Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 21:29 WIB | Senin, 26 Januari 2015

“Kartun Charlie Hebdo Karya Adiluhung”

Andar Nubowo (baju biru) saat menjadi pembicara dalam diskusi "Freedom of Speech and Expression is Not Without Limit?" di Kantor DPP Muhammadiyah, Jakarta pada Senin (26/1). (Foto: Dok.Satuharapan.com/Elvis Sendouw)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tragedi penembakan dewan redaksi majalah satir Prancis Charlie Hebdo beberapa waktu lalu menuai kontroversi hebat oleh masyarakat global. Dunia seakan menganggap tragedi ini adalah pertentangan dua ekstremis yang berbeda.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin mengatakan, tragedi Charlie Hebdo oleh Kouachi bersaudara telah merusak tatanan dunia. Oleh karena itu, Din menegaskan wajar jika kini di banyak negara Islam muncul berbagai reaksi karena persoalan ini menyangkut simbol kesucian agama.

Berbeda pandangan dengan Din Syamsuddin, Direktur Eksekutif IndoStratregi Andar Nubowo mengatakan karikatur-karikatur yang dibuat oleh satiris Charlie Hebdo sebenarnya merupakan sebuah karya yang adiluhung.

“Jadi ini sebuah karya seni dan kreativitas yang bernilai rasa tinggi. Orang bisa membuat kartun yang membuat orang lain ketawa itu sulit. Dan orang yang bisa memahami kartun itu punya jiwa seni tinggi hanya orang yang punya pendidikan tinggi. Orang yang bisa memahami hanyalah orang yang berasimilasi dengan budaya demokrasi,” kata Andar kepada satuharapan.com saat ditemui seusai diskusi “Freedom of Speech and Expression is Not Without Limit?” di Kantor DPP Muhammadiyah, Jakarta pada Senin (26/1).

Pelaku-pelaku pembunuhan dewan redaksi pun menurut pandangan Andar adalah orang-orang yang tidak menggunakan akal sehat.

“Bagi kita yang terbiasa bergurau dan berdialog dengan perbedaan, hal tersebut tak menjadi masalah,” kata Andar.

Menurut Andar, dalam dunia yang global dan demokratis, kritik setajam apa pun justru menyiratkan makna kebaikannya.

Kritik yang dilakukan dewan redaksi Charlie Hebdo pun merupakan menurutnya merupakan kritik terhadap radikalisme Islam yang bergejolak di mana-mana.

“Bagi yang tidak paham, kritik memang menjadi ancaman, pelecehan, dan penghinaan,” katanya.

Sejalan dengan hal itu, menanggapi kasus Jakarta Post yang hampir mirip dengan kasus Charlie Hebdo terhadap penggambaran kartun Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS/ISIL), Andar berpandangan bahwa Indonesia seharusnya tidak marah dengan hal itu.

“Ketika ISIS dikarikaturkan dalam harian Jakarta Post, seharusnya orang Indonesia tidak marah. Kalau orang Indonesia marah karena alasan simbol agama, berarti orang Indonesia agak pro dengan apa yang dilakukan oleh ISIS. ISIS kan gerombolan politik yang melakukan tindak kekerasan atas nama agama untuk tujuan kelompok. Mengapa kita marah? Kita justru harus marah dengan ISIS,” ujarnya.

Multitafsir

Namun, Andar mengakui bahwa sebuah karya memang multitafsir. “Bagi Indonesia, kulturnya memang harus dipahami,” katanya. Di Indonesia, kebebasan berekspresi sendiri harus bertanggung jawab.

“Jadi tidak ada kebebasan tanpa batas jika kita berbicara kultur Indonesia. Kan beda kultur Indonesia dengan Prancis. Dalam konteks Indonesia karena tradisi agama sangat kental, perlu hati-hati karena isu ini menjadi isu sensitif,” Andar menambahkan.

Lebih lanjut, Andar berharap agar Presiden Joko Widodo beserta jajaran pemerintah Indonesia lebih peduli dengan isu-isu yang berkaitan dengan keberagaman, agama, identitas bangsa, dan sebagainya.

“Jangan hanya persoalan ekonomi, investasi, dan hal-hal teknis saja yang menjadi fokus,” katanya.

Jokowi pun menjelang 100 harinya dinilai Andar kurang membangun harmoni dengan civil society

Editor : Bayu Probo

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home