Loading...
OPINI
Penulis: Andreas Untung Wiyono 12:40 WIB | Selasa, 12 Mei 2020

Melintasi Ruang dan Waktu

Refleksi Penyelenggaraan Ibadah Minggu Saat Pandemi COVID-19

Saat tulisan ini dibuat, wabah COVID-19 di Indonesia belum berakhir. Padahal sudah dua bulan lebih pemerintah Republik Indonesia memberlakukan ketentuan tentang social distancing, phisical distancing, bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah, termasuk DKI Jakarta.

Kondisi ini secara praktis membuat aktifitas persekutuan baik ibadah Minggu, pemahaman Alkitab, persekutuan doa,  latihan paduan suara, bahkan rapat-rapat dan kegiatan-kegiatan lainnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Haztag ”#dirumahaja” atau “#nengomahwae” cukup efektif untuk menggugah kesadaran publik terutama warga gereja agar tetap tinggal di rumah, sehingga tidak tertular atau menularkan virus yang mematikan ini.

Kesadaran yang tinggi dari warga gereja dalam mematuhi himbauan tersebut untuk sesaat membuat perasaan tenang. Nyawa manusia lebih berharga ketimbang hasrat bersekutu dalam situasi bahaya. Demikian pertimbangan etis gereja dalam menentukan sikap untuk sementara menutup pintu gerbangnya. Sedih memang, tetapi apalah daya, belum ditemukan antivirusnya.

Kabar baiknya, selama dua bulan ini kreativitas gereja dalam melayani umat sungguh luar biasa. Banyak cara dilakukan untuk tetap dapat beribadah Minggu, misalnya. Demikian pula persekutuan doa, pemahaman Alkitab, rapat-rapat, hingga katekisasi dan kegiatan lainnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tak ayal bisnis digital pun semakin merajai pasar global. Dampaknya pun merambah ke persoalan sosial, ekonomi, politik, hingga masuk ke ranah personal. Tak kurang menarik, fenomena wabah COVID-19 juga menghadirkan banyak spekulasi yang datang dari berbagai sudut pandang. Entahlah, yang jelas ada sisi baik yang membuat kehidupan gereja menjadi lebih dinamis. Dalam konteks inilah penulis hendak berefleksi.

 

Sikap dan Cara Berpikir

Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, baik kiranya jika terlebih dahulu penulis menyampaikan sikap dan cara berpikir yang menyertai tulisan ini.

Pertama, bagi penulis transformasi adalah sebuah keniscayaan. Sebagai kehidupan bersama orang percaya atau gereja, transformasi pada dasarnya merupakan panggilan beriman agar dalam terang firman Allah gereja mampu beradaptasi bahkan memberi pengaruh positif terhadap kehidupan. Dengan kesadaran bahwa gereja memiliki sisi illahi dan sisi manusiawi (dengan segala cedera manusiawinya), maka dalam bertransformasi gereja haruslah tetap rendah hati.

Kedua, dengan kesadaran demikian, semestinyalah gereja bersikap terbuka terhadap siapa pun dan juga terhadap apa pun yang dijumpainya dalam kehidupan. Berbekal pengetahuan dan keyakinan tentang karya penyelamatan Allah dan penyertaan Roh Kudus, gereja menjalani hidupnya secara serius, yaitu dengan sikap kritis dan bertanggung jawab berdasarkan iman.

Mengingat hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa gereja akan jatuh ke dalam kesalahan dalam menyikapi setiap fenomena yang dijumpai dalam kehidupan. Oleh karena itu, dalam melihat proses transformasi yang terutama tentu bukanlah soal salah atau benar, melainkan pertimbangan di balik sikap gereja dalam mengambil keputusan dan bertindak, sambil belajar dari pengalaman melalui refleksi yang terus dilakukan. Dengan kata lain, transformasi adalah sebuah proses tanpa henti dalam bingkai pengetahuan dan iman yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang percaya dan gereja.

 

Empat Refleksi

Fenomena wabah COVID-19 menyajikan pengalaman yang indah. Refleksi perdana dari pengalaman yang mengejutkan ini telah menghadirkan beragam cara gereja dalam memenuhi kebutuhan umat untuk tetap berbakti kepada Allah melalui beragam aktifitasnya.

Salah satunya dalam hal ibadah Minggu, yang merupakan aktifitas utama bergereja. Pada awalnya, ada dua opsi sikap gereja dalam menanggapi seruan pemerintah agar masyarakat melakukan pembatasan kegiatan sosial atau social distancing.

Opsi pertama, gereja tidak menyelenggarakan ibadah Minggu untuk sementara waktu. Konteksnya adalah prediksi bahwa situasi ini hanya akan berlangsung selama 14 hari atau 2 minggu sesuai masa inkubasi virus ini. Untuk itu tiap-tiap orang atau keluarga diminta oleh gereja supaya menyelenggarakan ibadah Minggu secara mandiri dengan doa atau format ibadah keluarga.

