Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 08:37 WIB | Rabu, 12 Agustus 2015

Jawa, Prioritas Penanggulangan Bencana Kekeringan

Ilustrasi: pembagian air di wilayah yang mengalami kekeringan. (Foto: bnpb.go.id)

BOYOLALI, SATUHARAPAN.COM - Rapat penanggulangan bencana kekeringan tahun 2015 yang dihadiri Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Kementerian Pertanian menyepakati beberapa provinsi yang menjadi prioritas penanggulangan adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Tindak lanjut yang akan dilakukan antara lain membuat hujan buatan dengan posko di Lanud Halim Perdanakusuma. "Namun, metode ini juga bergantung pada awan yang bisa disemai, sehingga sangat bergantung pada informasi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika)," kata Syamsul Maarif, Kepala BNPB, dalam rapat yang berlangsung pada hari Senin (10/8).

Rapat juga merekomendasikan kampanye hemat air. Masyarakat diharapkan bijak dalam menggunakan air untuk keperluan sehari-hari dan keperluan untuk ternak.

Setelah menghadiri rapat di Kementerian Pertanian, Kepala BNPB langsung menuju Desa Sumur, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.

Desa Sumur terbagi menjadi 18 rukun tetangga (RT) dan masyarakat sangat mengandalkan air hujan untuk keperluan sehari-hari dan ternak. Hampir tidak ada sumur di desa itu, dan pada waktu musim kemarau sungai menjadi kering.

Petugas, terkait dengan metode geolistrik, telah memeriksa kandungan air di dalam tanah dengan hasil kandungan air sangat sedikit. Kalaupun dilakukan pengeboran, air yang didapatkan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Kesulitan air memang menjadi masalah di wilayah itu setiap tahun. Sebagian besar masyarakat membeli air untuk kebutuhan hidup sebelum ada bantuan pembagian air.

Di Desa Karanganyar, Kecamatan Musuk, masyarakat mendapatkan bantuan social corporate responsibility (CSR) dari Pertamina, yang membuatkan embung (kolam penampungan air) untuk pertanian bagi sentra pemberdayaan tani desa.

Embung dengan luas 80x80 m itu dibuat dengan menggunakan dua alat berat dan pembuatannya membutuhkan waktu lebih dari dua bulan, menelan biaya kurang lebih Rp 350 juta. Embung berkedalaman 3 m, dengan lapisan geomembran yang bisa tahan sampai 25 tahun tidak bocor. Namun, embung itu hanya untuk keperluan pertanian, belum bisa digunakan untuk kebutuhan minum masyarakat

Pembagian air bersih untuk keperluan minum masyarakat desa dilakukan dengan mengirimkan satu tangki air ke setiap musala di setiap desa. Perlu diketahui, satu tangki air itu hanya cukup untuk satu keluarga dalam satu minggu, untuk keperluan keluarga dan ternak.

Pemerintah dalam satu hari, mampu mengedrop sebanyak empat kali, mengingat jarak pengambilan air 8 km.

Masyarakat di wilayah itu, sudah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi musim kemarau. Kearifan lokal diwujudkan dengan membuat embung dan kolam tadah hujan, untuk memenuhi kebutuhan air di waktu kemarau. Sebagian warga sudah membuat kolam tadah hujan di setiap rumah, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ternak selama kemarau.

Menurut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, masyarakat Jawa Tengah sudah menyadari bencana kekeringan setiap tahunnya. "Melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakat, mereka sudah tangguh dalam menghadapi bencana kekeringan ini, namun media terlalu sering mengekspose berita tersebut, sehingga muncul empati masyarakat terhadap masyarakat lainnya," katanya.

“Dalam jangka panjang, pembuatan embung/tandon dalam skala besar akan dilakukan dengan menyedot air dari sumber atau sungai, yang diletakkan di dataran tinggi, kemudian air akan dialirkan ke masyarakat di bawahnya,”  kata Ganjar.

Sementara itu, Kepala BNPB berpendapat ada empat cara mengatasi masalah, yakni hujan buatan, tangkinisasi (droping air minum), embungnisasi, desalinasi. (bnpb.go.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home