Loading...
ANALISIS
Penulis: Eben Ezer Siadari 14:51 WIB | Sabtu, 17 Januari 2015

Ideologi Ekonomi Jokowi, Adakah?

Para relawan pendukung Jokowi berfoto bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara beberapa saat setelah dirinya menjadi presiden RI. Kelas menengah masyarakat mandiri menjadi konstituen inti Jokowi yang aspirasinya paling banyak didengar olehnya. (Foto: akun twitter WSJIndonesia)

JAKARTA, SATUHARAPAN. COM - Pertanyaan ini tentu berlaku hanya jika kita mengandaikan bahwa ideologi adalah sebuah praksis. Ideologi tidak berhenti pada gagasan atau dokumen. Ideologi ekonomi Presiden Joko Widodo yang kita ingin peroleh jawabannya ialah gagasan-gagasan presiden ketujuh Indonesia itu yang mengejawantah dalam kebijakan-kebijakan serta hasil-hasilnya yang tampak pada perekonomian dalam 100 hari bekerjanya Kabinet Kerja.  

Apa kira-kira ideologi yang dapat kita katakan telah menjadi batu penjuru keputusan-keputusannya dalam memimpin negara ini, sejauh ini? Dari mana ia mendapatkan gagasan-gagasan itu? Konstituen mana yang paling ia dengarkan atau paling dia anggap merupakan representasi rakyat Indonesia?

November lalu Presiden Joko Widodo selaku presiden mengambil keputusan untuk mengurangi subsidi  bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Belakangan, mengikuti tren penurunan harga minyak dunia, ia menghapus sama sekali subsidi BBM umum, atau yang kita kenal selama ini sebagai premium. Kemarin, Jumat  (16/1) ia mengumumkan penurunan harga BBM umum menjadi Rp 6.600.

Cukup jelas kesan bahwa ia memutuskannya bukan didasarkan pada ideologi PDI Perjuangan, partai dari mana ia berasal.  Suara di dalam PDI Perjuangan cukup kentara menentang keputusan Jokowi, terutama dari para politisi yang memiliki konstituen akar rumput. Mereka menganggap bahwa subsidi BBM merupakan bagian tak terpisahkan dari peran negara dalam meningkatkan kesejahteraan warganya. Tokoh partai seperti Effendi Simbolon, Rieke Dyah Pitaloka, dan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo dapat dikatakan merupakan representasi partai yang mewakili aspirasi akar rumput itu.

Dapat dipastikan, perumusan langkah menaikkan harga BBM November lalu dibahas dan dimatangkan pada hari-hari ketika Presiden dalam perjalanan di luar negeri, yaitu di Tiongkok, Myanmar, dan Australia. Kuat kesan bahwa Jokowi dengan sengaja mengambil jarak dari kubu akar rumput di dalam partainya. Ia menghindari perdebatan ideologis seraya mengemukakan argumen-argumen pragmatis.

Berkali-kali ia menjelaskan kebijakan menaikkan harga BBM dengan memakai indikator-indikator pembangunan ekonomi yang lazimnya dikemukakan para teknokrat, yang mengingatkan kita pada era developmentalisme di masa Soeharto. Indikator-indikator seperti seberapa banyak bendungan yang dapat dibangun dari subsidi BBM yang setiap hari hangus sia-sia di jalan raya, defisit ganda yang terjadi (defisit neraca pembayaran dan defisit neraca perdagangan) akibat impor BBM yang terus menggunung, adalah argumen-argumen yang diulang-ulang untuk menjelaskan rasionalitas menaikkan harga BBM. Tidak ada lagi jargon-jargon populis. Masa kampanye memang sudah lewat. Polemik tentang peran negara dan tuduhan dirinya sebagai penganut neo liberalisme berusaha ia hindari.

Melangkah Bersama

Mengapa Jokowi mengambil keputusan yang tidak populer, kendati harus diakui banyak mendatangkan pujian pengamat asing dan disebut sebagai historis dalam kebijakan energi di Tanah Air?

