Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 12:11 WIB | Senin, 16 Februari 2015

Irak (bagian III): Dari Sisi Sunni, Syiah, Kristen

Ribuan relawan Syiah bergabung berperang melawan militan jihadis. (Foto: Ali al Saadi/AFP/Getty Images)

Baca Juga: Irak (bagian II): Gagal Membangun Pemerintahan Bersama

Baca juga: Irak (bagian I): Peta Retak Oleh Konflik Sektarian

SATUHARAPAN.COM – Serangan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria / ISIS) telah menyebabkan jutaan warga Irak, baik Sunni, Syiah, Yazidi, dan Kristen meninggalkan rumah mereka kota kosmopolitan Mosul, dan kota lain seperti Samarra, Fallujah dan Tikrit, serta kota kecil lain dan desa-desa.

Hal itu menyebabkan kekosongan yang bukan hanya di wilayah yang dikuasi ISIS, tetapi menyebar ke seluruh Irak, karena dampak konflik itu yang bersifat sektarian. Dan kekosongan di wilayah yang masih dikendalikan oleh pemerintah, segera diisi oleh warga Syiah, terutama untuk urusan administrasi dan pemerintahan setempat, seperti dilaporkan situs berita ankawa.com.

Bahkan warga dari penganut Islam Syiah dan Sunni yang selama ini hidup berdampingan dalam satu wilayah dan ingin menyelamatkan negara mereka, juga harus menghadapi serangan dari sekitarnya, atau  bahkan dari dalam. Kelompok suku Sunni dihadapkan pada pilihan untuk mendukung milisi Negara Islam dan menyalakan sesamanya dari Islam Syiah.

"Penyakit ini membuat orang siap untuk membunuh ayahnya sendiri," kata Sheik Nadeem Hatem Sultan al-Tamimi, kepala suku Tamim di Irak tengah, seperti dikutip ankawa.com.  Dia tinggal di Taji, sebelah utara ibu kota Irak, Baghdad,  bersama tiga istri, dan anak bungsunya. Wilayah itu dijaga ketat, karena hanya beberapa kilometer dari situ adalah garis depan pertempuran antara jihadis Negara Islam dan pasukan pemerintah Irak.

Untuk mempertahankan kehadiran Sunni di Irak sejauh ini mengandaikan bahwa gerakan Negara Islam harus dihentikan, dan warga Sunni harus kembali ke rumah mereka. Namun apakah dengan mengalahkan kelompok ISIS, warga Sunni Irak bisa dengan aman ke rumah mereka? Juga apakah warga yazidi, Kristen bisa kembali ke kota, desa dan rumah mereka dengan aman?

"Kami berada dalam situasi tergelincir ke jurang curam," kata Sheik Nadeem, 62 tahun mengatakan seperti dilaporkan ankawa.com. Hal itu dimulai dengan invasi 1990 Saddam Hussein terhadap Kuwait dan perang pertama Irak menghadapi AS. "Sejak saat itu, keadaan lebih buruk dan makin buruk."

"Ada pembusukan di negeri ini, tidak ada hukum dan ketertiban," kata dia. "Geng kriminal menculik orang untuk uang tebusan; tidak ada yang aman di jalan." Banyak orang yang kemudian melihat peluang yang ada adalah meninggalkan negeri itu, tetapi itu hanya mereka yang memiliki uang, yang lain hanya bersembunyi dan berharap tetap selamat.

Sisi Warga Syiah

Tumbangnya Sadham Husein adalah pembebasan kaum Syiah dari pemerintahan kaum Sunni, dan segera pemilihan untuk membentuk pemerintah menunjukkan hasil yang didominasi Syiah. Wilayah selatan yang didominasi Syiah segera mendapat keuntungan dan tumbuh pesat.

Pertumbuhan itu misalnya ditandai dengan pembangunan bandar udara di Najaf, dan pembangunan kota Karbala, dua kota penting dalam situs keagamaan Islam Syiah. Situs berita Trade Newswire, melaporkan pada Mei 2014 bahwa pemerintah Irak menyediakan dana sebesar US$ 50 miliar untuk memperluas pembangunan airport di kota Najaf.  Kota itu merupakan satu situs ziarah yang paling penting dalam Islam Syiah.

Kota Karbala, dengan situs keagamaan penting lainnya juga segera berkembang. Media lain menyebutkan ada mal baru di sana, beberapa hotel kelas atas, dan kota diwarnai billboard iklan produk barang baru dan mahal.

Milisi Syiah seperti Brigade Badr, serta militer Syiah Irak yang didukung Iran, telah menjamin keamanan di wilayah ini akhir-akhir ini. Namun mereka juga bertempur melawan ISIS, seperti dilaporkan oleh jurnal The Long War, dan militan Sunni beberapa kali disebutkan menyerang Karbala, termasuk ketika warga Syiah tengah mengadakan peringatan Ashura.

Pada akhir Januari lalu, Brigade Badr merayakan kekalahan pasukan ISIS di beberapa kota di provinsi Diyala, timur laut Baghdad. Dalam perjalanan pertempuran, banyak warga Sunni yang meninggal dan sejumlah masjid Sunni hancur. Milisi itu dilaporkan tidak ingin penduduk Sunni di daerah itu kembali ke rumah mereka.

