Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 12:00 WIB | Minggu, 08 Januari 2017

KontraS: Pembentukan DKN Upaya Bangkitkan Budaya Orde Baru

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan bahwa KontraS menolak usulan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto terkait pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). 

Sebab, kata Haris penolakan ini terkait dengan tujuan pembentukan DKN untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM melalui musyawarah mufakat.

“Pembentukan DKN untuk menyelesaikan permasalahan tindak pidana pelanggaran HAM dengan cara musyawarah mufakat dan memandang proses penyelesaian di peradilan akan menyebabkan konflik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia merupakan strategi Wiranto menghidupkan budaya Orde Baru yang tanpa pertanggungjawaban hukum terhadap tindak kejahatan,” kata Haris dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, hari Jumat (6/1).

Menurut Haris, Wiranto memiliki agenda terselubung dengan dalih mengunakan kata ‘kerukunan’, seolah-olah Wiranto ingin menunjukkan dirinya punya niat baik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

“Padahal gagasan pembentukan DKN terlihat jelas agenda cuci tangan, melanggengkan impunitas dan menghindari pertanggungjawaban hukum atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu,” kata dia.

Haris menilai bahwa Wiranto adalah salah satu aktor yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Nama Wiranto disebutkan didalam laporan Komnas HAM; seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I dan II, Penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi 1997/1998, Biak Berdarah.

Dan yang tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah Mandate Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa, Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.

“Wiranto juga tidak bisa begerak masuk dalam yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Wathc List) di tahun 2003. Pada masa Presiden KH Abdulrrahman Wahid atau Gus Dur, Wiranto juga dipecat dari jabatan Menko Polkam, karena dugaan keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM yang berat,” kata dia.

KontraS juga mempertanyakan: sejak kapan Wiranto menjadi penafsir ilmu budaya bangsa? Kalaupun merujuk pada budaya untuk musyawarah dan mufakat, hal ini didasari pada budaya yang mana? Tindakan ini jelas semakin lucu, di berbagai persoalan perampasan tanah untuk investasi dan pembangunan, hukum dan budaya adat masyarakat nyaris tidak dilindungi.

“Sementara Wiranto menggunakan dasar budaya untuk kepentingan melindungi kejahatan Negara di mana beberapa di antaranya nama Wiranto diduga bertanggung jawab,” kata dia.

Selain itu, kata Haris perkara-perkara pelanggaran HAM masa lalu tidak bisa hanya diselesaikan melalui musyawarah. Penegakan hukum merupakan roh penting dalam pemenuhan hak-hak korban.

Pernyataan Wiranto yang menyebutkan tidak perlu penegakan hukum melecehkan konstitusi UUD 1945. Pasal 1 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Wiranto menyelewengkan Amanat Reformasi, UU HAM No. 39/1999, UU Pengadilan HAM No. 26/2000, serta berbagai instrument hukum HAM lainnya yang telah dibuat oleh Pemerintah.

“Dalam konteks visi misi politik Presiden Joko Widodo, gagasan Wiranto bertolak belakang.  Presiden Joko Widodo, dalam Nawa Cita dan RPJMN, dan pidatonya pada peringatan hari HAM, tanggal 9 Desember 2014, dan tanggal 11 Desember 2015, menyatakan bahwa dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu ada dua jalan yang bisa dilalui, yaitu lewat jalan rekonsiliasi secara menyeluruh, dan lewat pengadilan HAM ad hoc,” kata dia.

Menurut Haris, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya mempertebal nilai-nilai kemanusiaan antara relasi pemerintah dan rakyat, termasuk juga menghadirkan keberaniaan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Jalan keluarnya adalah kita semua harus punya keberanian, sekali lagi punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial maupun non yudisial,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Haris usulan Wiranto tidak dapat diterima karena itu adalah inkonstitusional. Presiden harus menghentikan agenda terselubung dari Menkopolhukam.

“Presiden harus menunjukkan niat baik dan taat prosedur hukum untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM masa lalu,” kata dia.

Selain itu, kata Haris dalam momentum ini juga menguji keberanian Presiden Jokowi untuk mencopot Menkopolhukam, karena tidak sepatutnya pihak yang harusnya dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat justru dibiarkan atau bahkan didukung oleh Presiden untuk mengambil peran penyelesaian pelanggaran HAM.

“Jika dibiarkan, Presiden Jokowi secara sadar dan nyata berkontribusi melanggengkan impunitas dan tidak berdaya dibawah control actor-actor kekerasan dan pelanggaran HAM berat di masa lalu,” kata dia.

Dalam hal ini, kata Haris, Presiden Joko Widodo, segera mengambil sikap tegas untuk meminta Kejaksaan Agung melakukan penyidikan atas kasus-kasus yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM.

“Sejalan dengan itu, Presiden dapat membentuk Komite Kepresidenan yang bertanggungjawab langsung dibawah kendali Presiden untuk membantu Presiden memperjelas skema penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden,” kata dia.

Sebelumnya Menko Polhukam Wiranto ‎mengatakan, Pemerintah segera membentuk Dewan Kerukunan Nasional. Dewan ini diakui Wiranto sudah disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Wiranto, semangat pembentukan dewan ini dilakukan karena alasan penyelesaian masalah bangsa harus didahului melalui musyawarah mufakat untuk menghindari konflik.

“Lembaga-lembaga adat yang ada di seluruh negeri ini sebetulnya nafasnya itu, menyelesaikan konflik dengan musyawarah mufakat dengan cara damai, bukan dengan konflik,” kata Wiranto dalam jumpa pers di Kompleks Istana kepresidenan Bogor, Jawa Barat, hari Rabu (4/1).

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home