Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 14:21 WIB | Jumat, 23 Agustus 2013

Ikhwanul Muslimin: Sejarah Panjang Gerakan dan Pemerintahan Yang Singkat

Kantor Pusat Ikhwanul Muslimin di Kairo yang dirusak dan dijarah. (Foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM –  Mesir pasca Revolusi 25 Januari 2011 yang ditandai berakhirnya kekuasaan Presiden Hosni Mubarak, menarik perhatian yang lebih banyak dari berbagai pihak terkait terhadap Ikhwanul Muslimin. Gerakan kelompok Muslim yang telah berusia 85 tahun ini berada pada arus utama pergolakan di Mesir.

Dalam beberapa bulan terakhir, khususnya sejak munculnya gerakan rakyat memprotes pemerintahan Mohammed Morsi yang didukung kelompok ini, Ikhwanul Muslimin justru menghadapi krisis yang barang kali paling serius dalam sejarah perjalanan kelompok ini. Apalagi belakangan banyak pemimpinnya ditangkap.

Presiden Mohammed Morsi adalah anggota kelompok ini, dan telah digulingkan oleh militer dari kursi kepresidenan. Dia, dan juga sejumlah pemimpin senior Ikhwanul Muslimin ditangkap dan ditahan, menghadapi sejumlah tuduhan penghasutan, kekerasan dan pembunuhan, dan kantor pusat kelompok ini dijarah dan dibakar.

Protes mereka lancarkan terhadap militer yang mencopot Morsi dan pemerintah sementara yang menggantikannya. Mereka mendirikan kamp di kawasan dekat masjid di  ibu kota Kairo. Tuntutannya pemulihan bagi kedudukan Morsi yang merupakan presiden hasil pemilihan umum yang sah. Namun kamp dan aksi pendudukan itu justru diserbu oleh pasukan keamanan Mesir setelah sekitar sebulan di sana dengan korban nyawa yang cukup banyak.

Ikhwanul Muslimin menyebutkan pembubaran itu sebagai pembantaian, dan kecaman internasional muncul terhadap militer dan pemerintah Mesir. Berikut ini catatan perjalanan Ikhwanul Muslimin yang dihimpun dari berbagai sumber.

Model Aktivis Politik

Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan, dan organisasi ini dikenal sebagai organisasi Islam tertua dan terbesar di negara itu, yang berarti ideologinya didasarkan pada ajaran Alquran.

Gerakan ini didirikan oleh Hassan al-Banna dan dikenal sebagai Ikhwanul Muslimin. Namun nama dalam bahasa Arab adalah al-Ikhwan al-Muslimun. Organisasi ini telah mempengaruhi gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia dengan model aktivisme politik yang dikombinasikan dengan kegiatan amal Islam.

Gerakan ini awalnya ditujukan hanya untuk menyebarkan moral Islam dan perbuatan baik, tetapi kemudian terlibat dalam kegiatan politik, khususnya berjuang untuk menyingkirkan Mesir dari kekuasaan kolonial Inggris dan membersihkan Mesir dari semua pengaruh Barat.

Ikhwanul Muslimin mengatakan bahwa mereka mendukung prinsip-prinsip demokrasi, namun tujuan kelompok ini adalah untuk menciptakan sebuah negara yang diperintah oleh hukum Islam, atau Syariah. Slogan yang paling terkenal, digunakan di seluruh dunia, adalah: "Islam adalah solusi."

Sayap Paramiliter

Setelah Hassan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, cabang-cabang organisasi ini segera dibentuk di seluruh Mesir. Mereka mengelola masjid, sekolah dan klub olahraga, dan keanggotaannya tumbuh dengan cepat.

Pada akhir 1940-an, kelompok ini diyakini memiliki dua juta pengikut di Mesir, dan ide-idenya telah menyebar ke seluruh dunia Arab. Pada saat yang sama, al-Banna menciptakan sayap paramiliter, aparatur khusus, yang bergabung dan bekerja sama untuk melawan pemerintahan Inggris, serta terlibat dalam kampanye pemboman dan pembunuhan.

Pemerintah Mesir membubarkan kelompok ini pada akhir 1948 atas tuduhan menyerang kepentingan Inggris dan Yahudi. Segera setelah itu, kelompok itu juga dituduh membunuh Perdana Menteri, Mahmoud al-Nuqrashi.

