Loading...
ANALISIS
Penulis: Woro Wahyuningtyas 00:00 WIB | Sabtu, 05 Maret 2016

Jihad Melawan HIV-AIDS

Penulis dan bukunya [Foto: Woro Wahyuningtyas]

Jakarta, Satuharapan.com -  HIV-AIDS pernah menjadi momok bagi banyak orang, sangat mungkin masih sampai hari ini. Virus yang menyerang daya tahan tubuh ini sering pula masih disalahpahami oleh banyak kalangan, baik terpelajar maupun tidak. Salah paham tersebut acap kali menjadikan orang melakukan diskriminasi dan stigma negatiF kepada orang dengan HIV-AIDS. Lalu, bagaimana dengan anak-anak? Anak-anak yang tidak pernah menginginkan dilahirkan, bahkan tidak juga pernah tahu dan mau dalam tubuhnya ada virus tersebut, tidak luput dari stigma dan diskriminasi.

Ingatan saya kembali pada 6 tahun yang lalu. Saat saya masih bekerja untuk sebuah Lembaga non pemerintah yang fokus pada isu kesehatan. Suatu saat, seorang kepala desa menelpon saya untuk menyampaikan bahwa salah satu warganya yang masih balita mendapatkan perlakuan diskriminasi di kampung tersebut. Singkatnya, dalam tubuh anak tersebut terdapat virus HIV.

Tidak berselang lama tim kami mendatangi kepala desa tersebut dan berbincang. Dari perbincangan kami, diketahui bahwa anak tersebut dilarang ikut “timbangan” dalam posyandu dan juga mengikuti sekolah PAUD. Tidak mudah tentu menjelaskan ini semua kepada warga masyarakat. Bahkan pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) tidak punya keberanian (atau tidak punya kemampuan?) mengumpulkan warga dan menjelaskan apa itu HIV-AIDS dan cara penularannya. Pun, informasi soal penyakit ini “bocor” dari petugas Dinas Kesehatan itu sendiri. Tetapi, dalam sebuah pertemuan dan diskusi yang padat, masyarakat akhirnya bisa mengerti dan berhenti melakukan diskriminasi.

Info Buku:

Judul: Giving Empathy

Penulis: Max Andrew Ohandi

Penerbit: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta 2016

Format: Buku Saku (12X18,5 Cm), xx + 110 halaman

Buku Giving Empathy yang disusun Max Andrew Ohandi dari kumpulan tulisan pengalaman berinteraksi dengan orang yang terinfeksi virus HIV. Buku ini cukup jelas menceritakan, setiap pergumulan dan perjuangan manusia, dewasa maupun anak-anak dalam mengalahkan stigma dan diskriminasi karena virus dalam tubuhnya.

 

Adil Sejak Dalam Pikiran

Ungkapan ini sepertinya sangat mudah untuk dijalankan, adil sejak dalam pikiran, adalah sebuah ungkapan yang punya nilai sangat kuat dari seorang penulis kenamaan Pramoedya Anata Toer. Berpikir adil memang tidak mudah, apalagi soal penderita HIV-AIDS. Walaupun pengetahuan telah mudah diperoleh, sumber pengetahuan bisa ada dalam genggaman setiap saat, tetapi tidak menjadi jaminan kita bisa bersikap adil sejak dalam pikiran kita.

Bagaimana mungkin, kita bisa berpikir bahwa anak yang menderita HIV adalah anak yang terkutuk. Tetapi itulah kenyataannya, paling tidak ini tergambar dalam buku Giving Emphaty. Dalam sebuah kesaksian seorang ibu yang memiliki anak dengan HIV harus berpindah tempat tinggal sebanyak 4 kali, setelah masyarakat sekitar mengetahui dalam tubuh mereka bersarang virus.

Kisah lain yang tidak kalah menyedihkan, karena kegagalan sebuah perusahaan bersikap adil adalah dipecatnya seorang karyawan setelah ada cek kesehatan masal di perusahaan tersebut. Seorang lelaki yang memiliki kemampuan, keterampilan dan disiplin yang baik harus dipecat karena mengidap HIV.

Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 5 tahun 2008 secara tegas telah menyatakan bahwa penderita HIV AIDS layak diperlakukan setara dan tanpa diskriminasi. Pada praktiknya, hal ini tidak mudah dimengerti dan dilakukan oleh beberapa institusi, Lembaga maupun perusahaan pemberi kerja.