Paling tidak ada dua hipotesis yang dapat dikemukakan. Pertama, walaupun dikenal sebagai politisi yang populis, Jokowi dalam menjalankan kepemimpinan publiknya sejauh ini menempatkan konstituen bukan semata sebagai massa pemberi mandat berkuasa bagi dirinya. Ia juga menghayati bahwa mandat yang dipegangnya bukan untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi konstituen. Jokowi sebagaimana berkali-kali ia katakan dan juga sudah ia praktikkan sebagai wali kota Solo, menempatkan rakyat sebagai mitra atau kawan seperjalanan. Dalam hubungan yang demikian, rakyat dilibatkan bahkan berbagi tanggung jawab mengambil keputusan untuk kemudian berjalan bersama melaksanakannya.

Pilihan menaikkan harga BBM disadarinya membawa konsekuensi pahit. Namun, pada saat yang sama, ia tampaknya yakin jika rakyat mendapat penjelasan yang cukup, resistensi terhadap kenaikan harga BBM dapat dikelola. Jokowi mengatakan rakyat harus dapat diyakinkan bahwa ini merupakan konsekuensi dari cita-cita untuk membangun kemaslahatan bersama.

Kedua, selama bertahun-tahun belakangan ini, suara yang paling keras menyuarakan pencabutan subsidi BBM umumnya adalah kelas menengah masyarakat sipil mandiri. Mereka ini adalah kaum yang semakin hari  merasa tidak puas dengan birokrasi yang terkesan semena-mena menggunakan anggaran, padahal sebagian besar berasal dari pajak yang mereka bayarkan.

Kelas menengah masyarakat sipil mandiri ini dengan kecanggihan teknologi informasi yang tersedia dan kapasitas intelektual yang mereka miliki, semakin menyadari bahwa pengelolaan kebijakan publik semestinya dapat berjalan lebih baik. Terbukti dari kiprah sejumlah pemimpin nonbirokrat yang berhasil melakukan turn around di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun di beberapa pemerintahan daerah. 

Kelas menengah msyarakat sipil mandiri ini semakin hari semakin besar jumlahnya dan tidak lagi hanya meliputi para intelektual-profesional melainkan juga menjalar ke kalangan usahawan. Determinasi mereka dalam menentukan agenda diskursus publik semakin tidak terbendung. Mereka semakin canggih dalam menyalurkan aspirasi dalam bingkai people power, termasuk menggugat kebijakan subsidi BBM.

Diakui atau tidak, kelas menengah masyarakat sipil mandiri inilah konstituen inti pendukung Jokowi dalam memenangi Pilpres tahun lalu. Mereka tersebar di luar partai tetapi tidak sedikit juga yang berjuang dari dalam. Spirit kelas menengah yang mereka kobarkan menembus sekat-sekat organisasi maupun ideologi partai apabila dirasakan menghalangi terjadinya perubahan.

Kelas menengah yang tengah kita bicarakan ini sengaja diberi penjelasan tambahan ‘masyarakat sipil mandiri’ untuk menggaris-bawahi bahwa kategori ini bukan mengacu sekadar pada tingkat pendidikan maupun tingkat penghasilan, sebagaimana biasanya pendefenisian yang dilakukan kalangan praktisi pemasaran korporasi dalam melakukan survei terhadap aspirasi konsumen. Kelas menengah yang kita maksudkan di sini adalah kelas menengah yang memiliki aspirasi bahwa birokrasi seharusnya dapat membuat negara ini lebih baik. Mereka tidak melihat birokrasi satu-satunya penentu hidup-matinya suatu bangsa, namun mereka peduli pada sebuah pengelolaan masyarakat madani yang bersih dan transparan.

Kelas menengah masyarakat sipil yang kita maksudkan ini ialah mereka yang mengandalkan penghidupannya kepada kekuatan, keahlian dan keterampilannya sendiri, dalam perspektif negara dan masyarakat yang seharusnya dilayani oleh birokrasi, bukan sebaliknya, warga yang mengabdi kepada birokrasi dan negara.

Pembedaan ini perlu dikemukakan karena sesungguhnya di dalam birokrasi sendiri terdapat kekuatan kelas menengah yang besar apabila diukur dari kapasitas intelektualitas dan tingkat kesejahteraan. Namun, dari fakta reformasi yang sudah berjalan lebih dari satu dekade, kelas menengah birokrasi tampaknya tidak cukup kuat menjadi kekuatan perubahan malahan lebur dalam ritme dan kultur yang seharusnya mereka ubah.

