Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 06:27 WIB | Kamis, 03 September 2020

Lahir Batin Bergulat Saat Pandemi

Ilustrasi (Sumber: Charlie Fischer - labourlist.org)

SATUHARAPAN.COM - Hampir enam tahun lamanya Agus bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi yang bergerak di bidang transportasi dan logistik. Statusnya kontrak.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, tidak saja sektor kesehatan, sektor ekonomi pun terdampak. Perusahaan tempat Agus bekerja tidak luput dari dampak pandemi Covid-19.

Perusahaan itu kemudian memutuskan melakukan penghematan. Hal ini berdampak pada para pekerjanya. Ada yang dimutasi, dirumahkan, hingga di-PHK. Agus sendiri diputuskan perusahaan untuk dirumahkan.

Dengan alasan perusahaan tidak sanggup membayar upah ke pekerjanya akhirnya Agus diberi keputusan untuk dirumahkan pada awal April dengan upah dibayarkan sebesar 50 persen.

“Upah sebesar itu sangat terasa sekali bagi kami para pekerja. Terutama saya yang dirumahkan. Belum tahu yang di-PHK. Apalagi di saat pandemi seperti ini, untuk mencari lowongan pekerjaan itu juga susah,” keluh Agus.

Agus sendiri sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berumur tujuh tahun. Dia pun mengetatkan pengeluaran. Kondisi ini makin berat karena selama dirumahkan oleh perusahaan, dia tak sanggup bayar kontrakan rumah tempat dia tinggal.

“Ada saudara mau meminjamkan uang untuk kehidupan kami sehari-hari. Apalagi kami ngontrak rumah. Selama dirumahkan, sudah ngutang belum bayar kontrakan rumah sama sekali,” jelas Agus.

Pandemi Covid-19 sangat berdampak bagi kelas pekerja. Hal ini dibenarkan Ketua Pengurus Pusat Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih.

Para pekerja ini rata-rata merupakan pencari nafkah utama. Ketika pandemi terjadi mengakibatkan nasib mereka tidak menentu.

“Tidak ada kesiapan dan tidak menduga sama sekali kalau akan terjadi pandemi Covid-19,” kata Jumisih.

Lembaga penelitian perburuhan Sedane menemukan sejumlah dampak yang dialami para pekerja dalam pantauannya di sejumlah titik-titik kawasan industri. Seperti di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

“Pandemi Covid-19 itu memperparah situasi. Membuat legitimasi PHK semakin kuat. Untuk tahun ini situasinya makin parah. Karena angkanya sangat besar, dua kali lipat daripada tahun-tahun sebelumnya,” jelas Syarif Arifin.

Dampak pandemi bagi kelas pekerja juga ditampilkan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam surveinya yang menyebutkan sekitar 29 juta warga Indonesia mengalami PHK pada masa pandemi Covid-19. Angka yang sama juga dikatakan Kadin Indonesia.

Sementara Bank Dunia menyebutkan 45 persen penduduk Indonesia atau 115 juta orang berpotensi miskin. Ahli ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai bahwa jumlah penduduk itu adalah golongan yang mudah terancam jatuh miskin akibat pandemi Covid-19. Seperti dilansir dari Kontan.co.id (4/5).

Situasi Kelas Pekerja

Bagaimana situasi kelas pekerja saat pandemi Covid-19 terjadi?

Saat pandemi terjadi, situasi para pekerja ada yang mengalami dirumahkan, PHK tanpa kompensasi, dan PHK dengan kompensasi. Selain ada juga pekerja yang tetap bekerja normal. Hal ini disampaikan Syarif Arifin dari lembaga penelitian perburuhan Sedane.

Para pekerja ini rata-rata pencari nafkah utama. Selain itu juga memiliki tanggungan ekonomi tidak saja ke dirinya. Walau berstatus lajang sekali pun tetapi memiliki tanggungan di keluarganya. Biasanya orang tua atau saudara.

Ketua Pengurus Pusat Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih juga menyebutkan situasi pandemi berdampak ke hal lainnya.

