Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 07:52 WIB | Jumat, 26 Juni 2020

Kelompok HAM Desak Iran Hentikan Penyiaran “Pengakuan Paksa”

Penjara di Iran (Foto: Anadolu)

PARIS, SATUHARAPAN.COM-Iran harus mengakhiri "pengakuan paksa" pada para tahanan yang disiarkan di televisi milik negara, dua kelompok hak asasi manusia mendesak, hari Kamis (25/6). Alasannya, itu sama dengan penyiksaan dan para pelaku harus mengambil risiko akibat hukum di luar negeri.

Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) yang berpusat di Paris dan organisasi anggotanya Justice for Iran (JFI), sebuah kelompok akuntabilitas peradilan yang berbasis di London, mengatakan analisis mereka menunjukkan bahwa antara tahun 2009 dan 2019, media pemerintah Iran menyiarkan pengakuan secara paksa sedikitnya pada 355 orang.

Mereka juga menyiarkan konten yang memfitnah terhadap setidaknya 505 orang, mereka menambahkan. Hal itu menghancurkan kredibilitas mereka sebagai organisasi berita yang sah.

"Penggunaan pengakuan paksa yang disiarkan oleh media milik negara telah secara sistematis digunakan oleh otoritas Iran untuk menekan perbedaan pendapat selama beberapa dekade," kata Sekretaris Jenderal, FIDH, Adilur Rahman Khan.

"Sudah waktunya bagi komunitas internasional untuk menekan Iran agar mengakhiri praktik ini, yang merupakan sumber dari banyak pelanggaran hak asasi manusia," tambahnya.

Bahkan Pernyataan Palsu

Laporan mereka mengatakan bahwa pengakuan paksa telah "disiarkan secara sistematis" oleh media milik pemerintah Iran "untuk menanamkan rasa takut dan menekan perbedaan pendapat."

"Para korban mengungkapkan bahwa mereka tidak hanya menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan buruk untuk memaksa mereka mengaku, yang sering kali dilakukan dengan pernyataan palsu, di depan kamera. Tetapi lebih jauh lagi, penyiaran pengakuan ini menyebabkan rasa sakit dan penderitaan yang sangat besar," kata kedua organisasi.

Laporan itu menuduh bahwa metode untuk memaksa pengakuan termasuk "siksaan fisik" seperti cambuk, digantung di tangan, dan disetrum. Tetapi mereka mengatakan itu juga "siksaan psikologis" seperti kurungan isolasi jangka panjang, eksekusi palsu, ancaman pemerkosaan dan pemaparan yang disengaja dengan kondisi penjara yang buruk.

IRIB dan Press TV

Sasaran siaran termasuk pembela hak asasi manusia, jurnalis, aktivis etnis minoritas, pembangkang politik dan dua warga negara. Dalam “pengakuan paksa,” seorang terpidana atau tersangka ditempatkan di depan kamera dan mengakui tuduhan tersebut.

Taktik lain yang digunakan oleh program siaran TV Iran adalah membuat tuduhan sensasional tentang tersangka yang ditahan, yang oleh kelompok HAM dianggap sebagai fitnah.

Laporan tersebut menuduh penyiar negara Republik Islam Iran Broadcasting (IRIB) "aktif terlibat dalam produksi sistematis dan penyiaran pengakuan paksa" serta pencurian data pribadi dan penerbitan konten yang memfitnah. "IRIB telah lama kehilangan fungsinya sebagai organisasi media dan telah menjadi sarana penindasan massal," kata laporan itu.

Laporan tersebut memilih saluran internasional IRIB, Press-TV, yang mengudara dalam bahasa Prancis dan Inggris, sebagai "produser dan penyiar program pengakuan dan pemfitnahan paksa terbesar terhadap aktivis Iran dan masyarakat sipil."

JFI selama bertahun-tahun terakhir merekam siaran setidaknya 70 pengakuan paksa tahanan Iran oleh Press TV, katanya.

Wakil Direktur JFI, Mohammad Nayyeri, meminta Uni Eropa untuk menangguhkan masuknya pejabat dan wartawan yang berafiliasi dengan IRIB ke Eropa serta operasi mereka sampai praktik tersebut dihentikan. "Iran telah lama lepas dari tanggung jawab untuk memaksa pengakuan paksa," katanya.

"Sementara televisi yang dikelola pemerintah Iran terus-menerus menayangkan program yang merupakan produk penyiksaan dan intimidasi, wartawan IRIB bebas bepergian dan beroperasi di Eropa tanpa konsekuensi," katanya.

FIDH dan JFI berpendapat bahwa masyarakat internasional harus mengakui penyiaran “pengakuan paksa” dapat merupakan bentuk penyiksaan dan mendesak negara-negara asing untuk mengadopsi hukum untuk menuntut mereka yang bertanggung jawab, di bawah prinsip yurisdiksi universal. (AFP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home