Loading...
EKONOMI
Penulis: Ignatius Dwiana 19:26 WIB | Senin, 23 Juni 2014

Ketiadaan Standar Makanan Halal Sulitkan Pelaku Industri

Makanan berlabel halal di pasar swalayan di Perancis. (Foto: voaindonesia.com/Reuters.com)

SATUHARAPAN.COM – Ketiadaan penerapan standar global makanan halal mengakibatkan perusahaan-perusahaan global menghadapi biaya-biaya produksi yang lebih tinggi. Mereka harus mematuhi standar proses nasional yang beragam bahkan di satu negara yang sama. Hal ini menjadi kendala terbesar perusahaan-perusahaan seperti Mondelez International, Nestle dan Unilever PLC.

Ada upaya selama bertahun-tahun dari pihak berwenang Muslim untuk memberikan standar global terkait makanan halal. Karena selama ini kurang ada standar yang seragam mengenai yang disebut makanan halal.

"Adanya begitu banyak standar jelas tidak baik. Ini membingungkan," kata Jamil Bidin, kepala eksekutif Korporasi Pengembangan Industri Halal, sebuah lembaga yang terkait dengan pemerintah Malaysia.Seperti diberitakan pada Minggu (15/6).

Malaysia dianggap banyak negara Muslim sebagai pemimpin global dalam  pemrosesan makanan halal karena pengalaman sertifikasi yang mapan dan industrinya yang berkembang.

Islam mewajibkan Muslim untuk mempraktekkan mengkonsumsi produk halal, dan, pada yang paling dasar, yang berarti makanan dan minuman yang tidak mengandung alkohol atau babi. Untuk dianggap halal, ternak harus disembelih dengan menyerukan nama Allah.

Kegagalan mengatasi perbedaan ini membuat perusahaan-perusahaan terkena risiko menggunakan bahan-bahan yang diperbolehkan satu standar tetapi tidak dengan standar yang lain. Seperti yang menimpa produsen coklat Cadbury di Malaysia. Produknya disebut teruji positif memiliki kandungan babi sehingga menjadi sorotan.

Para eksekutif industri mengatakan kejadian itu diakibatkan kurangnya standar global dan regional sehingga menghambat potensi industri. Di saat yang sama negara-negara seperti Jepang dan Australia juga terjun ke dalam pasar halal ini untuk memenuhi meningkatnya jumlah wisatawan Muslim.

Pasar untuk memproses, memproduksi, dan mendistribusikan makanan dan minuman halal akan tumbuh menjadi industri senilai 1,6 triliun dolar Amerika Serikat pada 2018 dari 1 triliun dolar Amerika Serikat pada 2012, menurut DinarStandard, perusahaan riset khusus pasar-pasar Muslim.

"Kami menyambut upaya-upaya untuk menjamin konsistensi dalam sertifikasi halal dan akan mendukung standar global, atau mungkin standar regional yang lebih luas, untuk membantu menyederhanakan lanskap ini," kata juru bicara perusahaan induk Cadbury, Mondelez.

Perusahaan-perusahaan makanan besar juga sedang meningkatkan investasi dan keahlian mereka dalam produk makanan halal. Mereka membidik penduduk Muslim yang diperkirakan tumbuh pesat, bertambah satu miliar pada 2050 dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan pendapatan.

Sensitivitas

Standar halal adalah topik emosional di negara-negara Muslim, seperti masalah Cadbury baru-baru ini di Malaysia.

Beberapa kelompok konsumen Muslim menyerukan memboikot semua produk Cadbury dan Mondelez setelah kementerian kesehatan mengatakan telah menemukan jejak DNA babi dalam coklat Dairy Milk.

Berita itu menghasilkan sebuah kehebohan secara online dan meminta beberapa kali pengujian dari pihak berwenang negara tetangga Indonesia yang merupakan rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia, hingga Arab Saudi tempat kelahiran agama Islam.

Selanjutnya pengujian oleh lembaga urusan Islam Malaysia, satu-satunya lembaga sertifikasi halal resmi negara itu menunjukkan bahwa tes awal tidak pernah definitif dan coklat itu benar-benar halal.

Tetapi kejadian itu telah memicu perdebatan sengit di kalangan ulama Islam di Malaysia tentang zat yang berasal dari babi seperti gelatin dapat dianggap halal.

"Kami berharap tidak akan ada pengulangan kejadian semacam itu karena hal ini dapat merusak industri halal, di Malaysia khususnya," kata Othman Yusoff, ketua komite halal Federasi Produsen Malaysia.

Politik dalam negeri dan kepentingan pribadi juga telah terbukti menjadi batu sandungan sejauh ini.

57 anggota negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang menyebut dirinya sebagai suara kolektif dari dunia Muslim sedang mencoba merancang pedoman halal global dengan dukungan dari Dubai, Turki, dan Arab Saudi.

Tetapi gerakan itu, Standar dan Metrologi Lembaga Negara-Negara Islam (SMIIC), tidak mencakup Malaysia dan Indonesia yang merupakan rumah bagi pusat-pusat sertifikasi halal besar.

"Yang penting adalah ada sistem yang terhubung antara standar dan transparansi," kata Rafi-uddin Shikoh, kepala eksekutif konsultan DinarStandard yang berpusat di New York.

"Seorang eksportir yang berniat mengekspor makanan dari Sudan harus tahu dan diberi persyaratan sertifikasi halal yang mudah  dari hampir semua pasar sehingga mereka merasa dapat tumbuh berkembang."

Persaingan

Mendefinisikan yang sebenarnya disebut makanan halal merupakan perdebatan panas di kalangan ulama Islam sehingga membuat kesepakatan standar global menyulitkan.

Misalnya, tafsir yang lebih konservatif berpendapat bahwa setiap hewan harus disembelih dengan pisau genggam. Inggris memiliki dua papan sertifikasi halal utama dengan sikap yang bertentangan mengenai hewan dapat dibius sebelum disembelih.

Kesultanan Brunei memiliki tafsir yang ketat dari aturan Islam, mengirim para pemeriksa ke pabrik-pabrik tetangga di Malaysia untuk memeriksa kelayakan impor halal.

Faktor lain yang menyulitkan pencarian standar tunggal adanya persaingan sengit antar negara untuk secuil industri itu. Pembuat sereal Kellogg Co AS dan pembuat cokelat Hershey Co misalnya, sedang membangun pabrik yang sesuai standar produk halal di Malaysia dengan investasi masing-masing sebesar 130 juta dolar Amerika Serikat dan 250 juta dolar Amerika Serikat.

Dubai sedang menyiapkan pengujian dan pusat sertifikasi sehingga memperoleh  keuntungan dari bisnis halal. Malaysia telah mendorong standar sendiri, seperti yang dimiliki Turki.

Darhim Hashim, direktur Aliansi Integritas Halal International (International Halal Integrity Alliance), menyebutkan lembaganya sedang bekerja sama dengan OKI untuk menciptakan standar umum halal. Dia mengatakan ini merupakan salah satu cara mendatang untuk negara-negara Teluk, Malaysia, dan Indonesia dalam menyepakati standar minimum.

"Saya pikir secara alami sisanya akan mengikuti – mereka adalah pasar utama, pasar impor yang paling diatur," ujar Darhim Hashim. (Reuters.com)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home