Para pekerja yang merupakan pendatang di titik-titik kawasan industri membutuhkan tempat tinggal. Biasanya mereka ngekos. Tetapi biaya kos ini semakin tidak sanggup dijangkau. Lalu para pekerja yang masih lajang melakukan hal ini. “Karena tidak sanggup bayar kos jadi mengumpul bersama-sama. Empat orang tinggal dalam satu kamar.”

Para pekerja yang sudah berkeluarga juga mengalami persoalan kesejahteraan lain. Seperti soal asupan gizi.

Sementara yang sudah memiliki anak yang harus bersekolah memiliki pengeluaran tambahan untuk pendidikan di saat pandemi. Seperti program belajar di rumah yang menambah pengeluaran untuk listrik dan internet. Dalam catatan Sedane, hampir rata-rata pekerja harus menambah pengeluarannya. Yang tadinya di bulan-bulan sebelumnya tidak ada.

Para pekerja di satu sisi berupaya melakukan penghematan tetapi rentan berhutang. Karena ada pengeluaran-pengeluaran tambahan yang terjadi.

“Hutangnya bisa ke temannya, ke pekerja lain, atau ke rentenir. Yang paling buruk berhutang ke rentenir,” terang Jumisih.

Sementara para pekerja yang di-PHK mencoba bertahan dengan berpindah tempat kerja.

“Dari pabrik masuk ke konveksi. Tetapi di konveksi juga tidak bertahan lama karena pekerjaan di konveksi menurun. Karena itu ada yang menjadi pedagang. Berjualan di pasar. Jualan apa saja,” lanjut Jumisih.

Selain Produksi, Surveilans Kesehatan Juga Dibutuhkan

Kondisi yang diakibatkan pandemi Covid-19 mengubah pola perilaku manusia. Warga pun diminta Presiden Jokowi untuk lebih banyak beraktivitas dari rumah. Seperti dalam hal bekerja, belajar, maupun beribadah. Seperti dilansir dari situs Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (15/3).

Tidak lama setelah itu Pemerintah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat di akhir Maret melalui kebijakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)”. Ini mengatur pembatasan kegiatan pada sekolah, tempat kerja, dan keagamaan, juga mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk.

PSBB bila dipandang dari sisi epidemiologis dapat mengendalikan kasus Covid-19 dengan cepat. Menurut ahli epidemologi Laura Navila Yamani.

Tetapi masalah nyatanya, tidak dalam semua situasi para pekerja bisa bekerja dari rumah. Para pekerja ada yang tetap masuk ke tempat kerjanya karena alat-alat produksi mereka berada di pabrik.

Di sisi lain, para pekerja yang masih survive di tempat kerjanya menghadapi persoalan protokol kesehatan yang terasa kurang. Padahal protokol ini sudah dirumuskan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam Surat Edaran tentang “Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Disease (Covid-19) di Tempat Kerja”.

Persoalan penerapan protokol yang masih dirasa kurang ini disampaikan Ketua Pengurus Pusat Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih. Hal ini senada dengan Syarif Arifin dari lembaga penelitian perburuhan Sedane.

Tempat kerja di saat pandemi dinilai ahli epidemologi Laura Navila Yamani membutuhkan pengelolaan tersendiri. Selain berorientasi produksi, perusahaan perlu memikirkan surveilans kesehatan.

Surveilans dilakukan perusahaan dengan mendata kesehatan para pekerjanya secara kesinambungan. Hal ini jauh lebih mudah dibandingkan jika memantau orang di luar tempat kerja.

Laura Navila Yamani menguraikan pendataan kesehatan ini.

“Apakah pekerja itu ada gejala? Jangan sampai dia tetap merasa harus masuk sehingga tidak jujur ketika mengalami gejala-gejala Covid-19. Atau dia habis melakukan perjalanan dari daerah-daerah zona merah. Atau sudah ada keluarga yang positif atau terkonfirmasi positif. Sebetulnya itu bisa dilacak. Jadi manajemen surveilans kesehatan di perusahaan harus jalan. Artinya data pekerja itu jelas. History mereka bisa dikonfirmasi.” Kata Laura.

