhirnya menyusupkan hakim Ngatimin untuk melihat kondisi sebenarnya. Persekongkolan itu hanya diketahui oleh Hakim Sarmin dan Dokter Manawi Diparani, bahkan seluruh pegawai dan perawat pusat rehabilitasi pun tidak ada yang mengetahuinya.

Kelindan keadilan dan kegilaan dalam kekuasaan

Tanpa sepengetahuan dokter Manawi, hakim Sarmin pun sesungguhnya menggalang kekuatan dengan sesama hakim di dalam pusat rehabilitasi. Penggalangan tersebut untuk menyingkirkan dokter Sarmin maupun Mangkane Laliyan dengan memanfaatkan situasi konflik yang terjadi: meskipun terjalin simbiosis yang seolah saling menguntungkan, sesungguhnya di antara mereka bersiap untuk saling menyingkirkan dalam rangka mengangkangi kekuasaan. Dengan skenario yang disusun sendiri-sendiri ataupun memanfaatkan yang lain.

"Saya siap mengambil resiko. Nama baik saya. Karir saya. Reputasi saya. Ndak masalah saya dianggap gila. Meskipun awalnya saya sempat marah saat dimasukkan ke pusat rehabilitasi Sumber Waras ini. Inilah cara terbaik untuk melakukan revolusi keadilan. Dengan dianggap gila, saya mendapat kesempatan untuk memperjuangkan keadilan sejati demi tegaknya hukum di negeri ini. Demi bangsa dan negara." kata hakim Sarmin di hadapan koleganya di dalam pusat rehabilitasi.

Bisa dibayangkan, ketika gila dan kegilaan digunakan sebagai topeng untuk bersiasat menguasai hukum, sistem peradilan, keadilan, dan pada akhirnya kekuasaan itu sendiri. Gila dan kegilaan seolah tidak memiliki konsekuensi hukum apapun.

"Kebenaran itu hanya ada satu. Kebenaran adalah kebenaran. Tidak lebih. Tidak kurang. Kecuali soal bayaran. Sementara bagi mereka, kebenaran tergantung pada kepentingan dan keadaan. Inilah penyakit masyarakat kita. Makanya, kita perlu melakukan revolusi. Revolusi hukum yang berkeadilan." kata hakim Sarmin yang berdiri pada dua pijakan kepentingan.

"Kita memang hidup dalam masyarakat yang kehilangan akal sehat. Masyarakat yang tidak waras. Hukum adalah cermin masyarakat. Kalau ada hakim gila berarti masyarakatnya lebih gila. Kalau ada hakim gila itu pasti hidup di tengah masyarakat yang gila. Sebab hakim yang gila hanya mungkin dilahirkan oleh masyarakat yang gila."

Kritik pun tidak terhenti pada jalannya hukum dan sistem peradilan yang semuanya seolah bisa diatur. Perselingkuhan legislatif-eksekutif-yudikatif dalam pilar negara "trias corruptica" yang terjadi justru koruptor tidak boleh dimiskinkan untuk tidak menambah angka kemiskinan yang sudah tinggi. Manekin-manekin hakim seolah menjadi gambaran bahwa hakim-hakim yang ada tidak lebih dari kumpulan boneka kepentingan.

Dengan rapi Agus Noor menggarap dialog antara dokter Manawi  dengan hakim Sarmin ataupun dengan Mangkane Laliyan, dan tokoh-tokoh cerita lainnya dalam membuka masing-masing persekongkolan yang terjadi. Humor-satire menjadi salah satu cara membongkar kebohongan. Pada titik inilah, Agus Noor mencoba membangun dan menjaga kesadaran serta kewarasan sekaligus mengkoreksi kekeliruan yang terjadi.

Kejelian Djaduk dalam mengemas pertunjukan dengan menggabungkan operet, teater, dalam iringan musik dan tari khas Teater Gandrik secara live menjadi warna lain pertunjukan Hakim Sarmin yang penuh satire-humor yang menohok. Di sesi terakhir Djaduk menambahkan paduan suara dalam format panembromo dengan tembang berbahasa Jawa, sebuah tawaran lain yang selama ini paduan suara dalam sebuah pertunjukan teater sering mengacu pada paduan suara ciri khas opera.

Di bagian akhir cerita, sebuah lagu berjudul Ibu Pertiwi karya Ismail Marzuki mengingatkan bahwa negeri sedang menanggung lara ketika hukum dan keadilan tidak bisa berjalan dan dijalankan dalam kewarasan akal sehat.

Ditengah kabar-berita yang tersaji di berbagai media, ketika tayangan sinetron dan komedi situasi dari berbagai stasiun televisi yang hanya menyentuh permasalahan yang dangkal dalam kehidupan sehari-hari dan terhenti sebatas hanya hiburan, ataupun panggung politik yang dipenuhi hingar-bingar perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, improviasi dan spontanitas Teater Gandrik dalam lakon "Hakim Sarmin" memiliki daya ledek dalam menertawakan dirinya sendiri yang cukup besar sekaligus mengingatkan realitas kehidupan bernegara yang karut-marut dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.

Ketika kegilaan dan keadilan sulit dibedakan, sekalipun esok langit runtuh mereka akan terus berjuang agar kegilaan tetap ditegakkan. Affuuu...

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home