Al-Banna mengecam pembunuhan itu, namun ia kemudian ditembak mati oleh penembak tak dikenal. Banyak pihak meyakini penembak adalah anggota pasukan keamanan.

Pada tahun 1952, pemerintahan kolonial berakhir setelah kudeta militer yang dipimpin oleh sekelompok perwira muda yang menamakan diri sebagai Pasukan Pembebasan. Dan Ikhwanul Muslimin mengambil peran sebagai pendukung Anwar al-Sadat yang menjadi presiden pada tahun 1970.

Mereka berhubungan dengan Pasukan Pembebasan, dan pada awalnya bekerja sama dengan pemerintah baru, namun hubungan itu segera menjadi renggang. Dalam usaha yang gagal untuk membunuh Presiden Gamal Abdul Nasser pada tahun 1954, Ikhwanul Muslimin  dipersalahkan. Organisasi ini kemudian  dilarang, dan ribuan anggotanya dipenjarakan dan disiksa. Namun kelompok gerakan ini ini melanjutkan kegiatannya, dan tumbuh di bawah tanah.

Konflik dengan otoritas pemerintahan ini mendorong pergeseran yang penting dalam ideologi Ikhwanul Muslimin. Hal ini terlihat dalam tulisan salah satu anggota terkemuka, Sayyid Qutb. Dia menganjurkan penggunaan jihad (perjuangan) melawan jahiliyah (kebodohan) di masyarakat, termasuk kepada Islam di Barat yang disebutnya membutuhkan perubahan radikal. Tulisan-tulisannya, terutama pada tahun 1964, terinspirasi  para pendiri beberapa kelompok Islam radikal, termasuk Jihad Islam dan Al-Qaeda.

Pada tahun 1965, pemerintah kembali menindak Ikhwanul Muslimin, dan mengeksekusi  Qutb pada tahun 1966. Hal itu menyebabkan dia menjadi seorang martir bagi banyak orang di seluruh wilayah Mesir.
Tindakan Keras

Selama tahun 1980, Ikhwanul Muslimin berusaha untuk bergabung kembali dengan arus utama politik. Beberapa kali pemimpin gerakan ini membentuk aliansi dengan Partai Wafd pada tahun 1984, kemudian dengan Partai Buruh dan Liberal pada tahun 1987, dan menjadi kekuatan oposisi utama di Mesir. Pada tahun 2000, Ikhwanul Muslimin memenangkan 17 kursi di Majelis Rendah.

Lima tahun kemudian, kelompok ini mencapai hasil pemilu yang terbaik sampai tahun tersebut, dengan berkoalisi dengan calon independen memenangkan 20 persen kursi. Hasil ini mengejutkan Presiden Hosni Mubarak. Pemerintah kemudian menjalankan tindakan keras terhadap Ikhwanul Muslimin, menahan ratusan anggotanya, dan mengeluarkan sejumlah undang-undang "reformasi" untuk melawan kebangkitan mereka.

Konstitusi Mesir diubah untuk menetapkan bahwa "kegiatan politik atau partai politik tidak akan didasarkan pada latar belakang agama atau yayasan". Selain itu, calon independen dilarang mencalonkan diri sebagai presiden, dan undang-undang anti-terorisme memberi kekuasaan pasukan keamanan menangkap dan menahan tersangka pelanggaran aturan itu, termasuk dikeluarkan aturan pembatasan pertemuan  publik.

Pada awal 2011, demonstrasi anti-pemerintah bangkit dengan aksi protes jalanan di Tunisia. Gerakan dan tuntutan mereka  menyebar ke seluruh negeri tetangga Mesir itu, dan menyebabkan secara mendadak Presiden Tunisia, Ben Ali, mengundurkan diri.

Banyak anggota Ikhwanul Muslimin yang  bergabung dengan protes di negara tetangga itu, namun mereka tetap menjaga untuk tidak muncul dan lebih low profile. Slogan ini tidak terlihat dalam kerlompok Ikhwanul Muslimin ketika aksi protes rakyat terhadap Mubarak muncul di Tahrir Square di Kairo.

Massa protes yang terus bertambah dan pemerintah mulai menawarkan konsesi, termasuk janji bahawa Mubarak tidak akan mencalonkan diri kembali pada pemilihan presiden yang direncanakan pada September 2011, kekuatan oposisi terbesar di Mesir ini mengambil peran lebih tegas.