Kelompok Syiah melihat munculnya jihad seperti Negara Islam sebagai bagian dari gerakan Sunni yang didukung Arab Saudi yang mencerminkan konflik panjang dengan kaum Syiah.  ‘’Mereka harus dihentikan," kata Layla Khafaji, seorang perempuan Syiah anggota parlemen Irak, seperti dikutip ankawa.com, dan menggambarkan kehidupan mereka.

Berita tentang pengiriman bantuan senjata dan logistik melalui udara yang diterjunkan dengan parasut untuk milisi ISIS kemungkinan terkait dengan hal ini. Parlemen Irak yang dikuasai politisi Syiah menuding bantuan dari pesawat pasukan koalisi internasional, dan ada negara yang membantu ISIS.

Konflik di Irak bahkan mendorong teror jihadis ISIS juga dilihat dalam kaitan peristiwa 1.400 tahun yang lalu ketika terjadi pembunuhan pada keluarga Imam Hussain, seperti dikatakan Khafaji.

Khafaji, 57 tahun, yang mengenakan pakaian hitam panjang dan jilbab warna-warni mengalami teror yang ditebarkan oleh rezim Saddam Husein yang mereka sebut sebagai kekuasaan kelompok Sunni.

Dia berasal dari keluarga petani di Irak selatan. Khafaji menjadi mahasiswa di universitas ternama di Baghdad. Dia lulus pada tahun 1981 sebagai seorang insinyur listrik, salah satu dari hanya beberapa perempuan yang memiliki keahlian itu pada saat itu. Tapi dia menolak untuk bergabung dengan Partai Baath yang berkuasa, dan segera menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan.

Akhirnya, dia dipaksa untuk menandatangani hukuman karena pernah bergabung dengan organisasi yang menentang pemerintah. Baru tiga bulan bekerja, dia ditangkap, disiksa selama beberapa bulan dan dihukum karena kegiatan anti pemerintah. Dia juga bertemu kakak perempuannya di penjara. Dia dijatuhi hukuman mati yang diterimanya pada tahun 1983, namun kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup, dan dia menghabiskan sembilan tahun lagi di penjara.

Setelah kekalahan Irak dalam perang di Kuwait, rezim Sadham Husein ditekan untuk membebaskan para tahanan politik, dan Khafaji dibebaskan. Dia meninggalkan negara itu menuju Kanada, di mana dia mendapat perlindungan.

Ketika Saddam Hussein digulingkan pada tahun 2003, dia meninggalkan Toronto dan bekerja pada Dewan Tertinggi Islam Irak, sebuah partai politik Syiah yang memenangi sebagai partai terbesar kedua dalam pemilu 2014. Dan mengatakan dia telah menemukan panggilannya, bertekad untuk tidak membiarkan rezim Sunni mengambil alih kekuasaan lagi.

Sisi Warga Sunni
Organisasi Negara Islam sebenarnya berakar di Irak. Organisasi ini dimulai sebagai Al-Qaeda Irak satu dekade lalu dan didirikan oleh Abu Mus‘ab al-Zarqawi, serta ditujukan untuk memerangi pendudukan AS. Pada tahun 2011, kelompok ini memanfaatkan sejumlah tahanan yang dibebaskan oleh pemerintah Irak, dan mulai membangun kembali kekuatan mereka, seperti dilaporkan situs berita vox.com

Meskipun ada kaitannya dengan kelompok cabang Al-Qaeda di Suriah, Jabath Al Nusra, kelompok yang kemudian menamakan diri ISIS ini merupakan kelompok yang berbeda, dan bahkan sempat terjadi kontak senjata di antara mereka. Namun situasi tidak stabil di Suriah bagian utara dan kemudian meluas ke Irak utara memberi peluang ISIS berkembang.

Setelah menyatakan sebagai kekalifahan Negara Islam, meskipun secara luas tidak diakui di kalangan Islam di dunia, mereka melancarkan serangan ke Irak dan menguasai banyak wilayah. Sebelumnya, mereka menyerang gereja-gereja Kristen dan kegiatan keagamaan Syiah.

Basis operasinya kemudian berpindah dari perang sipil di Suriah yang pecah di sana pada tahun 2011, ke wilayah Irak. Kelompok ini juga melepaskan diri dari Al-Qaeda, dan menyebut dirinya sebagai Negara Islam Irak dan al-Sham (ISIS), namun kata terakhir awalnya disebut sebagai Levant sehingga disingkat ISIL.

Pertengahan tahun lalu, ribuan milisinya berpindah kembali ke Irak sebagai bagian dari serangan cepat di mana seperempat wilayah Irak, termasuk Mosul, kota terbesar kedua di negara itu, diserbu dalam beberapa hari dan jatuh ke tangan mereka.

