Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 18:39 WIB | Senin, 19 Januari 2015

HRWG & YLBHI: Eksekusi Mati, Negara Putus Asa

Mobil ambulans yang membawa jenazah terpidana mati Daniel Enemuo melintas di Dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (18/1) dini hari. Eksekusi mati terhadap lima terpidana mati dilakukan di lapangan tembak Liwus Buntu, Nusakambangan pada Minggu (18/1) pukul 00.30 WIB. Satu dimakamkan di Nusakambangan, Dua dikremasi di Banyumas dan dua lainnya dikembalikan kepada keluarganya. (Foto: dok.satuharapan.com/Antara)

SATUHARAPAN.COM – Pelaksanaan hukuman mati kepada enam terpidana pada Minggu (18/1) membuat prihatin berbagai organisasi non-pemerintah. Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut ini bentuk keputusasaan negara.

Dalam siaran pers yang ditandatangani Rafendi Djamin (Direktur Eksekutif HRWG) dan Alvon Kurnia Palma (Direktur YLBHI), mereka menyatakan keprihatinan atas eksekusi enam orang terpidana mati. Keprihatinan ini bukan pembelaan atau pembenaran terhadap perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana, melainkan keprihatinan atas hak hidup yang dijamin oleh Konstitusi, yang tidak boleh dicabut atau bahkan dikurangi oleh negara dalam keadaan apa pun.

Mereka menganggap eksekusi ini bukan keberhasilan Negara (Presiden, Jaksa Agung, Kepolisian dan Mahkamah Agung RI) dalam penegakan hukum. Namun, tanda negara putus asa. Sebab, menurut HRWG dan YLBHI, eksekusi ini adalah tanda negara tidak mampu membongkar mafia dan jaringan penjahat narkoba yang sering melibatkan aparat penegak hukum sendiri, dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Negara juga dianggap tidak mampu memperbaiki para terpidana sehingga harus dihukum mati.

Lebih dari itu, penahanan untuk masa waktu yang sangat lama dalam menanti ketidakpastian apakah hukuman mati akan dilakukan terhadap dirinya merupakan bentuk penyiksaan psikologis dan fisik, hingga akhirnya satu persatu para terpidana mati dieksekusi tanpa diberi ampun oleh Presiden.

Ingkari Kovenan Internasional

Eksekusi ini tidak patut menjadi sebuah kebanggaan sebagai bangsa dan negara. Sebab, akan memperburuk citra Indonesia di level ASEAN dan internasional. Eksekusi ini bentuk pengingkaran terhadap komitmen legal negara terhadap tanggung jawab HAM internasional sebagai negara yang mengakui Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Dalam konteks diplomasi luar negeri, penolakan Pemerintah Indonesia atas permintaan penundaan hukuman mati untuk mencari keadilan oleh pimpinan Negara sahabat, seperti yang telah dilakukan oleh Brasil dan Kerajaan Belanda dengan melakukan komunikasi langsung melalui telepon dengan Presiden RI Jokowi, merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan tata krama diplomasi dengan Negara-negara tersebut. Akibatnya, hal ini tentu merugikan marwah dan martabat bangsa Indonesia di mata dua negara tersebut, bahkan di mata dunia. Padahal, Brasil adalah Negara yang mewakili “hubungan internasional Selatan-Selatan” dan mitra dalam memajukan demokrasi dan HAM di tingkat global. Demikian juga dengan Kerajaan Belanda, Negara ini telah mewakili hubungan Indonesia dengan kawasan Eropa, hubungan yang telah mencapai tahap saling menghargai sebagai dua negara berdaulat dan merdeka.

Secara politik dan diplomasi Indonesia ke depan, eksekusi hukuman mati ini jelas akan menyulitkan Indonesia dalam membebaskan buruh migran warga negara Indonesia (WNI) dari jeratan hukuman mati yang banyak terjadi di luar negeri, karena sikap tak acuh pemerintah Indonesia terhadap permintaan Negara sahabat juga akan menjadi contoh bagi Negara-negara lain yang memiliki daftar WNI yang akan dihukum mati.

Desakan HRWG dan YLBHI

Berdasar itu, HRWG dan YLBHI mengecam tindakan Presiden dan Jaksa Agung yang menjadikan eksekusi mati ini sebagai komoditas politik. Ini terkait penolakan masyarakat atas penunjukan H.M. Prasetyo sebagai Jaksa Agung karena ia dianggap tidak mempunyai rekam jejak membanggakan sebagai Jaksa. Hal ini sangat memalukan, mengingat pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerapkan moratorium hukuman mati.

Karena itu HRWG dan YLBHI—merujuk pada eksekusi mati yang baru dilakukan ini— sangat meragukan komitmen Presiden Joko Widodo apabila ada WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Karena, sangat tidak masuk akal atau malah akan memalukan diri sendiri apabila Presiden Joko Widodo meminta presiden negara lain untuk mengampuni WNI yang akan dihukum mati di negara tersebut. Sebab, Presiden Joko Widodo sendiri mengeksekusi warga negara asing di negaranya.

HRWG dan YLBHI mendesak penghentian rencana eksekusi untuk terpidana mati yang lain, melakukan pemeriksaan ulang pada setiap kasus terpidana mati dalam rangka menghindari kesalahan prosedural dan substantif dalam proses jatuhnya pidana mati.

Juga, mengkaji ulang kebijakan pelaksanaan eksekusi dan melakukan langkah-langkah komprehensif dalam membongkar mafia peradilan dan jaringan narkoba.

Selain itu, melakukan langkah-langkah diplomatik dalam rangka memperbaiki hubungan dengan komunitas internasional khususnya dengan pemerintah Brasil dan Kerajaan Belanda guna mengembalikan hubungan baik dan kerja sama antarnegara dan rakyat sebagai Negara yang berdaulat, merdeka dan menghargai HAM.

HRWG dan YLBHI juga mendesak Mahkamah Agung dan seluruh pemimpin peradilan di Indonesia untuk mencabut surat edaran Mahkamah Agung tentang pengajuan PK satu kali yang berpotensi menghilangkan hak setiap orang untuk mendapatkan keadilan.

Juga, meninjau kembali penerapan hukum positif di Indonesia yang memasukkan kejahatan narkoba sebagai bagian dari most serious crime sesuai dengan ketentuan tanggung jawab HAM international Indonesia sebagai Negara pihak konvenan HAM Internasional Hak Sipil dan Politik, serta ketentuan UN Office on Drugs and Crime (UNODC). 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home