Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 13:12 WIB | Jumat, 13 Februari 2015

Irak (bagian II): Gagal Membangun Pemerintahan Bersama

Warga Irak menggunakan hak pilih dalam pemilu 2014. Proses demokrasi belum mampu membangun pemerintahan bersama bagi Irak yang plural. (Foto: dok. Ist

Baca juga: Irak (bagian I) : Peta Retak Oleh Konflik Sektarian

SATUHARAPAN.COM - Guncangan yang keras melanda Irak terutama terjadi ketika pasukan Amerika Serikat menduduki Irak pada tahun 2003 dan mengakhiri kekuasaan Saddam Hussein. Pemerintahan George Bush Jr yang bersikukuh bahwa Sadham Husein memiliki senjata pemusnah masal, termasuk nuklir, menjadi alasan untuk mengakhiri rezim di Irak itu.

Perubahan besar pun terjadi di negeri yang disebut sebagai tempat lahirnya banyak peradaban ini. Pemerintahan Irak dibubarkan, termasuk militer Irak. Pemerintahan baru dibentuk dengan menghapus seluruh unsur dari mereka yang terkait Partai Baath, partainya Sadham Husein.

Dalam satu dekade, setelah itu, Irak menghadapi masalah sebagai konsekuensi dari pembersihannya, termasuk kekosongan administrasi, yang kemudian sebagian besar diisi warga dari penganut Syiah. Mereka memiliki semangat untuk kekuasaan, mengingat mereka terpinggirkan selama pemerintahan Sadham Husein.

Banyak pemimpin Syiah dan milisi Syiah yang telah bertahun-tahun hidup di luar Irak, terutama yang berlindung di Iran dari ancaman Saddam, kembali dan ingin membalas dendam. Namun hal itu membawa Irak keluar dari kekuasaan Sadham dan jatuh pada konfklik sektarian.

Kelompok Sunni, dan mantan pengikuti Sadham yang tersingkir menyulut konflik sektarian yang mematikan, terutama dalam kurun 2004 – 2007. Catatan PBB menyebutkan puluhan ribu orang meninggal akibat konflik itu.

Ketidakmampuan pemerintah menjaga keamanan menyebabkan ketakutan yang meluas di negeri itu, sehingga kelompok Kurdi dan kelompok kesukuan membangun milisi mereka sendiri untuk melindungi lingkungan mereka dari penyerang. Bahkan kelompok Syiah membangun milisi mereka, dan belakangan setelah serangan oleh ISIS, komunitas Kristen juga membangun pasukan keamanan sendiri.

Prasangka terhadap kelompok dan sekte lain meningkat, dan konflik sektarian menyebar dengan luas. Serangan bom di berbagai kota terus mewarnai pemberitaan dari negeri ini, bukan hanya sasaran pada militer AS dan negara Barat, tetapi juga pada kelompok lain.

Dari Situasi Suriah

Kelompok-kelompok Sunni yang radikal akhirnya juga mendorong timbulnya gerakan Negara Islam yang saat ini yang menguasai banyak wilayah di Irak, dan mereka bergerak dan membangun kekuatan memanfaatkan situasi kacau di Suriah dan derah Irak yang berbatasan. Pergolakan senjata di Suriah sejak empat tahun lalu itu juga mengiringi peningkatan konflik di Irak.

Penting untuk diingat bahwa konflik di Suriah, juga tidak bisa dilepaskan dengan latar belakang konflik sektarian di mana rezim Bashar Al Assad dari kelompok Alawit yang dekat dengan Syiah, dan karenanya didukung penuh oleh Iran. Sementara kelompok pemberontak mayoritas didukung oleh kelompok Sunni, baik yang garis keras maupun yang moderat. Namun faksi di kalangan pemberontak Suriah juga begitu banyak, termasuk kekuatan nasionalis dan Sunni yang moderat.

ISIS yang semula adalah Al-Qaeda Irak, ikut bergerak ke Suriah dan memutuskan hubungan dengan induknya, seperti dilaporkan jurnal The Long War. Kelompok ini menjadi bagian dari pemberontak terhadap Suriah, namun kemudian terjadi konflik sendiri, karena tindakannya yang brutal. Mereka kemudian dikenal sebagai ISIS atau ISIL (Islamic State of Iraq and Levant). Bentrolkan pun terjadi, bahkan dengan Jabath Al Nusra, cabang Al-Qaeda di Suriah. Kehadiran ISIS telah membuat peta konflik menjadi berubah drastis, bahkan menimbulkan konflik kekerasan di kalangan pemberontak sendiri.

Negara-negara Barat kemudian menghadapi kesulitan, karena bantuan kepada pemberontak Suriah banyak yang jatuh ke tangan kekuatan kelompok radikal. Inilah kekuatan awal yang dibangun oleh kelompok yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai kekalifahan atau Negara Islam (IS).