Berjuang dari Luar Birokrasi

Suara kelas menengah masyarakat sipil mandiri ini pula tampaknya yang didengar dengan cermat oleh Jokowi ketika mengambil keputusan yang kontroversial, yaitu moratorium penerimaan PNS mulai tahun 2015. Keputusan moratorium penerimaan PNS tak bisa dibantah merupakan aspirasi utama kelas menengah masyarakat sipil mandiri, yang selama ini telah bosan menyaksikan pertunjukan absurd birokrasi di pusat maupun di daerah.

Birokrasi itu menggurita setiap tahun dengan anggaran yang semakin dominan dalam belanja negara. Ukuran kinerja mereka  ditentukan oleh mereka sendiri dan menguntungkan diri sendiri, kendati untuk menentukannya mereka juga harus sibuk sendiri bahkan memerlukan satu kementerian tersendiri. Yang lebih ironis, apabila ada kebijakan ekonomi yang paling pahit sekalipun, kepentingan birokrasi ini yang paling pertama-tama menjadi pertimbangan untuk dilindungi.

Moratorium penerimaan PNS jelaslah aspirasi kelas menengah sipil mandiri, dan bukan aspirasi utama rakyat akar rumput maupun masyarakat elit. Secara tradisional, karier di birokrasi dengan menjadi PNS adalah tangga mobilitas vertikal bagi sebagian besar masyarakat akar rumput yang memiliki pilihan terbatas. Menjadi PNS dinilai sebagai tangga paling realistis untuk mengangkat derajat hidup. Moratorium penerimaan PNS jelas bukan kebijakan populer di kalangan akar rumput.

Di sisi lain dalam satu dekade lebih reformasi, birokrasi telah pula menjelma jadi incaran kaum elite di desa maupun perkotaan. Ini terutama setelah terbukti bahwa deregulasi yang sempat memunculkan korporasi-korporasi swasta sebagai penggerak ekonomi di era Soeharto, ternyata bukan sandaran yang langgeng. Dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki (uang, jejaring, pengaruh, kekuasaan) elite di desa dan kota, di daerah dan pusat, telah menjadikan birokrasi yang rumit  itu sebagai bagian dari melanggengkan kekuasaan.

Dalam satu dekade terakhir timbul kesan bahwa birokrasi bukan lagi sekadar pertarungan orang-orang berkualitas untuk memberi kemampuan terbaiknya bagi negara. Proses penerimaan PNS telah menjadi perlombaan untuk memiliki kedudukan dan kekuasaan mapan dengan cara apa pun dan karena itu harus dimenangi dengan mempertaruhkan apa pun.

Oleh karena logika birokrasi yang sulit dimengerti, kelas menengah masyarakat sipil mandiri umumnya tidak sabar dan cenderung menghindar dari  birokrasi. Mereka memilih mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Kelas menengah masyarakat sipil mandiri, oleh karena itu, tidak terlalu tertarik menjadi bagian dari birokrasi. Bahkan sebaliknya, walau tidak diakui atau hanya dibicarakan secara diam-diam atau disembunyikan dalam kelakar, mereka juga cenderung menghindar dan membenci birokrasi yang terus cawe-cawe ingin lebih dalam mengurusi urusan mereka. Dengan demikian, kebijakan Jokowi yang memutuskan untuk melakukan moratorium PNS diterima sebagai kebijakan yang tepat.

Premis-premis ini membawa kita pada kesimpulan bahwa kepemimpinan Jokowi sejauh ini merupakan pantulan dari aspirasi kelas menengah masyarakat sipil mandiri yang ingin menempatkan birokrasi dan negara sebagai bagian dari perubahan bersama. Kelas menengah masyarakat sipil mandiri tidak tertarik dan tidak mau mengikatkan diri pada mazhab-mazhab ideologi tertentu. Mereka mengandalkan akal sehat pragmatis dan kritis. Sebuah kebijakan akan dinilai berdasarkan kemampuan dan ketepatan kebijakan tersebut meningkatkan kesejahteraan sebanyak mungkin warga, bukan pada isme-isme yang dilekatkan pada kebijakan tersebut.

Kecil tapi Bernas

Sejauh mana pemerintahan Jokowi akan berhasil dengan ideologi ekonomi yang didedikasikan terutama kepada kelas menengah masyarakat sipil ini?

