Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 20:28 WIB | Selasa, 15 September 2015

Keberadaan Delik Korupsi dalam RUU KUHP Ditolak

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Romli Atmasasmita. (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Romli Atmasasmita, menilai delik tindak pidana korupsi (tipikor) harus ditarik dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, RKUHP tidak memperhatikan asas keadilan bagi pelaku tipikor.

“Korupsi, narkotika, human trafficking, dikeluarkan saja sudah dari RKUHP.  Jadi kembalikan saja ke UU khusus. Kemudian KUHP di upgrade saja dengan perkembangan sekarang,” ujar Romli dalam Forum Legislasi dengan tema ‘Revisi UU KUHP’, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Selasa (15/9).

Menurut dia, ancaman hukuman maksimal dalam UU khusus, seperti di UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor mencapai 20 tahun. Namun, dalam RKUHP yang telah diajukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), hanya 15 tahun.

“Ini bagiamana ancamannya lebih ringan,” ujar Romli.

Lebih lanjut, Romli menawarkan mekanisme penarikan seluruh tindak pidana kejahatan bersifat khusus dari RKUHP. Selain delik tipikor, narkotika dan obat terlarang, pencucian uang, penjualan orang (human trafficking), people smuggling, serta terorisme harus ikut ditarik dari RKUHP.

Dengan begitu, menurut dia, RKUHP hanya akan diisi sejumlah kejahatan bersifat bisa, sebagaimana tertuang dalam KUHP yang saat ini berlaku. Artinya, DPR bersama Pemerintah cukup memperbaharui aturan terhadap perkembangan kejahatan, seperti cyber crime.

“Menurut saya ini kita menarik mundur, yang jauh ke depan kita tarik mundur aturan. Kalau kita menganggap narkoba, korupsi, human trafficking, terorism, tidak mungkin disamakan dengan kejahatan lampau. Kita tidak mungkin memasukan kejahatan dalam kodifikasi seperti ini yang sifatnya khas. Saya sarankan kembalikan yang sifatnya khas, sesuai tempatnya. Biarkan RKUHP seperti KUHP yang ada,” ujar Romli.

Dia pun menyampaikan sistem kodifikasi parial lebih tepat digunakan dalam RKUHP, daripada kodifikasi total. Selain akan mempercepat pembahasan dan mempertahankan UU bersifat khusus, sistem kodifikasi parsial juga membuka kemungkinan lembaga lain bekerja sesuai peran dan fungsinya.

Misalnya, kata Romli, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketika delik tipikor ditarik dari RKUHP, maka UU KPK harus dilrevisi. Dengan catatan, melakukan penguatan peran dan fungsi lembaga KPK, bukan malah memperlemah. Sebab, ancaman hukuman dalam UU yang bersifat khusus jauh lebih tinggi ketimbang yang tertuang dalam RKUHP.

“UU bersifat khusus dicabut saja, saya sudah bicara ke Profesor Muladi. Jadi keluarkan saja semua aturan khusus,” ujar dia.

13 Pasal Hilang

Senada, Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hemahua, berpendapat KUHP harus menjadi payung hukum terhadap sistem pemidanaan di Indonesia. Sayangnya, tim penyusun lebih mengedepankan kodifikasi tertutup. Berdasarkan kajiannya, sebanyak 13 pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor masuk dalam RKUHP, yang artinya langsung membatalkan 13 pasal dalam UU Tipikor.

“Ketika pemberlakuan pasal korupsi masuk dalam RKUHP, maka kewenangan KPK pun akan berkurang, bahkan mungkin hilang. Buntutnya, UU KPK tidak ada, maka lembaganya juga tidak ada. Sehingga terkesan lahirnya RKUHP ada opini menggiring melemahkan lembaga khusus seperti KPK,” kata dia.

Meski begitu, Abdullah menyampaikan KPK tidak pernah alergi dengan revisi terhadap UU Nomor30 Tahun 2002 tentang KPK, sepanjang hal tersebut bertujuan untuk menguatkan kewenangan lembaga, peran dan fungsinya. Dengan begitu, kejahatan yang bersifat khusus tetap ditangani dengan UU di luar KUHP. “Sehingga bisa diamandemen UU khusus dan RKUHP tidak perlu diamandemen,” kata dia.

Sepakat Kodifikasi Parsial

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengatakan  penyusunan RKUHP dengan sistem kodifikasi tidak melemahkan kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung. Meskipun, masuknya sejumlah delik tipikor dalam RKUHP disebut akan mengurangi kewenangan dua lembagaan itu menangani kasus korupsi.

“Bahwa ada kecurigaaan dalam RKUHP bisa melemahkan, saya berpendapat itu tidak berdasar karena ini pemahaman,” ujar dia.

Meski begitu, Arsul menyatakan, sejumlah masukan dari berbagi stakeholder akan menjadi pertimbangan dalam pembahasan antara Komisi III DPR RI dengan Pemerintah. Dia pun mengaku setuju dengan usulan Romli untuk menggunakan sistem kodifikasi parsial. Sebab, sistem tersebut jauh lebih realistis dalam mempercepat pembahasan RKUHP.

“Kalau sudah disepakati kodifikasi parsial dengan pemerintah maka akan dikeluarkan yang khusus,” tutur Arsul.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home