Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 16:13 WIB | Selasa, 24 Januari 2017

Lurah Tidak Ketahui Ahok Lakukan Penodaan Agama

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki ruang sidang untuk menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1). Sidang ketujuh tersebut masih mengagendakan mendengarkan keterangan lima saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lurah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Yuli Hardi menyatakan tidak mengetahui telah terjadi penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

"Jujur saat Pak Basuki pidato saya tidak tahu (telah terjadi penodaan agama) baru tahu saat-saat ini dari televisi dan Youtube," kata Yuli Hardi menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut (JPU) dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, hari Selasa (24/1).

Ia pun menceritakan bahwa dirinya juga menjemput Ahok saat datang ke Kepulauan Seribu tersebut.

"Saya hadir jemput Pak Ahok di dermaga. Tidak ada reaksi keberatan saat itu dari warga," kata Yuli Hardi.

Namun, setelah berita kasus penodaaan agama itu, ia menyatakan ada beragam pendapat dari warga.

"Macam-mana ada yang pro, ada yang kontra dan ada juga yang cuek," ucap Yuli Hardi.

Ia pun menyatakan petugas Bareskrim Polri datang langsung ke Kepulauan Seribu untuk memeriksa dirinya.

"Bareskrim langsung datang ke Pulau, saya lapor ke atasan dulu. Tidak ada arahan dalam pemeriksaan," kata Yuli Hardi. 

Selain Yuli Hardi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga direncanakan menghadirkan Nurkholis, petugas Humas Pemprov DKI Jakarta yang merekam pidato Ahok di Kepulauan Seribu.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home