Salah satu kebiasaan buruk (bila dilihat dari kacamata politisi yang ingin memelihara loyalitas 100 persen pendukungnya) kelas menengah masyarakat sipil mandiri ialah keengganannya untuk menjadi fans fanatik yang militan. Berbeda dengan kelas menengah birokrasi yang dengan cepat dapat bersalin rupa mengabdi kepada siapa yang berkuasa dengan loyalitas yang maksimal, kelas menengah masyarakat sipil mandiri tidak pernah 100 persen mempersembahkan kesetiaannya kecuali kepada pertimbangan akal sehatnya. (Hal ini sudah terbukti dalam keputusan Presiden Joko Widodo mengajukan Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Sebagian besar relawan pendukungnya menolak,  has Tag #shameonyouJokowi menjadi salah satu trending topic).

Dengan demikian dapat dikatakan kelangsungan kepemimpinan Jokowi dengan ideologi ekonominya saat ini, akan ditentukan oleh kemampuannya untuk tetap setia pada aspirasi konstituen intinya, yaitu kelas menengah masyarakat sipil mandiri tersebut. Sejauh ini konstituen ini telah ia layani dengan cukup baik, sepanjang menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi. Kebijakan Jokowi untuk melarang rapat-rapat birokrasi di hotel, menembak dan menenggelamkan kapal asing yang melanggar kedaulatan wilayah, dapat dikatakan merupakan isu-isu yang menarik minat kelas menengah masyarakat sipil mandiri yang merindukan hadirnya negara dalam bentuk tindakan.

 Adalah menarik untuk menyadari bahwa sesungguhnya jumlah mereka tidak besar, bahkan dapat dikatakan kecil. Survei Kompas (2012) mengatakan dari 50,3 persen penduduk yang digolongkan sebagai kelas menengah di Indonesia, yang benar-benar dapat diharapkan menjadi agen perubahan hanyalah 3,6 persen. Oleh Kompas, kelompok ini dikategorikan sebagai kelas menengah atas, tetapi mungkin lebih tajam bila kelompok ini kita beri nama kelompok kelas menengah masyarakat sipil mandiri.

Mereka umumnya menikmati kemakmuran setelah berjuang keras oleh keahilian dan keterampilannya sendiri, pendidikan rata-rata setingkat sarjana dan memiliki dorongan untuk selalu maju dalam karier. Ini berbeda dengan sebagian besar kelas menengah umumnya. Menurut survei itu, sebagian terbesar kelas menengah Indonesia memang menginginkan perubahan. Mereka kritis, mudah meletupkan amarah lewat jejaring sosial. Tetapi mereka cepat bosan dan semangatnya lekas melemah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsanya. Mereka cenderung mengejar materi dan berusaha tampil modis demi mempertahankan identitas kelasnya. Namun mereka cenderung tidak berani mencoba sesuatu yang baru tanpa terlebih dahulu melihat bagaimana kelompok menengah atas, atau kelas menengah masyarakat mandiri itu, bertindak.

Sangat nyata bahwa peran kelas menengah masyarakat sipil mandiri yang jumlahnya kecil ini sangat penting dan penentu seperti pada hukum pareto. Mereka sesungguhnya adalah penentu tren (trend setter). 

Tantangan terbesar ke depan, ialah bagaimana mengomunikasikan aspirasi kelas menengah masyarakat sipil mandiri yang sejauh ini telah dilayani dengan baik Presiden Joko Widodo, menjadi aspirasi utama dan aspirasi bersama. Artinya, aspirasi itu harus menjangkau lebih banyak kalangan termasuk konstituen akar rumput yang aspirasnya mudah diombang-ambingkan panutannya. Blunder-blunder di kancah politik, seperti yang terjadi pada kontroversi pengajuan calon Kapolri, adalah hal-hal yang semestinya dihindari, termasuk dalam menetapkan kebijakan ekonomi.

Jadi, inilah ideologi ekonomi Jokowi, yaitu aspirasi kelas menengah sipil mandiri yang terus bertumbuh, dan untungnya, Presiden Joko Widodo kelihatannya mengenalinya sangat dekat, karena ia berasal dari lingkungan itu.  

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home