Sesat pikir akan proses penularan HIV sering menjadi dasar beberapa orang, Lembaga maupun pelayan pemerintah melakukan diskriminasi bagi penderita. Saya yakin, tidak ada seorang pun ingin dan mau ada virus ini dalam tubuhnya. Dalam konteks nasihat Pram, untuk bisa adil kepada mereka memang diperlukan pengetahuan yang cukup, serta hati yang penuh kasih dalam memperlakukan manusia.

 

Jihad

Perkembangan virus HIV dan meningkatnya penderita AIDS terus terjadi di Indonesia. Setidaknya data tersebut bisa kita peroleh secara lengkap sampai tahun 2014. Dalam situs Komisi Penanggulangan AIDS, data paling baru adalah laporan pada tahun 2014. Tercatat sebanyak 22.869 orang HIV dan 1.876 AIDS. Memang data ini lebih kecil jika dibandingkan tahun 2013 sebanyak 29.037 orang HIV dan 6.266 orang mengidap AIDS.

KPAN menulis bahwa perkembangan endemic HIV di Indonesia makin stabil. Hal ini tentu tidak boleh membuat lengah, terbukti tagline situs ini juga cukup menggugah “saatnya semua bertindak”. Tagline ini seperti upaya untuk mengajak semua pihak peduli pada persoalan kesehatan yang satu ini. Bagi saya, ini adalah ajakan untuk melakukan jihad.

Dalam kamus bahasa Arab terjemahan sehari-hari dan lebih operasional, Jihad bisa diartikan berjuang dengan sungguh-sungguh. Dalam kasus HIV-AIDS inilah kita seluruh elemen diajak untuk berjuang sungguh-sungguh untuk memanganinya.  Apa yang sekiranya bisa lakukan sebagai orang awam?

Beberapa catatan yang bisa saya tuliskan adalah; pertama, mempelajari benar soal HIV-AIDS, hal ini bisa menjadi pintu masuk kita untuk tidak melakukan stigmatisasi dan juga diskriminasi kepada penderita; kedua, memberikan informasi yang baik, atau seimbang kepada komunitas di mana kita berada, dengan demikian pemahaman yang baik soal HIV-AIDS bisa makin banyak dipahami orang. Ketiga, jika ada di sekitar kita penderita HIV-AIDS, sebisa mungkin kita tidak melakukan diskriminasi, jika menggunakan istilah dalam buku iki, kita bisa memberikan empati.

Persoalan HIV-AIDS memang tidak bisa dianggap sebagai persoalan enteng. Walaupun data tahun 2014 menunjukkan penurunan jumlah penderita, tetapi HIV-AIDS ini adalah fenomena gunung es, diduga lebih banyak kasus yang tidak tercatat atau terlapor karena ketidaktahuan atau tidak sadar orang mengidap HIV dan juga AIDS. Sebaran penderita juga semakin banyak, selama ini HIV-AIDS sering dianggap sebagai penyakit untuk “orang nakal”, tetapi sejak tahun 2014 trend penularan menyebar pada anak dan perempuan ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya. Dengan fakta ini, adilkah kemudian jika kita masih berpikir HIV-ADIS adalah penyakit “orang nakal”.

Dalam buku Giving Empathy ini, kita bisa belajar untuk mendapatkan pembelajaran tentang HIV-AIDS dengan baik. Tulisan yang ringan membuat kita ingin terus membaca, dan pesan pengetahuan tentang penyakit ini bisa sampai. Beberapa tulisan juga menceritakan pengalaman berbagi informasi yang benar, setidaknya hal ini kita bisa baca dalam halaman 27, bagaimana penderita bisa menjadi saluran informasi soal pengetahuan HIV-AIDS. Pembelajaran cara bersikap dan bergaul dengan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) banyak kita dapati dari buku merah kecil ini. Memberikan empati, seperti kata judul buku ini menjadi sebuah ajakan dan formula yang pas dalam rangka jihad terhadap HIV AIDS.  

Akhirnya, buku kecil ini memiliki refleksi yang besar untuk perjumpaan kepada ODHA terutama untuk anak-anak, jika jihad menjadi kata yang tepat untuk menanggulangi penularan HIV-AIDS, sikap empati adalah jalan menuju kesana. Selamat belajar berempati, khususnya untuk anak dengan HIV-AIDS!  

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home