Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 08:03 WIB | Selasa, 09 Desember 2014

Keluarga Sandera Afsel Ampuni Militan Al-Qaeda

Istri Pierre Korkie, Yolanda (tengah) dan dua anaknya. (Foto: Conrad Bornman)

JOHANNESBURG, SATUHARAPAN.COM – Keluarga dari seorang guru Afrika Selatan yang disandera oleh para militan Al-Qaeda di Yaman selama lebih setahun mengatakan pihaknya memberi maaf setelah ia terbunuh dalam usaha penyelamatan akhir pekan yang gagal oleh pasukan Amerika Serikat, hanya sehari sebelum dibebaskan dari penyekapan.

Pierre Korkie, 57 tahun, disandera bersama dengan istrinya Yolanda pada Mei 2013 di Taiz, kota kedua Yaman, oleh para anggota Al-Qaeda di Jazirah Arab.

Yolande dibebaskan Januari menyusul mediasi yang dilakukan organisasi amal “the Gift of the Givers”, yang menyatakan pihaknya juga merundingkan pembebasan Pierre, yang hanya beberapa jam ketika pasukan AS melancarkan operasi untuk membebaskan seorang sandera AS oleh para militan yang sama.

Baik Korkie maupun sandera AS itu, wartawan foto Luke Somers, dibunuh oleh para militan dalam serbuan itu.

Jasad Korkie akan diterbangkan ke kampung halamannya di Afrika Selatan Senin malam.

“Hari ini kami memilih untuk memaafkan. Kami memilih untuk mencintai. Kami memilih dengan rasa riang untuk mengingat saat-saat bersama Pierre dan tetap hidup dalam lubuk hati kami,” ujar janda Korkie Yolanda dalam satu pernyataan Minggu (7/12).

Dia mengatakan “tungku perapian” suaminya selama 19 bulan dalam penyanderaan telah “berkobar tanpa belas kasihan dan menyala-nyala”.

“Dus saya harus benar-benar berpikir sangat keras dan lama untuk melakukan pendekatan tepat menghadapi penderitaan ini.”

“Walaupun penderitaan ini sekarang besar sekali bagi kami, kami memilih untuk meyakini bahwa ini akan berlalu,” kata dia.

Dalam satu pernyataan Senin, kedutaan besar As di Pretoria mengirim ucapan belasungkawa kepada keluarga Korkie dan mengatakan kedua negara itu “berbagi penderitaan” atas kehilangan warga negara akibat tindakan para ekstremis.

“Insiden yang memilukan ini merupakan pengingat perlunya bagi semua pemerintah untuk bersatu melawan ancaman bersama terhadap semua warga negara kita,” kata mereka.

Keluarga Korkie mengatakan ia disandera selama 558 hari. Selama itu mereka berkali-kali berjanji akan melepaskannnya dan menyatakan prihatin atas kesehatannya, dengan menyatakan bahwa dia menderita hernia dan menjadi tuli ketika dalam penyanderaan.

AS Klaim Tidak Tahu Rencana Pembebasan Sandera Yaman

Pemerintah Amerika Serikat tidak mengetahui pembicaraan untuk membebaskan seorang sandera asal Afrika Selatan di Yaman yang tewas dalam penggerebekan pasukan khusus, menurut pernyataan duta besar AS untuk Afrika Selatan pada Senin.

Pierre Korkie (57), seorang guru asal Afrika Selatan yang diculik militan Al Qaeda di Yaman lebih dari setahun silam, tewas pada Sabtu, hanya beberapa jam sebelum dia direncanakan untuk dibebaskan.

Organisasi bantuan Afrika Selatan Gift of the Givers mengatakan pihaknya melakukan negosiasi agar Korkie dibebaskan dan memberi tahu istri korban, Yolanda, bahwa sang suami akan segera pulang.

Namun, duta besar AS Patrick Gaspard mengatakan kepada sebuah stasiun radio bahwa AS “sama sekali tidak mengetahui” mengenai rencana pembebasan Korkie.

“Pemerintah Amerika Serikat sama sekali tidak mengetahui mengenai negosiasi antara Gift of the Givers dan para penculik Al-Qaeda yang brutal,” ujar Gaspard kepada stasiun radio 702.

Ia mengatakan bahwa AS juga tidak mengetahui Korkie disandera di lokasi yang sama dengan Luke Somers, jurnalis foto AS yang juga kehilangan nyawa dalam penggerebekan oleh pasukan khusus AS pada Sabtu di provinsi Shabwa, Yaman tenggara.

Jurnalis: AS harus Hindari Aksi Militer dalam Penyanderaan

Sebuah grup jurnalis pada Sabtu meminta Amerika Serikat untuk mencari cara alternatif selain aksi militer dalam menangani penyanderaan, setelah seorang warga Amerika dan seorang warga Afrika Selatan tewas dalam upaya penyelamatan gagal di Yaman.

Luke Somers, seorang jurnalis foto asal Amerika, dan Pierre Korkie, seorang guru, tewas pada Sabtu pagi dalam operasi penyelamatan yang gagal dilakukan di provinsi Shabwa di Yemen tenggara.

Reporters Without Borders mengatakan hasil tragis dalam penyanderaan oleh ekstremis menjadi makin sering terjadi, menggarisbawahi bahaya yang dihadapi jurnalis.

“Kami kembali mendesak pemerintah Amerika Serikat, yang mengumumkan niatnya untuk meninjau kembali kebijakannya soal penyanderaan, untuk mencari cara alternatif selain pilihan militer dan agar berupaya menjamin keselamatan warga sipil” kata Christophe Deloire, sekretaris jenderal Reporters Without Borders.

“Peninjauan kembali ini harus dilakukan atas dasar konsultasi dengan para mantan sandera, baik warga Amerika Serikat atau pun warga asing, dengan keluarga, jika mereka mau, dan dengan para pegawai serta LSM terkait.”

Grup badan amal Gift of the Givers mengatakan pihaknya sebelumnya sedang bernegosiasi untuk mengamankan pembebasan Korkie dan memperkirakan dia akan bebas paling cepat pada Sabtu ketika operasi penyelamatan itu diintervensi.

Presiden Barack Obama mengatakan dia mengizinkan operasi itu karena ada indikasi bahwa Somers sedang dalam bahaya.

Dalam sebuah video pekan ini, Al Qaeda di Semenanjung Arab mengancam akan mengeksekusi Somers dalam 72 jam ke depan.

Somers, yang diculik pada September 2013 adalah jurnalis ketiga dari Amerika yang tewas tahun ini dalam penyanderaan oleh ekstremis Islam.

Dua jurnalis AS, James Foley and Steven Sotloff, petugas bantuan Amerika Peter Kassig dan petugas bantuan asal Inggris Alan Henning dan David Haines semuanya dipenggal di Suriah oleh ISIS. (AFP)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home