Siapa pun yang tidak mengikuti penafsiran mereka atas hukum syariah menjadi target kelompok ini. Mereka menyerang gereja dan masjid Syiah, mengeksekusi ribuan orang dari segala usia, memperbudak ratusan perempuan dari kelompok minoritas. Mereka cukup kuat, dan makin kuat setelah menguasai sumber minyak di Irak, dan berhasil menahan serangan balik, setidaknya sampai saat ini Mosul masih di bawah kekuasaan mereka.

Seorang imam Sunni senior di masjid Abu Hanifah yang berusaia 1.000 tahun di kawasan Adhamiyah, Baghdad,  menegaskan bahwa harus dipahami tentang apa yang memprovokasi warga Irak Sunni mendukung gerakan Negara Islam. Iran, negara Syiah, yang berbatasan dengan Irak di sebelah timur, disebutkan menjalankan sesuatu rencana di sini, kata Dr Abdul Wahab al Samari, 41tahun.

"Militer negara kita benar-benar didominasi oleh Syiah... dan kami tidak memiliki milisi (Sunni) untuk meminta bantuan." Dia menyebutkan tentang poster agama dan spanduk yang ditampilkan secara jelas di pangkalan militer Irak dan pos-pos pemeriksaan di seluruh negeri, menggarisbawahi bias agama pada lembaga-lembaga nasional.

Dan tentara Irak masih belum mampu mengatasi jihadnya sendiri, milisi Syiah sering berjuang bersama tentara reguler, menambah kekhawatiran di daerah Sunni di mana mereka berjuang.

"Orang-orang mendengar tentang (jihadis Negara Islam) membakar masjid Syiah dan gereja-gereja Kristen, tapi enam masjid Sunni di Provinsi Diyala hancur," kata Dr Samari, seperti dikutip ankawa.com. ‘’Tindakan ini dilakukan oleh milisi Syiah."

Di Mosul, katanya, sebelum Negara Islam tiba, para prajurit Irak, yang sebagian besar Syiah, melarang pernikahan warga Sunni selama bulan berkabung Syiah, dan "memaksa orang untuk menghormati hari suci Syiah, termasuk memakai pakaian hitam pada hari Ashura."

Warga Sunni menyambut gerakan Negara Islam, katanya, karena "kami berjuang untuk bertahan hidup di sini, di Irak."

Eksodus Warga Kristen

Warga Kristen Irak telah menjadi bagian dari Irak selama 2.000 tahun.  Hal itu terjadi sejak rasul Thomas (satu di antara murid Yesus) dan Thaddeus memberitakan Injil di sini di abad pertama, seperti dilaporkan ankawa.com. Dan hal itu membuat mereka sebagai salah satu komunitas Kristen tertua di dunia.  Namun sekarang mereka berada dalam bahaya untuk dihabisi.

Yousif Abba, Uskup Agung dari Keuskupan Gereja Katolik Suriah di Baghdad, mencatat bahwa penduduk Kristen di negara ini telah menurun dari 1,5 juta pada satu dekade lalu menjadi sekitar 300.000 sekarang ini.

Pada tahun 2014 saja, angkanya telah turun menjadi 500.000. Mereka diusir dan takut oleh gerakan Negara Islam. Namun secara luas kriminal di negeri Irak juga menyangkut banyak orang Kristen yang diculik untuk mendapatkan uang tebusan.

"Gereja habis di Ninewe," kata Uskup Agung Abba, mengacu pada daerah di sekitar Mosul di barat laut negara itu yang dikuasai pejuang Negara Islam pada bulan Juni. Daerah ini meliputi kota asal uskup agung itu, Qaraqosh, yang pernah menjadi tempat tinggal bagi 50.000 orang Kristen Assyria. Gereja-gereja dan apa saja yang terkait agama Kristen telah hancur. Bahkan jika penjajah dikeluarkan, "Saya tidak berpikir orang akan pernah kembali," katanya.

Uskup Agung menambahkan bahwa harapan terbaik Gereja untuk hidup di Irak adalah di wilayah di Kurdistan, daerah semi-otonom Kurdi di bagian utara Irak. Di daerah itu sekarang terdapat puluhan ribu orang Kristen Irak mencari perlindungan dari serangan ISIS.

Seperti banyak diberitakan secara luas di media, bahwa komunitas Kristen di daerah yang dikuasai oleh ISIS diberi pilihan untuk masuk menjadi Islam dan tunduk pada hukum syariah menurut interpretasi mereka, atau membayar pajak agama, atau mereka dihukum mati.

Warga Kristen tidak memiliki pihan dari tawaran yang serba mengerikan itu, dengan memilih meninggalkan tanah mereka. Mereka pergi ke negara lain sebagai imigram atau berlindung di wilayah yang diperintah secara otonom oleh Kurdi.

Masa depan mereka jauh lebih sulit, secara sosial, apalagi politik. Akibatnya,  banyak yang melihat pilihan untuk meninggalkan negeri itu dan kehilangan jejak komunitas yang telah berlangsung 2.000 tahun, atau menjadi bagian dari warga di Kurdistan. Jika yang kedua menjadi pilihan, akan mendorong independensi Kurdi.

Baca berikutnya: Irak (bagian IV): Lahir Negara Kurdistan?

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home