Opsi kedua, gereja tetap menyelenggarakan ibadah Minggu sebagaimana biasa namun dengan sangat berhati-hati, yaitu dengan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Demikian kebijakan gereja-gereja sejauh pengamatan penulis, yaitu pada dua hari Minggu pertama sejak kebijakan social distancing diberlakukan, tepatnya pada Minggu tanggal 8 dan 15 Maret 2020.

Refleksi kedua berdasarkan pergumulan hebat selama dua kali hari Minggu yang menggelisahkan itu, menghadirkan cara beribadah yang berbeda. Seiring dengan seruan dari pemerintah Republik Indonesia, pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dan dari pimpinan sinode agar umat beribadah dari rumah masing-masing, maka sejak hari Minggu tanggal 22 Maret 2020 gereja-gereja menghadirkan cara beribadah yang baru. Penulis mencatat setidaknya ada tiga cara/model penyelenggaraan ibadah Minggu yang dilakukan oleh gereja-gereja. Ketiganya menggunakan istilah yang sama, yaitu ”Ibadah Keluarga”, dan ketiganya difasilitasi oleh gereja.

  1. Ibadah keluarga yang dilakukan di rumah masing-masing dan dipimpin oleh kepala keluarga atau salah satu dari anggota keluarga yang ditunjuk. Format ibadahnya seperti ibadah Minggu di gereja, dengan mempergunakan liturgi bahkan naskah kotbah yang disiapkan oleh gereja dalam bentuk hard copy. Cara ini menjadikan keluarga sebagai gereja kecil dan rumah tempat tinggal mereka sebagai ”rumah Tuhan”.
  2. Ibadah keluarga yang dilakukan di rumah masing-masing dengan mengikuti siaran tunda dalam bentuk rekaman video yang disiarkan pada jam yang telah ditentukan melalui media YouTube, Facebook, atau fasilitas digital media yang lain.
  3. Ibadah keluarga yang dilakukan di rumah masing-masing dengan mengikuti siaran langsung (live streaming) dari gereja melalui media YouTube, Facebook, Zoom, atau layanan digital media lainnya.

Mengingat tidak semua keluarga/warga gereja memiliki smart phone, smart tv, atau tv digital yang mampu terkoneksi dengan internet, maka dalam praktik gereja tetap berusaha melayani mereka dengan mengirimkan liturgi dan naskah kotbah yang telah disiapkan dalam bentuk hard copy. Intinya, pada fase kedua, refleksi gereja tentang penyelenggaraan ibadah Minggu telah menghasilkan kreativitas yang luar biasa.

Hal yang sama terjadi pula dalam pelayanan ibadah Minggu untuk kategorial usia anak-anak. Bahkan bukan hanya pelayanan ibadah Minggu, pelayanan pastoralpun dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, baik melalui chating secara personal maupun via WhatsApp Group, video call, dan lain-lain. Demikian pula dengan kegiatan katekisasi, pemahaman Alkitab, persekutuan doa, hingga rapat-rapat Majelis, Komisi, Pokja, dll semua dapat dilakukan dari jarak jauh dengan mempergunakan sarana teknologi yang ada.

Pengalaman pada fase kedua ini membawa penulis pada kesimpulan sementara, bahwa dalam situasi bencana terbukti gereja mampu beradaptasi dengan cepat. Pandemi COVID-19 ternyata tidak menyurutkan kerinduan umat untuk tetap berbakti kepada Tuhan. Demikian pula tidak menyurutkan semangat gereja sebagai lembaga dalam melayani umatnya.

Refleksi ketiga, ”menembus batas, melintasi tembok dan pagar bangunan gereja”. Mungkin banyak orang belum menyadari konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat dari hadirnya ”cara baru” dalam hal penyelenggaraan ibadah Minggu. Beberapa pertanyaan mungkin sudah menunggu di depan, yaitu nanti setelah bencana ini berlalu. Apakah bersekutu bersama di gereja pada ibadah Minggu sungguh-sungguh perlu? Dari warga gereja yang biasa mengikuti ibadah Minggu dengan mempergunakan teks liturgi dan naskah khotbah dari gereja, ”Bolehkah kami meminta teks liturgi dan naskah kotbah ibadah Minggu untuk kami pergunakan dalam ibadah Minggu di keluarga?” Dari warga gereja yang biasa mengikuti ibadah Minggu melalui siaran langsung (live streaming), ”Jika dari rumah, kita dapat mengikuti ibadah Minggu yang disiarkan secara langsung dari gereja, entah itu gereja sendiri atau gereja lain, kenapa kita harus bersusah payah pergi ke gereja? Dari warga gereja yang biasa mengikuti ibadah Minggu melalui siaran tunda, ”Bukankah kita bisa menonton kembali rekaman video yang pernah dibuat oleh gereja dan disiarkan dalam siaran tunda sebagai cara yang sah untuk ibadah Minggu dari rumah?”