Meningkatnya Kekuatan

Dalam pemilihan parlemen pertama setelah tergulingnya Mubarak pada bulan Februari 2011, partai yang baru saja dibentuk oleh  Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memenangkan hampir separuh kursi di Majelis Rakyat. Hal ini menyingkap organisasi yang tampaknya indfependen ini bekerja sama dengan gerakan itu.

Partai Nour yang  dikenal sebagai kelompok Salafi ultrakonservatif menduduki posisi kedua, yang berarti bahwa Islam menguasai 70 persen kursi di Majelis Rendah. Dan hasil yang sama pada pemilihan untuk Majelis Tinggi yang disebut Dewan Syura.

Hal ini memungkinkan Ikhwanul Muslimin dan sekutu mereka untuk mengendalikan pemilihan calon anggota Majelis Konstituante yang beranggota 100 orang. Majelis ini diberi mandat menyusun konstitusi baru Mesir. Hal ini yang kemudian mendorong kritik dari kaum liberal, sekuler, Kristen Koptik, orang-orang muda dan perempuan. Mereka memprotes bahwa panel tersebut tidak mencerminkan keragaman masyarakat Mesir.

Kekhawatiran bahwa Ikhwanul Muslimin mungkin akan berusaha untuk memonopoli kekuasaan dengan mengajukan kandidat pada pemilihan presiden, meskipun mereka berjanji tidak akan mengajukan kandidat.

Hal itu akhirnya terlihat, ketika pada 2012, Ketua FJP, Mohammed Morsi, menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Dia memenangkan 51 persen suara mengalahkan pensiunan Kepala Staf Angkatan Udara, Ahmed Shafiq.

Mohammed Morsi berusaha untuk meyakinkan para lawan politik Ikhwanul Muslimin dengan menekankan bahwa sebagai presiden dia ingin membangun sebuah negara dengan "demokrasi, sipil dan negara modern,” dan menjamin kebebasan beragama dan hak untuk protes secara damai.

Digulingkan

Oposisi rakyat menentang Morsi dan Ikhwanul Muslimin mulai terlihat pada November 2012. Sebelum Majelis Konstituante menyelesaikan konstitusi baru, Presiden Morsi mengeluarkan deklarasi konstitusi sementara yang pemberian dirinya kewenangan yang sangat besar. Dia setuju untuk membatasi lingkup deklarasi itu, karena protes oleh oposisi.

Namun kemarahan rakyat terus berlanjut pada akhir bulan November itu ketika Majelis Konstituante menyetujui konstitusi baru yang disebut sebagai “versi tergesa-gesa”. Padahal  persetujuan itu diboikot oleh kaum liberal, sekuler dan Gereja Koptik. Mereka yang memboikot mengatakan konstitusi itu tidak melindungi kebebasan berekspresi dan beragama.

Berkembangnya gerakan oposisi membuat Presiden Morsi kemudian mengeluarkan dekrit yang memerintahkan angkatan bersenjata untuk melindungi lembaga-lembaga nasional dan tempat-tempat pemungutan suara sampai referendum rancangan konstitusi diselenggarakan pada bulan Desember 2012. Sebagian besar kritikus mengatakan hal itu sebagai bentuk pernyataan keadaan darurat militer.

Tentara pun dikembalikan ke barak setelah piagam itu disetujui, namun pada pekan itu juga dipaksa untuk menyebar ke kota-kota sepanjang Terusan Suez untuk menghentikan bentrokan mematikan antara lawan dan pendukung Morsi dan kelompok Ikhwanul Muslimin. Pada akhir Januari 2013, militer memperingatkan bahwa krisis politik yang berkembang bisa  "menyebabkan runtuhnya negara".

Pada akhir bulan April, aktivis oposisi membentuk gerakan akar rumput  yang disebut sebagai Tamarod (pemberontak) sebagai gerakan protes. Hal ini difokuskan pada pengumpulan tanda tangan untuk petisi yang memprotes kegagalan Morsi dalam memulihkan keamanan dan memperbaiki ekonomi, dan menuduh Morsi menempatkan kepentingan Ikhwanul Muslimin dalam seluruh jabatan.

Tamarod juga mengorganisasi protes massa yang akan menjadi kado dalam menandai ulang tahun pertama pemerintahan Morsi (satu tahun Morsi sebagai Presiden, setelah dilantik pada 30 Juni 2012).