Serangan mereka yang dengan cepat menguasai wilayah yang luas di Irak menunjukkan kekuatan itu. Meskipun dari satu sisi serangan itu juga diarahkan pada wilayah yang paling lemah yang tidak mendapatkan perhatian penuh dari pemerintahan Baghdad.

Irak Terbelah

Jika ISIS bisa dikalahkan oleh pasukan Irak dengan bantuan pasukan koalisi internasional, dan di daerah-daerah utara didukung oleh pasukan milisi Kurdi dan kelompok lain, prediksi banyak kalangan tidak mengarah pada terciptanya perdamaian, melainkan kemungkinan pecahnya negara Irak.

Banyak kalangan meramalkan bahwa Irak akan menjadi tiga negara yang independen, yaitu negara yang didominasi penganut Syiah, negara yang didominasi penganut Sunni, dan negara Kurdi atau Kurdistan.

Prediksi yang lain menyebutkan kecenderungan akan mendorong terbentuknya negara Kurdi yang wilayahnya di utara dan timur laut, sementara satu negara Irak dengan wilayah di barat dan selatan yang mencakup wilayah yang didominasi oleh penganut Syiah dan Sunni. Namun yang kedua akan sangat mungkin terus bergolak yang diwarnai oleh konflik sektarian, meskipun akan mendapatkan dukungan dari negara tetangga Iran.

Laporan berbagai media dalam tahun-tahun terakhir mengenai Irak memberikan gambaran itu. Setelah Sadham Husein ditumbangkan, kemajuan terjadi sangat pesat di wilayah utara dan Selatan, sedangkan di tengah justru cenderung stagnan. Infrastruktur dan investasi di utara dan selatan berkembang pesat. Warga Sunni memasuki suasana yang makin suram.

Wilayah otonomi Kurdi, seperti dilaporkan BBC News, misalnya telah menerima 17 persen anggaran dari Irak yang pada tahun 2013 bernilai sekitar US$ 12 milyar. Kemudian Kurdi juga menerima tambahan US$ 1 miliar untuk membayar gaji pasukan Peshmerga, kekuatan baru untuk melawan ISIS. Mereka baru saja menikmati hasil minyak yang selama ini diambil oleh pusat.

Situasi ini tampaknya telah mendorong pada independensi Kurdi, meskipun bakal menghadapai tantangan dari berbagai negara, terutama dari Turki. Baru-baru ini Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang dengan tegas menyatakan ‘’Tidak mungkin kami menerimanya.’’ Bahkan dia menyatakan tidak menerima ‘’Irak baru.’’

Wacana Irak baru tampaknya telah muncul, dan hal ini banyak dilihat sebagai akibat gagalnya Irak baru pasca Sadham Husein yang gagal mencegah munculnya konflik sektarian. Namun tidak cukup jelas untuk melihat Irak sebagai rumah bagi semua unsur, dan sebaliknya gambaran yang kuat justru pada Irak yang terbelah.

Musim Semi Arab

Situasi di Irak yang dengan berbagai upaya, termasuk didorong oleh AS dan negara Barat serta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), akhirnya juga gagal membangun demokrasi untuk menciptakan Irak baru. Pemimpin yang dipilih melalui pemilihan umum, tetap saja pemerintahannya menunjukkan garis-garis pemisah etnis dan sekte yang nyata, dan tegasnya gagal membangun pemerintahan bersama.

Situasi ini hampir sama di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang dilanda angin revolusi Musim Semi Arab. Revolusi mereka menumbangkan pemerintahan yang otoritarian memang berhasil, namun digantikan oleh pemerintahan yang juga memicu bangkitnya pemberontakan sektarian dan etnis.

Konflik kekerasan berlatar sektarian, meskipun pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan dan sumber daya, menjadi tragedi yang memilukan, karena semakin parah akibat pemerintahan yang gagal menjalankan fungsi menurut standar dan nilai demokrasi. Hal ini mencerminkan bahwa ada prasyarat nilai dan budaya yang belum dipenuhi dalam membangun demokrasi, selain syarat formalitas dan proses politis sebagai solusi damai.

Pengalaman sejarah dalam politik adu kekuatan dan dominasi, telah menyebabkan banyak negara menghadapi kesulitan untuk mengadopsi proses politik dan demokrasi sebagai solusi. Kekuatan senjata yang selama ini digunakan mungkin melemahkan daya tahan dalam proses politik, dan penerapan ‘’demokrasi formal’’ yang membutuhkan kesetiaan pada proses. Ketidak-tahanan itu dengan cepat melahirkan rasa frustrasi.

Jadi, masalahnya adalah apakah ada harapan di Irak untuk membungkam senapan, dan memberi kesempatan bagi proses politik melalui demokrasi untuk berbicara lebih lantang. Konflik kekerasan dan sektarian telah membawa Irak terperosok sedemikian dalam, dan membutuhkan rekonsiliasi yang melampaui tujuan politik dan demokrasi.

Baca bagian berikutnya: Irak (bagian III): Dari Sisi Sunni, Syiah, Kristen


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home