Pertanyan serupa mungkin juga datang dari anak-anak, apalagi ketika mereka melihat melalui digital media ada banyak kanal pilihan untuk dapat mengikuti ibadah anak atau sekolah minggu dari gadget mereka. Intinya, cara baru dalam beribadah Minggu melalui layanan digital media yang dilakukan selama masa pandemi Covid-19 berlangsung telah membawa gereja masuk ke dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda.

Betapa tidak, jika semula orang berpikir bahwa ibadah Sabat atau ibadah Minggu haruslah dilakukan di rumah Tuhan (yaitu di gedung gereja), sekarang tidak lagi harus dipahami demikian. Dimensi ruang telah berubah menjadi lebih luas, menembusi batas-batas tembok dan pagar gedung gereja kita. Rumah kita juga ”rumah Tuhan”, demikian pula mal, hotel, atau bahkan tanah lapang tempat di mana kita dapat mengikuti ibadah Minggu melalui digital media adalah rumah Tuhan juga.

Jika semula orang berpikir bahwa ibadah Minggu haruslah dilakukan pada hari Minggu, sekarang para pelayan ibadah melakukan ”ibadahnya” beberapa hari atau bahkan minggu sebelumnya untuk direkam dalam format digital agar dapat dipergunakan oleh umat untuk melakukan ibadah hari Minggu yang diyakini sebagai hari Sabat Tuhan. Dimensi waktu telah berubah menjadi lebih panjang, menembusi batas-batas jam, hari, dan minggu sebagaimana hitungan yang telah ditetapkan. Kini setiap jam, setiap hari, setiap minggu, dan setiap waktu kapan pun itu, adalah waktu Tuhan. Transformasi praktik pelayanan ibadah Minggu secara tradisional ke praktik pelayanan ibadah Minggu secara baru ini terjadi dalam rentang waktu yang singkat, yaitu 14 hari sejak kebijakan social distancing diberlakukan. Ini sungguh merupakan pengalaman yang menakjubkan namun sekaligus juga menggelisahkan karena prosesnya terjadi begitu cepat dan dalam waktu yang singkat.

Selanjutnya, bertolak dari pertanyaan-pertanyaan umat atas pengalaman mengikuti ibadah Minggu sebagaimana disampaikan dalam refleksi ketiga di atas, maka cepat atau lambat hal ini akan membawa gereja memasuki fase dan refleksi keempat yang mungkin akan berlangsung lebih lama, lebih seru, dan lebih mengesankan.

Sejauh yang penulis ketahui sampai saat ini, kemampuan teknik visual yang berhasil diciptakan oleh manusia telah sampai pada tahap menghadirkan objek yang mampu menembus batas-batas ruang dalam bentuk hologram. Artinya, keberhasilan gereja dalam membawa ibadah Minggu menembus batas-batas tembok dan pagar bangunan gereja melalui bantuan teknologi digital dalam rupa gambar dan suara yang ditampilkan melalui screener, sejatinya bersifat semu. Bahkan seandainya kemampuan teknologi visual yang diciptakan oleh manusia mampu menghadirkan objek dalam bentuk hologram, itu pun sejatinya masih bersifat semu.

Hal yang sama berlaku pula dalam hal keberhasilan gereja menembus dimensi waktu, khususnya dalam praktik ibadah Minggu melalui siaran tunda. Bagaimanapun juga umat yang berada di rumah tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang menonton bagaimana para pelayan gereja itu sedang berusaha membantu mereka melakukan ibadah Minggu.

Meskipun rekaman video ”ibadah Minggu” dari para pelayan itu disiarkan pada hari Minggu di jam yang telah ditetapkan, namun sejatinya mereka tahu bahwa pada jam yang sama para pelayan ibadah itu tidak sedang dalam posisi seperti yang mereka lihat di layar kaca.

Apa persoalan sesungguhnya yang sedang kita bicarakan; dan apa pentingnya bagi perjalanan pelayanan gereja di masa depan? Simbol!  Gedung gereja sebagai ”rumah Tuhan” adalah simbol. Hari Minggu sebagai Hari Sabat bagi Tuhan adalah juga simbol. Keduanya mewakili ruang dan waktu.

Benar bahwa bagi orang percaya setiap tempat adalah layak bagi Tuhan, dan setiap rumah adalah layak menjadi rumah Tuhan. Benar pula bahwa bagi orang percaya setiap waktu adalah waktu bagi Tuhan, dan setiap hari adalah hari bagi Tuhan. Masalahnya, adakah simbol ruang dan waktu, yaitu gedung gereja sebagai ”rumah Tuhan”, dan hari Minggu sebagai hari Sabat bagi Tuhan masih perlu dipertahankan?

Saran penulis, jangan buru-buru mengambil kesimpulan.

 

Andreas Untung Wiyono (Pendeta Jemaat GKJ Tanjung Priok)  

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home