Aksi massa pada tanggal 30 Juni 2013 itu diikuti jutaan orang yang turun ke jalan. Massa ini disebut sebagai yang terbesar pernah terjadi di Mesir, bahkan lebih besar dibandingkan massa yang turun ke jalan menggulingkan Mubarak.  Mereka menuntut Morsi mengundurkan diri dari jabatan Presiden.

Kerusuhan dan meningkatnya jumlah korban tewas mendorong militer Mesir pada 1 Juli memperingatkan Morsi untuk mendengarkan suara rakyat, atau militer akan ikut campur tangan dan melaksanakan "roadmap" mereka. Militer yang dipimpin Jenderal Fadel Fattah Al-Sisi memberikan waktu 48 jam kepada Morsi untuk memenuhi permintaan rakyat dan mengakhiri krisis politik atau militer melaksanakan road map ala militer.

Pada tanggal 3 Juli, pasukan militer dan kendaraan lapis baja dikerahkan di jalan-jalan di Kairo dan kota penting lainnya. Hal ini menandai bahwa konstitusi Mesir dibekukan, dan Kepala Mahkamah Agung memegang kekuasaan negara, dan Morsi digulingkan dari jabatan presiden.

Musim Semi Arab

Ikhwanul Muslimin mengecam keputusan itu dan menyebutnya sebagai "kudeta militer terhadap presiden terpilih dan kehendak nasional.” Mereka juga bersumpah bahwa mereka akan menolak untuk kompromi dengan para pemimpin militer dan pemerintah sementara Mesir yang kemudian dibentuk.

Para pendukung Ikhwanul Muslimin kemudian mendirikan kamp protes di Nahda Square dan di dekat masjid Rabaa al-Adawiya. Mereka menolak untuk membubarkan diri setelah protes berlangsung beberapa pekan, dan telah berulang-ulang pemerintah sementara memperingatkan.

Setelah beberapa pekan menemui  kebuntuan, dan tanpa ada kesediaan dialog, tampaknya  pemerintah kehilangan harapan bahwa protes akan tetap berjalan secara damai. Kemudian  pada hari Rabu, 14 Agustus, pasukan keamanan menyapu ke kamp tersebut dan pemerintah memberlakukan keadaan darurat nasional. Jam malam diberlakukan hingga sekarang.

Puluhan pimpinan Ikhwanul Muslimin sekarang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah sementara. Hal ini menandai periode yang singkat gerakan politik Islamis ini memegang kekuasaan dan mencoba menjalankan pemerintahan atas dasar hukum agama, meskipun negara itu menunjukkan ada keberagaman di tengah kehidupan warganya. Hal itu hanya berlangsung satu tahun, dan belum tahu bagaimana gerakan ini akan bertahan di tengah perubahan yang terjadi di Mesir.

Musim Semi Arab ataui Arab Spring dikenal sebagai munculnya gerakan massa atau people power menentang pemerintahan yang otoritasian dan korups di Timur Tengah dan Afrika Utara. Musim ini pun sampai di Mesir, dan Ikhwanul Muslimin bergabung dengan gerakan pemerintah sekuler yang diprotes rakyat.

Musim semi ini memberi angin segar bagi Ikhwanul Muslimin untuk memasuki percaturan politik. Gerakan itu kembali memperoleh legalitas hukum pada Maret 2011, dan segera membentuk kendaraan politik, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan. Dan musim semi itu mengantar gerakan ini memperoleh kekuasaan.

Namun dengan cepat gerakan ini gagal menjalankan pemerintahan yang memenuhi kepentingan nasional. Ekonomi Mesir ambruk, dan masalah sektarian terus terjadi. Bahkan Morsi gagal mewujudkan "janjinya" untuk membangun negara dengan pemerintahan sipil, negara moderan dan demokratis.

Banyak pengamat menyebutkan Arab Spring melahirkan ajang persaingan negara agama dan negara sekuler, dan muncul kekhawartiran besar bahwa bangsa yang gagal mengelola perubahan ini akan jatuh pada perang saudara. Namun Mesir tengah menyusun Konstitusi yang inklusif  untuk menyelesaikan krisis ini.

Sikap Ikhwanul Muslimin atas konstitusi baru ini akan menentukan masa depan Mesir, sekaligus masa depan Ikhwanul Muslimin yang telah mencapai perjalanan gerakan sepanjang 85 tahun.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home