Oleh karena itu ahli epidemologi ini juga menekankan pentingnya penerapan protokol kesehatan yang ketat. Jika hal itu tidak dilakukan lalu ditemukan kasus Covid-19 maka akan membahayakan para pekerja lain dan justru dapat merugikan perusahaan.

“Misalkan ada kasus positif di perusahaan atau justru kematian karena Covid-19 itu bisa memunculkan lockdown. Akhirnya merugikan semuanya,” ujarnya.

Pada pertengahan Mei lalu muncul wacana berkompromi atau hidup berdampingan dengan Covid-19 di tengah isu pelonggaran PSBB. Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya perubahan hidup dalam mengatasi risiko wabah ini sebagai new normal.

Tempat ibadah, aktivitas ekonomi, dan sekolah kemudian dibuka kembali dengan tahapan ketat. Di sisi lain, untuk pengurangan resiko dan dampak pandemi Covid-19 di tempat kerja maka keluar Keputusan Menteri Kesehatan tentang “Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.”

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 atau Gugus Tugas Nasional juga mengeluarkan Surat Edaran tentang “Pengaturan Jam Kerja pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek)” tertanggal 14 Juni 2020.

Tujuan “New Normal” itu sendiri agar masyarakat tetap produktif dan aman dari Covid-19 di masa pandemi. Selanjutnya “New Normal” yang diinternalisasi warga ini menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Maksud “Adaptasi Kebiasaan Baru” adalah agar dapat bekerja, belajar dan beraktivitas dengan produktif di era Pandemi Covid-19. Demikian dilansir dari situs Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan (19/6).

Seiring dengan kembalinya aktivitas di tempat kerja di era new normal maka tempat kerja menjadi salah satu klaster baru penyebaran Covid-19. Seperti dilansir dari Tribunnews.com (27/6).

Terkait klaster tempat kerja, Laura mengingatkan, situasi new normal atau adaptasi kebiasaan baru jangan sampai membuat warga lengah. Karena resiko penularan Covid-19 sebenarnya masih terjadi. Apalagi riset terbaru Covid-19 menyebutkan bahwa virus ini bisa menular melalui udara.

Resiko penularan akan lebih masif ketika beraktivitas di ruangan-ruangan tertutup. Apalagi ketika sirkulasi udaranya jelek. Kemudian sanitasinya juga jelek,” terang Laura.

Dapat Menghantam Psikologis

Situasi akibat pandemi Covid-19 mempengaruhi hampir semua sendi kehidupan. Masalah di sektor ekonomi terkena imbas pandemi juga tidak akan menghentikan kebutuhan manusia. Malah ini dapat berdampak ke psikologis. 

“Insting manusia adalah melanjutkan hidup sehingga dia akan melakukan hal-hal yang mendukungnya supaya tetap hidup,” terang Pengajar Psikologi Universitas Pancasila Aully Grashinta.

Selain faktor penghasilan yang semakin terbatas, orang pun dihadapkan pada situasi berbeda saat pandemi Covid-19. Hal ini juga dapat memicu tekanan psikologis yang lebih luas.

Sebelumnya orang biasa beraktivitas lebih banyak di luar rumah. Lalu karena pandemi tiba-tiba harus lebih banyak berdiam di rumah. Konflik di dalam rumah tangga juga dapat muncul.

Kondisi akibat pandemi dinilai Aully Grashinta itu berat dan krisis. “Kondisi ini dapat menyebabkan cemas, stress, hingga depresi. Bahkan dapat memunculkan simptom-simptom psikosomatis.” 

Kondisi psikologis ini juga akan mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Karena itu perlu “daya lenting di saat krisis seperti ini. Orang dengan daya lenting yang baik akan berupaya mencari penyelesaian masalah yang dihadapinya.”

Situasi inilah yang sedang dihadapi kelas pekerja. Kelas pekerja lahir batin bergulat di tengah pandemi. Situasi mereka ibarat kapas terbang.

“Berterbangan ke sana kemari supaya dapat bertahan hidup demi dirinya dan keluarganya,” pungkas Jumisih. ***

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home